HUKUM KB MENURUT MAZHAB SYAFI'I
Kita mengenal Keluarga Berencana sebagai media yang dipakai untuk mencegah kehamilan.Hal tersebut yang paling sering diperdebatkan dalam Islam.
Hukum Keluarga
Berencana dalam Mazhab Syafi’i dilihat dari 2 tujuan:
- KB
permanen untuk membatasi keturunan (tahdῑd al-nasl)
Untuk
merealisasikan program KB semacam ini maka pasien diharuskan alat kontrasepsi
permanen. Dimana kemampuan seseorang untuk memiliki keturunan akan sirna.
KB yang semacam ini hukumnya haram,(1) sangat dilarang dalam agama, karena sangat menentang dengan tujuan dan inti dari sebuah pernikahan, yaitu untuk menciptakan keturunan sebanyak-banyaknya. Bahkan sangat menentang dengan anjuran rasulullah SAW dalam sebuah hadis yaitu:
KB yang semacam ini hukumnya haram,(1) sangat dilarang dalam agama, karena sangat menentang dengan tujuan dan inti dari sebuah pernikahan, yaitu untuk menciptakan keturunan sebanyak-banyaknya. Bahkan sangat menentang dengan anjuran rasulullah SAW dalam sebuah hadis yaitu:
تزوجوا
الودود الولود فإني مكاثر بكم الأنبياء يوم القيامة
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat”
[Shahih Riwayat
Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]
- KB yang
bertujuan untuk menertibkan keturunan (Tandhiimu al-nasl).
Demi terlaksananya
program Keluarga Berencana semacam ini pasien diharuskan untuk mengikuti jenis
kontrasepsi yang reversible, yaitu metode kontrasepsi yang dapat dihentikan
setiap saat tanpa efek lama di dalam mengembalikan kesuburan atau kemampuan
untuk memiliki anak lagi.
KB yang semacam
ini memang tidak ada larangan khusus dalam syara’ sehingga mengharamkannya
sebagaimana poin yang pertama, akan tetapi hukumnya makruh saja. Dan masih
berada dalam ruang lingkup jawaz (boleh).
Contoh metode pencegah kehamilan yang pernah dilakukan di zaman Rasulullah
SAW adalah ‘azl, yakni melakukan persetubuhan
dimana ketika suami akan ejakulasi maka zakarnya dicabut dari vagina kemudian
ia ejakuliasi dan zakarnya diluar vagina (2). Namun praktek ini
tidak dilarang oleh Rasul sebagaimana yang terpahami dari hadis berikut:
و
حدثني أبو غسان المسمعي حدثنا معاذ يعني ابن هشام حدثني
أبي عن أبي الزبير عن جابر
قال
كنا
نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فبلغ ذلك نبي الله صلى الله عليه وسلم
فلم ينهنا
Dari Jabir
berkata "Kami melakukan ‘azl di masa Rasulullah SAW, dan Rasul
mendengarnya tetapi tidak melarangnya”. (H.R Muslim).
Sedangkan metode-metode baru yang lazim dilakukan sekarang dan belum pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW membutuhkan kajian yang mendalam dan melibatkan ahli medis dalam menentukan kebolehan atau keharamannya.
Dewasa ini,
penundaan kehamilan dan kelahiran anak biasanya terealisasi dengan penggunaan
pil KB, penggunaan kondom bagi laki-laki atau spiral bagi wanita. Praktek ini
dinilai lebih ramah dan tidak menimbulkan bahaya, baik penggunanya ataupun
orang lain, termasuk sperma yang akan menjadi benih seorang anak.
Praktek-praktek ini disamakan dengan ‘azal yang asal
hukumnya adalah makruh.
Namun, apabila ‘azal diperlukan maka hukumnya mubah. Seperti
halnya karena takut terhadap bahaya yang diakibatkan dari rasa sakit waktu
melahirkan, suami ingin menjaga kecantikan istri atau agar istri tidak terlihat
gemuk, takut pekerjaannya bertambah berat apabila terlalu banyak anak yang
harus dinafkahi.
Apabila praktek-praktek ini tidak didasari alasan seperti diatas maka
hukumnya adalah makruh. Namun praktek-preaktek diatas bisa menjadi tidak
diperbolehkan apabila dilandasi dengan niat dan alasan yang salah, seperti
takut miskin, dan takut mengganggu pekerjaan orang tua. Dengan kata lain, penilaian tentang Keluarga Berencana tergantung pada individu
masing-masing.
Contoh lain adalah berkontrasepsi dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa Keluarga Berencana diperbolehkan dengan alasan-alasan tertentu, misalnya untuk menjaga kesehatan ibu, mengatur jarak di antara dua kelahiran, untuk menjaga keselamatan jiwa dan kesehatan.
Contoh lain adalah berkontrasepsi dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa Keluarga Berencana diperbolehkan dengan alasan-alasan tertentu, misalnya untuk menjaga kesehatan ibu, mengatur jarak di antara dua kelahiran, untuk menjaga keselamatan jiwa dan kesehatan.
Beberapa Ulama besar dalam mazhab Syafi’i memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda tentang hukum pencegahan kehamilan, diantaranya adalah :
- Imam
Syibra Malisῑ, beliau membedakan antara yang mencegah
kehamilan secara total dan yang mencegahnya secara kontemporer saja.
Dimana yang pertama (permanen) dihukumi haram, sedangkan yang kedua
(kontemporer) mubāh. Sama halnya dengan ‘azal yang hukumnya mubāh.
- Imam
Ramli, makruh hukumnya melakukan ‘azal meskipun dengan izin
pasangan baik pasangan istri atau pun hamba sahayanya. Karena yang
demikian merupakan \termasuk dalam bagian mencegah keturunan.
- Ibrahim
al-Bajuri, haram menggunakan alat kontrasepsi yang
dapat mencegah kehamilan secara permanen. Adapaun alat kontrasepsi yang
bersifat temporer (sementara) maka hukumnya boleh tetapi makruh.
- Syaikh
‘Izzuddin bin Abdussalam, pernah menjawab sebuah
pertanyaan mengenai hukum penggunaan obat untuk mencegah kehamilan, yaitu
tidak boleh dan haram hukumnya
- Al-‘Imad
bin yunus, beliau pernah ditanyakan mengenai hukum
pencegahan kehamilan yang didasari oleh kemauan sesama pasangan yang
merdekan, bolehkah menggunakan obat-obatan. Beliau menjawab tidak boleh.
Sedangkan mengenai masalah pencegahan kehamilan yang tidak dilandasi dari
kemauan kedua pihak pasangan beliau meberi fatwa yang sama dengan Syaikh
‘Izzuddin.
Namun demikian, hukum diatas bukanlah harga mati, dimana setiap ummat harus mengikutinya dalam situasi dan keadaan apapun. Islam tentunya sangat mentolerir umatnya yang memiliki alasan tertentu dan tidak memiliki kesanggupan untuk mentaati hukum diatas. Misalnya, menggunakan alat kontrasepsi ini dengan alasan bahwa penyakit yang diderita ibu menimbulkan resiko yang lebih besar bila harus melahirkan lagi bahkan bisa berefek kepada kematian.
Dalam kondisi semacam ini, sang ibu seolah diharuskan untuk memilih satu dari 2 (dua) opsi masalah yang berbeda. Di satu sisi ia harus kehilangan kemampuannya untuk melahirkan lagi sebagai efek dari penggunaan alat kontrasepsi permanen, atau ia harus kehilangan nyawanya dengan tetap mempertahankan produktifitasnya untuk dapat melahirkan lagi dan tidak mengikuti program KB.
Alasan ini tentunya memiliki pertimbangan sekaligus
perhatian yang sangat besar dalam tatanan fikh, khususnnya dalam konteks fikh
imam Syafi’i. Sehingga, penulis berasumsi bahwa kasus diatas bisa dikategorikan
dalam bagian formulasi fikh (qaidah) imam syafi’i yang yang tertuang dalam satu
qaidah Usul fikh yang berbunyi:
اذا
تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررابارتكاب أخفهما
Apabila terjadi kontradiksi antara dua mafsadah (yang membahayakan) dan saling mengancam, maka yang diperhatikan adalah (mengesampingkan) yang paling besar bahayanya”.
Maka dalam kondisi yang semacam ini, syara’ memberikan solusi kepada ibu tersebut dengan memberikan dua opsi yang berbeda.Yaitu dengan memilih salah satu dari dua hal yang membahayakan dirinya, yaitu pilihan yang konsekwensinya paling ringan. Dalam hal ini tentunya seorang ibu akan sangat bijaksana bila ia megutamakan keselamatannya sendiri dengan merelakan kehilangan produktifitasnya untuk melahirkan, dari pada harus membiarkan kemampuan tersebut sementara disisi lain akan mengancam jiwanya sendiri bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Sementara itu bila pengunaan perangkat-perangkat penunda kehamilan dapat menyebabkan kemandulan, seperti vasektomi (metode ber-KB dengan cara memotong atau mengikat Vas Deferen yaitu saluran yang mengangkut sel sperma dari testis menuju vesikula seminalis) (8) yang dapat menjadikan seorang laki-laki tidak bisa menghasilkan sperma, Tubektomi (suatu kontrasepsi permanen untuk mencegah keluarnya ovum dengancara tindakan mengikat atau memotong pada kedua saluran tuba yang mampumenjadikan ovum yang matang tidak akan bertemu dengan sperma karena adanya hambatan pada tuban) (9). Dengan demikian maka,membalik rahim, dan lainnya, telah sepakat para ulama untuk mengharamkan praktek-praktek tersebut, apabila pelaku KB tersebut tidak dalam kondisi emergency (dharurah). Karena, mencegah keturunan atau menjadikan seseorang tidak bisa memiliki ketururnan termasuk dalam kategori merubah ciptaan Allah SWT,yakni merubah dari kondisi bisa hamil menjadi tidak bisa hamil. Selain itu, menjaga keturunan merupakan bagian tujuan dari legislasi hukum-hukum dalam islam (maqāshid al-syar’iyah) yang wajib dijaga.
Melihat dari aspek lain, KB juga bisa dihubungkan dengan beberapa masalah yang hampir menyerupainya, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ulama dalam beberapa literature klasik. Yaitu, masalah hukum mematikan sperma setelah terjadinya penetrasi kedalam vagina.Yang lazim disebut dengan ilqā`u al-nuthfah.
Ilqā`ual-nuthfah merupakan suatu usaha untuk menghambat terjadinya pembuahan didalam rahim setelah terjadinya penetrasi (10). Usaha ini lebih dikenal dengan aborsi apabila usaha pencegahan tersebut terjadi setelah terbentuknya spermatozoa (nuthfah) menjadi segumpalan daging (‘alaqah) atau telah ditiupkannya ruh.
Beberapa ulama memberi pandangan mengenai masalah ini, yaitu:.
- Imam
Ramli, tidak diharamkan mematikan sperma atau janin selama belum
ditiupkan ruh kedalam janin tersebut.
- Imam
Al-Ghazalῑ, haram karena sperma setelah menetap
dalam rahim maka ia akan berubah menjadi ‘alaqah( segumpal daging), karena
menurut beliau tindakan semacam ini tergolong kedalam jināyah. Semetara
‘azal tidaklah seperti demikian.
- Muhibbuththibri mengatakan,
telah terjadi pebedaan pendapat diantara para ulama tentang hukum
mematikan nuthfah sebelum sampai usia 40 hari. Ada yang berpendapat
padanya tidak sebut hukum menggugurkan anak dan al-wa`du.dan ada juga yang
mengatkan bahwa nuthfah tersebut tetap dihormati sehingga tidak boleh
melakukan usaha-usaha untuk merusaknya setelah nuthfah tersebut menetap
dalam rahim. Sementara ‘azal tidak dilarang karena pencegahan kehamilan
dengan cara ‘azal terjadi sebelum menetap dalam rahim.
- Imam
Al-Zarkasyi, dalam komentar beberapa ulama fuzala`, Al-karasibiy pernah berkata: Aku bertanya
kepada Abu bakar Bin Abi Sa’id Al-Furatiy tentang seseorang yang memberi
obat untuk menggugurkan kandungan hamba sahayanya. Maka ia menjawab selama
yang digugurkan tersebut masih berbentuk nuthfah maka dibolehkan.
- Abu
Ishāk Al-Marwazῑ, (Mazhab Hanafi) berpandangan lain,
menurutnya bahwasanya boleh bagi seorang majikan (sayyid) memberikan
obat-obatan kepada amah-nya untuk menggugurkan janin yang ada dalam
kandungannya selama masih berbentuk ‘alaqah atau mudhghah. Namun ada
kemungkinan bahwa kebolehan ini hanya diperuntukkan kepada sayyid yang
memiliki hamba, dengan tujuan supaya miliknya terjaga.
- Sulaiman
Al-Bujairimi, Pendapat yang mu’tamad (pendapat
yang menjadi pegangan dalam mazhab syafi’i) adalah tidak diharamkan. Yang
haram hanyalah mematikan segumpalan daging yang telah ditiupkan ruh.
Dapat disimpulkan
bahwasanya mencegah kehamilan dengan alat kontrasepsi
hukumnya makruh, bila dilakukan dengan tujuan menertipkan keturunan
(Tanzim al-nasl). Dan haram hukumnya jika untuk
memutuskan keturunan (Tahdidu al-nasl). Sementara bila
menggunnakan alat kontrasepsi yang cara kerjanya dengan mengkonsumsi
obat-obatan yang dapat menggugurkan kandungan atau janin yang telah ditiupkan
ruhnya maka sepakat Ulama mazhab syafi’i mengharamkannya.
0 Response to "HUKUM KB MENURUT MAZHAB SYAFI'I"
Post a Comment