ALIRAN TASAWUF DALAM ISLAM
A. Aliran
Tasawuf Suni
Tasawuf
sunni merupakan aliran tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah
dan hakikat namun diberi interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada
masa salaf as-shalihin dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada
Allah serta bagaimana cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu
kekhusyu’an jalannya ibadah yang mereka lakukan. Aliran tasawuf ini memiliki
ciri yang paling utama yaitu kekuatan dan kekhusyu’annya beribadah kepada
Allah, dzikrullah serta konsekuen dan juga konsisten dalam sikap walaupun
mereka diserang dengan segala godaan kehidupan duniawi. Dari awal
prosesnya, corak tasawuf ini muncul dikarenakan ketegangan-ketegangan
dikalangan sufi, baik yang bersifat internal maupun eksternal yaitu para sufi
dan ulama’ zahir baik para fuqaha maupun mutakallimin. Hal itu menyebabkan
citra tasawuf menjadi jelek dimata umat, maka sebagian tokoh sufi melakukan
usaha-usaha untuk mengmbalikan citra tasawuf. Usaha ini memperoleh kesempurnaan
ditangan Ghozali, yang kemudian melahirkan Tasawuf Sunni.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa asketisme (zuhud) itu adalah cikal bakal
timbulnya tasawuf. Sedangkan asketisme itu sendiri sumbernya adalah ajaran
Islam, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, sunnah maupun kehidupan sahabat
nabi. Pengertian umum dari Zuhud sendiri adalah Zuhhaad, jamak dari zahid.
Zahid diambil dari Zuhd yang artinya ”tidak ingin”. Tidak “demam” kepada dunia,
keemegahan, harta benda dan pangkat. Menurut Abu Yazid Busthami ketika ditanya
orang apa arti zuhud itu, beliau menjawab: tidak mempunyai apa-apa dan tidak
dipunyai apa-apa. Gerakan asketisme itu sendiri dapat dibedakan menjadi 4
aliran utama;
1. Aliran
Bashrah
Aliran
BashrahAliran Bashrah mulai Nampak pada abad kedua Hijriyah. Aliran ini muncul
dengan ciri khasnya yaitu, sikap asketisme yang sangat kuat dan lebih ekstrim
serta mengembangkan sikap yang amat takut terhadap murka Allah, serta amat
sangat takut terhadap siksa diakhirat. Pada periode inilah, mulai meluas dan
berkembangnya sufisme. Artinya konsep-konsep yang tadinya semata-mata sebagai
sikap hidup saja kemudian disusun sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Tokoh
terpenting dari aliran ini. Antara lain; Malik Ibnu Dinar dan Hassan Al-Bashri.
2. Aliran
Madinah
Aliran
MadinahSejak masa permulaan Islam, di Madinah sudah terlihat kelompok-kelompok
asketis yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah dan menempatkan
rosulullah sebagai idola kezuhudan mereka. Ciri yang paling utama di aliran ini
adalah kekuatan dan kekhusyu’an beribadah kepada Allah, konsekuen serta
kensisten dalam sikap walaupun dating berbagai godaan. Bagi mereka yang
terpenting bagi mereka adalah mendepatkan diri kepada Allah serta menjauhkan
diri dari segala hal yang dapat mengurangi kekhusyu’an beribadah kepada Allah.
Tokohnya yang terkenal diantaranya adalah Salman Al-Farisi dan Abdullah Ibnu
Mas’ud.
3. Aliran
Kufah
Apabila
kedua aliran diatas lebih mengarahkan perhatian kepada ibadah dan menghindari
pengaruh-pengaruh yang merusak. Maka, aliran Kuffah lebih bercorak idealis.
Gemar kepada hal-hal yang bersifat imajinatif yang biasanya dituangkan dalam
bentuk puisi, tekstualis dalam memahami ketetapan dan sedikit cenderung kepada
aliran syi’ah. Namun, secara keseluruhan aliran ini masih berpola Ahlu sunnah
wal jama’ah. Ciri khas aliran ini yaitu rasa keagamaan yang kental, asketisme
yang keras, kerendahan hati dan kesederhanaan hidup. Tokohnya yang terkenal
yaitu, Shufyan Al-Tsauri.
4. Aliran Mesir
Aliran
mesir memiliki kesamaan cirri dengan aliran madinah. Sebab aliran ini
sebenarnya adalah perluasan dari aliran madinah yang tersebar melalui sahabat
yang ikut serta ke Mesir pada saat Islam memasuki kawasan itu. Tokohnya adalah
Dzuu al-Nun al mishri.Sulit dipastikan kapan asketisme itu beralih ke sufisme,
tetapi yang pasti sufisme yang awal adalah sufisme yang konsisten dan berpegang
teguh pada prinsip-prinsip Islam. Karena itu tasawuf tipe awal ini dapat
diterima sebagian besar ulama terutama ulama ahlu sunnah wal jama’ah. Hal ini
pula yang menyebabkan penamaan tasawuf sunni. Dari aliran-aliran diatas dapat
dilihat bahwa tokoh-tokoh aliran-aliran tersebut adalah ahlu zuhud. Namun tidak
setiap yang zuhud bias disebut sufi, tapi sebaliknya tidak mungkin menjadi sufi
tanpa melalui zuhud atau asketisme.
B. Tokoh-tokoh
Tasawuf Sunni
Munculnya
aliran-aliran tasawuf ini tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang berperan di
dalamnya. Begitu juga sama halnya dengan Tasawuf sunni. Diantara sufi yang
berpengaruh dari aliran-aliran tasawuf sunni dengan antara lain sebagai
berikut:
ü Hasan al-Basri
Hasan
al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat taqwa, wara’
dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan. Lahir di
Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi al-Qura. Setahun sesudah
perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan menetap di sana sampai ia meninggal
tahun 110 H. setelah ia menjadi warga Bashrah, ia membuka pengajian disana
karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah
terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses dari kemakmuran ekonomi yang
dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Garakan itulah yang menyebabkan
Hasan Basri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan
kehidupan sufi di bashrah. Diantara ajarannya yang terpenting adalah zuhud
serta khauf dan raja’.Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud
terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan
duniawi. Dr. Muh. Mustofa Helmi, guru besar filsafat Islam dalam “Fuad I
University” mengatakan kemungkinan bahwasanya zuhud Hasan al-Bashri yang
didasarkan kepada takut, ialah karena takut akan siksa Tuhan dalam neraka.
Hasan al-bashri mengumpamakan dunia ini seperti ular terasa mulus kalau
disentuh tangan tetapi racunnya dapat mematikan. Oleh karena itu, dunia ini
harus dijauhi serta kenikmatan hidup duniawi harus ditolak. Dasar-dasar ajaran
zuhud ini kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh tasawuf yang datang kemudian
dengan beberapa perbedaan sesuai dengan pengalaman serta kemampuan pribadi para
sufi itu sendiri. Diantaranya ada yang memilih hidup sederhana dan mengasingkan
diri, tekun beribadah, berdzikir, merenungkan kebesaran tuhan, mencari
kelemahan diri, memikirkan dan memperhatikan keindahan alam semesta.Prinsip
kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja’. Dengan pengertian merasa takut
kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melalakikan perintahNya.
Serta menyadari kekurang sempurnaannya. Oleh karena itu, prinsip ajaran ini
adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan mawas diri atau muhasabah agar
selalu memikirkan kehidupan yang akan dating yaitu kehidupan yang hakiki dan
abadi.Hasan al-Bashri berkeyakinan bahwa perasaan takut atau khouf itu sama
dengan memetik amal sholeh. Katanya tidak seorang manusiapun yang tidak pernah
merasa takut dan keluh kesah. Kesimpulan dari ajaran Hasan al-Bashri ialah
zuhud atau menjauhi kehidupan duniawi sehingga perhatian terpusat pada
kehidupan dunia akhirat dan mawas diri dan selalu memikirkan kehidupan ukhrowi
adalah jalan yang akan menyampaikan seseorang kepada kebahagiaan yang
abadi.Hasan al-Basri merupakan pribadi yang cemerlang dan suri tauladan yang
benar bagi akhlak luhur, setelah dalam kesucian dan kejernihannya. Beliau
selalu menyiarkan kemuliaan yang tinggi dengan petuahnya yang berpengaruh dan
ucapannya yang mantap, serta suluk-nya yang dijadikan sebagai contoh. Meskipun
begitu, Hasan al-Basri bukanlah seorang sufi, dalam arti yang tepat pada kata
shufi.
ü Rabiah Al-Adawiyah
Rabiah Al-AdawiyahNama lengkapnya
adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari
Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri
ke empat dari anak-anak Ismail. Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya
dia telah hafal Al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.Ajaran
terpenting dari sufi wanita ini adalah al-mahabbah dan bahkan menurut menurut
banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi
dan pengertian yang khas tasawuf. Hal ini barangkali ada kaitannya dengan
kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika
yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu. Cinta murni
kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan
melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini
dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:Kasihku, hanya Engkau yang
kucinta,Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,Walau mata jasadku tak mampu
melihat Engkau,Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.Cinta kepada Allah adalah
satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia mambagi cintanya untuk
yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku
untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepad
Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun
kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain
Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi mealui syair berikut ini:
“Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena
kekasih, sirna rasa benci dan murka”. Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin
memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan
dirinya dengan Tuhan.Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa suatu ketika
Rabi’ah al-Adawiyah berkeluh-kesah sakit. Dan beberapa sufi menjenguknya, dan
Rabiah mengira bahwa sakitnya itu dikarenakan ghirah atau kecemburuan Allah
kepadanya, karena hati Rabiah pada saat itu tertarik akan surga.
ü Dzu Al-Nun Al- Misri
Dzu Al-Nun Al-MisriNama lengkapnya
adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishri al-Akhimini
Qibthy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Sedikit sekali yang dapat
diketahui tentang silsilah keturunan dan riwayat pendidikannya karena masih
banyak orang yang belum mengungkapkan masalah ini. Namun demikian telah
disebut-sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang tersohor dan tekemuka
diantara sufi-sufi lainnya pada abad 3 Hijriah.Sebagia seorang ahli tasawuf,
Dzu al-Nun memandang bahwa ulama-ulama Hadits dan Fiqih memberikan ilmunya
kepada masyarakat sebagai salah satu hal yang menarik keduniaan disamping
sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup sensitif barangkali yang
menyebabkan banyak yang menentangnya. Tidak sampai di situ, bahkan para Fuqaha
mengadukannya kepada ulama Mesir yang menuduhnya sebagai orang yang zindiq,
sampai pada akhirnya dia sampai memutuskan untuk sementara waktu pergi dari
negerinya dan berkelana ke negeri lain. Namun sekembalinya dari perkelanaan
tersebut, orang banyak tetap menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Bahkan
orang-orang menuruhnya untuk pergi ke Baghdad menemui khalifahuntuk menerima
pengadilan. Akan tetapi di Baghdad ada banyak sufi yang berasal dari mesir dan
diantara mereka ada yang bekerja sebagai pegawai di lingkungan istana, dan
merekalah yang mengusahakan kebebasan Dzu al-Nun tersebut. Ternyata kemudian
ajarannya diterima di Baghdad. Sekembalinya di Mesir, ia kembali mengjarkan ajaran
tasawufnya dan semenjak itu pula tasawuf berkembang dengan pesat di kawasan
mesir.Jasa-jasa Dzu al-Nun yang paling besar adalah sebagai peletak dasar
tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqomat.
Ajarannya member petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai
dengan pandangan sufi.Disamping itu, dia juga pelopor doktrin al-makrifah.
Dalam hal ini ia membedakan antara pengetahuan dengan keyakinan. Menurutnya,
pengetahuan merupakan hasil pengamatan inderawi, yaitu apa yang ia dapat
diterima melalui panca indera. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari apa yang
dipikirkan dan / atau diperoleh melalui intuisi.Dia membagi tiga kualitas
pengetahuan, yaitu:
ü Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu
pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat.
ü Pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti-bukti dan
pendemonstrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang-orangyang bijak,
pintar dan terpelajar.
ü Pengetahuan tentang
sifat-sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik orang-orang yang shaleh
(wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan mata hatinya.Ketika Dzu
al-Nun ditanya tentang bagaimana ia mengenal Tuhan, maka dia menjawab: “Aku
mengenal Tuhan karena Tuhan sendiri, kalau bukan karena Tuhan, aku tidak akan
mengenal Tuhan”Dzu al-Nun menerangkan, bahwa cirri-ciri makrifat itu ialah
seseorang menerima segala sesuatu itu adalah atas nama Allah dan memutuskan
segala sesuatu itu dengan menyerahkan kepada Allah, serta menyenangi segala sesuatu
hanya semata-mata karena Allah.Ucapan hikmah lain dari Dzu al-Nun al-Mishri
adalah: “Pangkal pembicaraan pada empat hal: Mencintai Allah Yang Maha Agung,
membenci kekikiran, mengikuti Al-Qur’an, dan takut berubah.” Dzun al-Nun
al-Mishri Rahimahumullah pun pernah berkata, “Al-Hikmah tidak akan pernah
tinggal pada seseorang yang pada perutnya penuh dengan makanan.” Pernah juga
ditanya tentang tobat, lalu dijawab, “Tobat orang awam adalah perbuatan dosa,
sedangkan tobat orang khusus dari kelengahan.”
Ø Abu Hamid Al-Ghozali
Abu
Hamid Al-Ghazali Menurut Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, ada dua corak
tasawuf yang berkembang di kalangan sufi, yaitu pertama, corak tasawuf sunni,
di mana para pengikutnya memagari tasawuf mereka dengan Alquran dan as-Sunnah
serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya. Kedua,
corak tasawuf semi-filosofis, di mana para pengikutnya cenderung pada
ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat) serta bertolak dari keadaan fana menuju
pernyataan tentang terhadinya penyatuan ataupun hulul. Pendapat senada juga
diungkapkan oleh Simuh dengan menggunakan istilah yang berbeda. Simuh
menyatakan bahwa pada dua corak tasawuf yaitu union mistik dan
personal/transendentalis mistik. Union mistik yaitu suatu corak tasawuf yang
memandang manusia bersumber dari Tuhan dan dapat mencapai penghayatan kesatuan
kembali dengan Tuhannya. Sedangkan personal/transendentalis mistik yaitu suatu
corak tasawuf yang menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada paham
ini hubungan manusia dengan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara makhluk
dengan khalik Dari dua corak tasawuf tersebut, menurut Abdul Qadir Mahmud,
al-Gazali masuk pada kelompok yang memiliki corak tasawuf sunni, bahkan di
tangan al-Gazali lah tasawuf sunni mencpai kematangannya. Mahmud berpendapat,
para pemimpin sunni pertama telah menunjukkan ketegaran mereka menghadapi
gelombang pengaruh gnostik barat dan timur, dengan berpegang teguh pada spirit
Islam, yang tidak mengingkari sufisme yang tumbuh dari tuntunan Alquran, yang
membawa syariat, juga yang menyuguhkan masalah-masalah metafisika. Mereka mampu
merumuskan sufisme yang islami dan mampu bertahan terhadap pelbagai fitnah yang
merongrong aqidah Islam di kalangan sufirme. Sufisme sunni akhirnya beruntung
mendapatkan seorang tokoh pembenteng dan pengawal bagi spirit metode Islami
yaitu al-Gazali, yang menempatkan syariat dan hakikat secara seimbang. Di
tangan al-Gazali tasawuf menjadi halal bagi kaum syariat, sesudah kaum ulama
memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam. Konsepsi al-Gazali yang
mengkompromikan antara pengalaman sufisme dengan syariat telah dijelaskan di
dalam kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Karya besar ini terdiri dari
4 jilid. Jilid pertama dan kedua berisi ajaran syariat dan aqidah disertai
dasar-dasar ayat-ayat suci Alquran serta hadis dan penafsirannya. Dibahas pula
bagaimana tingkat-tingkat pengamalan syariat yang sempurna lahir batin.Pada
jilid ketiga dan keempat, khusus membahas tasawuf dan tuntunan budi luhur bagi
kesempurnaan sebuah pengamalan syariat. Dimulai dengan membahas keajaiban hati
beserta nafsu-nafsu, amarah, lawwamah dan mutmainnah yang ketiganya saling
berebut untuk menguasai batin manusia. Kemudian dilanjutkan tantang ajaran
jihad akbar untuk memerangi dan menguasai nafsu amarah dan lawwamah, yakni
ajaran tentang penyucian hati yang dalam ajaran tasawuf diartikan memutuskan
setiap persangkutan dengan dunia, dan mengisi dengan sepenuh hati hanya bagi
Tuhan semata. Kemudian dilanjutkan tentang cara mengkonsentrasikan seluruh
kesadaran untuk berzikir kepada Allah. Hasil dari zikir adalah fana dan
ma’rifat kepada Allah.Dengan demikian, corak tasawuf al-Gazali lebih menekankan
pada aspek pendidikan moralitas bagi para pencari kebenaran.4.1 Maqamat-maqamat
dalam Tasawuf al-Gazali Maqamat-maqamat yang diajarkan oleh al-Gazali terdapat
di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, khususnya juz IV. Di dalam bagian tersebut
diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut: Kitab al-Taubah, Kitab al-Sabr
wa al-Syukr, Kitab al-Khauf wa al-Raja, Kitab al-Faqr wa al-Zuhd, Kitab Tauhid
wa al-Tawakkal, Kitab al-Mahabbah wa al-Syauq qa al-Uns wa al-Ridha, Kitab
al-Niyyah wa al-Ikhlas wa al-Sidq, Kitab al-Muqarabah wa al-Muhasabah, Kitab
al-Tafakkur, dan Kitab Zikr al-Maut wa Ba’dah.Maqamat-maqamat ini menjelaskan
beberapa point yang dianggap penting untuk memahami konsep tasawuf yang
diajarkan oleh al-Gazali, di antaranya: Konsep taubat, zuhud, tawakkal, dan
ma’rifah.a. TaubatPemahaman tentang taubat, menurut al-Gazali mencakup tiga
hal: Ilmu, sikap (hal), dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang
bahawa yang diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan
menyesal, yang melahirkan tindakan untuk bertaubat. Tobat harus dilakukan
dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri seindiri untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa.b. ZuhudDalam keadaan ini seorang calon sufi harus
meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi.
Al-Gazali membagi tingkatan zuhud dari segi tingkatan motivasi yang
mendorongnya kepada tiga tingkatan:
ü Zuhud yang didorong oleh rasa takut terhadap api neraka dan yang
semacamnya. Zuhud dalam tingkatan ini adalah zuhudnya orang-orang pengecut.
ü Zuhud yang didorong oleh motif mencari kenikmatan hidup di
akhirat. Zuhud dalam tingkatan ini adalah zuhudnya orang-orang yang
berpengharapan, yang hubungannya dengan Allah diikat oleh ikatan pengharapan
dan cinta, bukan ikatan takut.
ü Zuhud yang didorong oleh
keinginan untuk melepaskan diri dari memperhatikan apa saja selain Allah dalam
rangka membersihkan diri daripadanya dan menganggap remeh terhadap apa yang
selain Allah. Zuhud dalam tingkatan inilah yang merupakan sikap zuhud para
arifin. c. TawakalTawakal dalam tasawuf diartikan berserah diri kepada kehendak
Tuhan seperti halnya mayat di depan orang yang memandikannya. Tawakal dalam
pengertian tasawuf adalah suatu syarat mutlak sebagai tangga memutuskan segala
ikatan dengan dunia secara total dan final. Tanpa jiwa tawakal seperti itu,
hati tidak akan terbebas dari belenggu.Menurut al-Gazali, sikap tawakal lahir
dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan Allah sebagai pencipta. Dia
berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia. Walaupun demikian, harus pula
diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha Pengasih, tak pilih kasih pada
makhluknya. Karena itu, manusia seharusnya berserah diri kepada Tuhannya dengan
sepenuh hati. d. Ma’rifahMa’rifah (gnosis) secara umum diartikan sebagai ilmu
atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Sedangkan menurut tasawuf,
ma’rifah berarti mengetahui Allah Swt dari dekat. Bagi al-Gazali, ma’rifah
bukan hanya diartikan melihat Tuhan, tetapi juga mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Ma’rifah pada
Allah bukan merupakan ilmu yang dapat ditangkap dengan panca indera dan akal
pikiran, tetapi merupakan suatu pengalaman dan penghayatan yang bersifat
langsung. Alat yang digunakan untuk mendapatkan ma’rifah adalah qalbu. Menurut
al-Gazali, qalbu bagaikan cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar
realitas yang terdapat di dalamnya. Jelasnya, jika cermin qalbu tidak bening,
maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Adapun penyebab qalbu
tidak bening adalah hawa nafsu, maka untuk mendapatkan hati yang bening,
seorang sufi harus berpaling dari hawa nafsu. Memperoleh ma’rifah merupakan
proses yang bersifat terus menerus. Makin banyak seorang sufi memperoleh
ma’rifah, makin banyak pula yang diketahuinya tentang rahasia Tuhan dan semakin
dekatlah ia kepada-Nya. Proses yang dilakukan oleh seorang sufi untuk
memperoleh ma’rifah yaitu dengan cara riyadhah dan mujahadah dalam beribadah.
Keterikatan am’rifah dengan amal (ibadah) inilah yang membedakan konsepsi
ma’rifah al-Gazali dengan konsepsi ma’rifah Abu Yazid al-Bustami, yang
menganggap ketekunan dalam ibadah sebagai pertanda tidak layaknya orang
memperoleh ma’rifah dari Tuhan. Selanjutnya, al-Gazali menjelaskan bahwa
ma’rifah ini menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan), dan mahabbah baginya bukan
mahabbah sebagai yang diucapkan Rabi’ah al-Adawiyah, tetapi mahabbah dalam
bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul
dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rizki,
kesenangan dan lain-lain. Kadar mahabbadh seorang sufi ditentukan oleh kedalaman
ma’rifah yang dimilikinya. Semakin kuat ma’rifahnya, semakin kuat mahabbahnya.
Menurut al-Gazali ma’rifah dan mahabbah adalah derajat tertinggi yang dapat
dicapai seorang sufi.
0 Response to "ALIRAN TASAWUF DALAM ISLAM"
Post a Comment