STUKTURALIS (MAKALAH)
BAB I
PENDAHULUAN
Strukturalis dalam
bahasa Inggris dari latin Struere dengan arti
membangun. Struktura berarti bentuk bangunan. Jadi strukturalisme
merupakan aliran yang lebih mementingkan sebuah sistem yang menjadi latar
belakang adanya Linguistik Sausure Prancis. Yang menjadi ajaran pokoknya adalah
masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap. F.
Sausure yang mendominasi munculnya strukturalisme dengan beberapa
penemuan-penemuan (pengkajian) diantaranya mengenai Sigbifiant (penanda)
dan segnifie (yang ditandakan), Langue (bahasa milik
bersama) dan Parol (bahasa
individual), serta sinkroni (peninjauan ahistoris)
dan diakroni (peninjauan historis).
Strukturalisme
merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa
semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Ciri
khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui
penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu
dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui
pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari
suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap
tingkat) (Bagus, 1996: 1040).
Gagasan-gagasan
strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi
interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu
kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural
dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk
mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040).
Satu
filsuf seperti Saussure menekankan bahwa suatu tanda bahasa bermakna bukan
karena refrensinya kepada benda dalam realitas. Yang ditandakan benda dalam
realitas bukanlah benda, melainkan konsep tentang benda. Karena menurut ia
tanda konsep tidak lepas dari tanda bahasa, tetapi termasuk tanda bahsa itu
sendiri. Menurut saussure juga, tanda bahasa yang dipelajari oleh
linguistik terdiri atas dua unsur; le signifiant the signifier dan the
signified. Dalam bahasa indoneisa dapat diterjemahkan “penananda” dan yang
“ditandakan”. Segnifiant adalah aspek material dari bahasa,
sedangkan segnifie adalah gambaran mental, pikiran atau konsep.
Bahasa
sebagai sistem ini membawa kita kepada perbedaan yang dilakukan oleh Saussure,
linguistik harus memperhatikan sinkroni sebelum
menghiraukan diakroni. Sinkroni dan diakroni berasal dari
kata yunani kronos (waktu) dari awalan syn dan dia,
masing-masing berarti “bersama” dan “melalui”. Maka dari itu, sinkroni dapat
dijelaskan sebagai “bertepatan menurut waktu” dan diakroni “menelusuri
waktu”. Maka dapat disimpulkan, diakroni adalah peninjauan historis
menurut sejarah atau kejadian yang sudah berlalu, sedangkan sinkroni
menunjukkan pandang yang sekali tidak ada kaitannya dengan prespektif historis
(peninjauan ahistoris).
Maka
dari itu, jelas bahwasanya ciri khas strukturalisme ialah pada deskripsi
keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat
instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta
atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Berangkat dari seperangkat
fakta yang akan diamati pada permulaannya, strukturalisme menyingkapkan dan
melukiskan struktur nti dari uatu objek (hierarkinya, kaitan timbale balik
antara unsure-unsur pada setiap tingkat), dan lebih lanjut menciptakan suatu
model teoritis dari objek tersebut.
Dengan
penyelidikan dan penyingkapan instrinsiknya maka terjadi beberapa perkembangan
dan penyimpangan strukturalisme yang pada mulanya menerapakan pendirian
Saussure, tapi sekarang sudah diterapkan dalam bidang yang lain. Seperti yang
dilakukan oleh Claude Levi-Strauss dengan menuju penspesifikasian struktur
tetap hubungan-hubungan yang, berdasar hipotesis, di terima oleh semua manusia
secara tidak sadar dan pra-reklektif. Levi-Strauss menggunakan metode
antropologi dan linguistik secara serempak. Dalam penerapan metodenya ini
kemiripan atau kesamaan berbagai macam mitos dan adat-istiadat dalam pelbagai
masyarakat, manusia dipandang sebgai porsi dari struktur yang tidak
“dikonstitusikan” oleh analisis itu melainkan “dilarutkan” dengan analisis.
Jaques
Lacan, pendiri mazhab Freudian, mempergunakan perhatian strukturalis pada
bahasa dengan dunia bawah sadar manusia. bagi Lacan, bahasa bukan saja alat
yang memungkinkan seseorang mampu menyelami dunia tak sadarnya, tetapi juga
yang tidak sadar itu sendiri “distruktur secara persis” sebagai suatu bahasa.
Lois
Althusser memperluas analisis strukturalis kearah pemikiran Karl Marx. Dalam
percobaan ini dilakukan usaha untuk memandang sejarah maupun ekonomi sebagai
“tercaplok” di dalam struktur-struktur. Sementara Roland Berthes menerapkan
analisis strukturalis pada kritik sastra. Dengan menganggap macam-macam gaya
ekspresi atau analisi sebagai “bahasa-bahasa yang berbeda-beda”, tugas kritik
sastra adalah tugas terjemahan.
Sedangkan
Michel Foucault menerapkan strukturalisme pada bidang filsafat. Menurutnya,
tatanan kata-kata mengandung kunci bagi pengertian, baik dalam filsafat maupun
bidang lain, dan lebih penting disiplin tatanan benda-benda. Agar supaya lebih
jelas dan memahami strukturalisme kami bahas tokoh-tokoh dalam makalah kami
dengan judul “Aliran Strukturalisme” beserta pemikirannya. Disini juga
dibahas beberapa analisa dari penulis makalah ini, dengan tujuan memberi
pemahaman kepada para pembaca dalam kesulitan-kesulitan memahami aliran
Strukturalisme.
Sudah
jelas bahwasanya para tokoh strukturalisme menerapkan perinsip-prinsip F.
Desaussure ke dalam bidang-bidang lain. Ada yang menerapkan strukturalisme
dalam antropologi budaya (Claude Levi-Straus), Jacques Lacan menerapkan
strukturalisme dalam bidang Psikoanalisa, Roland Barthes menggunakan juga
prinsip-prinsip Saussure dalam bidang kritik sastra, serta Michel Foucault yang
menggunakan strukturalisme dalam bidang pengkajian epistemologi. Maka dapat di
bilang aliran strukturalisme mengalami kemajuan, awalnya hanya digunakan dalam
bahasa saja (F. Saussure), namun oleh bebrapa filsuf diterapkan atau digunakan
dalam beberapa bidang atau hal lain.
Perkembangan-perkembangan
tersebut diawali sebagai satu-satunya upaya untuk mencari sebuah kebenaran
dalam sosial-budaya ataupun ekonomi-politi. Hal itu menandakan reformasi
perkembangan dari satu periode ke dalam periode lainnya, yang pada hal itu akan
mendorong pelbagai perubahan bain dari interaksi yang ada dalam sebuah polis
ataupun kebudayaan dalam polis itu sendiri. Strukturalisme mempunyai peran
penting, sehingganya dapat membangun sebuah peradaban, pembangunan, serta
kontruk dalam cara mengatur atau mengarahkah sebuah polis.
Ada
beberapa poin-poin atau ruang lingkup dalam makalah kami yaitu hal-hal yang
melatar belakangi munculnya strukturalisme dan juga kami ulas dengan tuntas mengenai
aliran struturalisme beserta diskriptif dari berbagai tokoh. Kemudian dalam
analisis kami gunakan berbagai literature buku diantaranya buku karangan K.
Bertens Jilid II dengan judul buku Filsafat Kontemporer, Kamus Loren Bagus, dan
dengan buku Pengantar Linguistik Umum, F. Sausure dan lain-lain.
Dalam
analisis data disini, juga kami gunakan hasil-hasil diskusi bersama yang telah
dilakukan selama 1 minggu di Pakuniran bersama semua teman-teman Kelompok
Kajian Pojok Surau (KKPS) angkatan 2007. Dan juga kami arahkan kemampuan kami
semaksimal mungkin untuk menganalisa dan mengkritisi aliran strukturalisme
dalam berbagai buku dan asumsi-asumsi dari para intelektual muda.
Sistematika
penulisan dalam makalah ini dengan diawali pendahuluan dalam BAB I, kemudian
kami bahas secara tuntas dari beberapa isi makalah dalam BAB II dan kami
simpulkan dari berbagai penjelasan dari pembahsan isi makalah dalam BAB III
serta terhakhir kami lampirkan daftar pustaka sebagai penguat literatur.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tokoh-tokoh
dalam Strukturalisme
Beberapa tokoh
dalam strukturalisme yang sering kita jumpai dan menjadipembahasan yang alot
serta selalu menimbulkan tanda tanya besar dalam benak kita maupun dan
merupakan pengkajian kita bersama. Pembahasan ini akan memakan waktu begitu
lama untuk memahami dan mengaplikasan dalam kehidupan manusia tentang apa yang
sebenarnya strukturalisme. Tentunya, tidak mudah untuk mengetahui hal itu
karena kita harus memahami tokoh-tokoh dalam aliran strukturalisme tersebut.
Dengan begitu, kita akan lebih mensentralkan pengkajian dalam mengetahui
hakikat strukturalisme itu sendiri.
Strukturalisme
disini sebagai proses membangun dalam berinteraksi satu sama lain dan
mengembangkan kebudayaan mereka sendiri dengan tujuan sebagai reaksi terhadap
evolusionisme positif dengan dengan menggunakan metode-merode riset struktural
yang dihasilkan oleh matematika, fisika dan ilmu-ilmu alam lainnya. Terciptanya
berbagai dialektika dan usaha-usaha tersebut, sehingga strukturalisme mulai
dikembangkan oleh beberapa filsuf seperti Claude Levi-Strauss (linguistic
perancis), Jacques Lacan (Psikoanalisa), Roland Barthes (Kritik sastra) dan
filsuf-filsuf strukturalis yang lain. Oleh karena itu, strukturalisme tidak
hanya digunakan untuk bahasa saja sebagaimana seorang filsuf yang berdasar pada
prinsip-prisip Sausure, akan tetapi digunakan dalam bidang yang lain.
Perkembangan
struktururalisme yang digunakan dalam berbagi bidang oleh beberapa filsuf
mewujudkan pentingnya relasi-relasi dan komunikasi (social-komunis) yang
terstruktur dalam kehidupan manusia. Relasi-relasi dan komunikasi yang inten
serta continue mewujudkan berbagai akumulasi, revolusi serta evolusi
dalam sebuah komunitas (polis). Usaha dalam membangun itulah yang dijadikan
landasan oleh pemikir-pemikir dalam menganalisa realitas kehidupan. Tidak mudah
untuk membentuk peradaban dalam kehidupan manusia, karena adanya beberapa
kesulitan-kesulitan, kejadian yang tidak diharapkan, serta kejadian yang diluar
dugaan kita.
Diantara
faktor-faktor yang memajukan strukturalisme di dalam beberapa ilmu ialah
diciptikannya semiotika (kombinasi pemikiran), ide-ide Sausure dalam
Linguistik, ide-ide Levi-Strauss dalam Etnologi, dan L.S. Vygotsk dan Piaget
dalam Psikologi, serta tampilnya metalogika dann metamatematika (Frege,
Hillbert).
Mungkin
kita akan lebih memahami tentang aliran strukturalisme dengan mendalami
tokoh-tokoh strukturalisme serta pemikirannya, dan sejarah tokoh tersebut.
Karena dengan mengkomparasikan dan menilik sejarah kembali dari beberapa tokoh,
sehingga dapat menyimpulkan definisi baru dan pemahaman baru tentang
stukturalisme. Secara struktur apa yang ada di dunia ini, tanpa adanya struktur
barang kali kehidupan manusia tidak akan terarah. Sesutu yang terjadi di dunia
ini bukan karena kebetulan, tapi sudah terstruktur sebelumnya. Marilah kita
dalami dan pelajari beberapa tokoh yang mereformasi dan mengembangkan
strukturalisme dalam hal lain.
1. Claude
Levi-Strauss
a. Riwayat
Hidup
Claude
Levi-Strauss, dilahirkan di Brussel, Belgia, tahun 1908 dari orang tua Yahudi
yang berkebangsaan Prancis. Tahun 1914 mereka pindah ke Versailles, Prancis. Ia
belajar filsafat di Universitas Sorbonne. Tetapi pada waktu itu dalam rangka
studi flsafat diberi kesempatan juga untuk mendalami karya-karya ilmu social
(E. Durkheim, M. Mauss, dan lain-lain), karena antropologi budaya belum
merupakan suatu spesialisasi akademis tersendiri. Ia
memperoleh aggregation de philosophie (1932) dan untuk bebrapa waktu
mengajar filsafat di salah satu Lycee. Tahun 1934 ia menjadi
professor sosiologi di San Paolo, Brazil (1934-1937). Sementara itu bebrapa
kali ia melakukan penelitian etnografis di pedalaman Brazil. Tehun 1938-1939 ia
dapat mengikuti suatu ekspedisi ke daerah Indian di pendalaman brazil. Tahun
1939-1940 ia memnuhi wajib militernya di Prancis. Setelah kota Paris jatuh
dalam tengan tentara Jerman, ia berhasil pindah ke luar negeri dan akhirnya
sesudah singgah di beberapa tempat lain tiba di New York di mana ia menjadi
dosen pada The new scholl of social research. Di situ ia bertemu
dengan Roman Jacobson, perjumpaan yang sangat menentukan untuk karier ilmiah
Levi-Strauss. Melalui Jacobson ia berkenalan dengan Linguistik modern dan
menemukan kemungkinan-kemungkinannya untuk antropologi. Tahun 1945 ia
mempublikasikan artikelnya “analisa structural dalam Liguistik dan antropologi”
dalam majalah Word, organ dari The linguistic cirde of New
York yang didirikan oleh Jacobson. Bersama Jacobson ia menulis juga suatu
analisa structural tentang sajak penyair Prancis Baudelaire yang
berjudul Les chat. Tahun 1947 ia pulang ke Prancis. Ia menjadi
direktur studi pada Ecole pratique de hautes etudes (1950-1974) dan
mencapai puncak kariernya dengan diangkat sebagai professor antropolog
padaCollege de France (1959). Ia mendapat banyak penghargaan dari dalam
dan luar negeri, seperti Prix Paul Pelliot (1949), The Huxley
memorial medal (1965), medali emas dari Centre national de
larecherche scientifique (1968), penghargaan tertinggi di bidang ilmiah di
Prancis, dan Hadiah Erasmus (1973). Tahun 1973 juga ia diterima sebagai
anggota Academia Francaise. Dalam sejarahnya juga diceritakan, bahwa
Levi-Strauss juga dipengaruhi oleh ketiga filsuf pada masa mudanya dan
menentukan kehidupannya sebagai sarjana kemuadian, yaitu filsafat Karl Marx,
Psikoanalisa Simund Freud, dan ilmu geologi. Inilah sedikit ulasan sejarah
Levi-Strauss pada masa mudanya.
b. Karya-karya
Di antara
karya-karya boleh disebut: La vie familial et sociale des
Indiens Nambikwara (1948) (Hidup kelurga dan hidup sosial pada
Indian-Indian Nambikwara); Les structurares elementaires de la
parente (1949; edisi yang direvisi 1967) (Struktur-struktur elementer
kekerabatan); Trietes tropiques (1955) (Daerah tropika yang
menyedihkan) adalah otobiografinya yang menjadi sukses besar. BukuAntropologie
structural (1958) (Antropologi structural) mengumpulkan pelbagai artikel
dan publikasi kecil. Le totemisme aujourd’hui (1962) (Totemisme
dewasa ini); La pensee sauvage (1962) (Pemikiran Liar). Studi besar
tentang mitologi diberi judul umum My thologiques dan terdiri atas
empat jilid tebal (1964; 1967; 1968, 1971); judul ini barangkali dapat
diterjemahkan sebagai “Mitologi-mitologi” sebab dalam nama Prancis sengaja
terdapat referensi pada kata “Logika” dalam bahsa inggris telah telah dipilih
terjemahan: Introduction to a science of mythology. Antropologie
structural deux (1973) (Antropologi Struktural Jilid Kedua) mengumpulkan
lagi sejumlah karangan kecil. La voie des masques (1973) (Jalan
Topeng-Topeng) mempelajari topeng-topeng dari kebudayaan-kebudayaan primitive
dalam hubungan dengan mitologi mereka. Myth and meaning (1978) adalah
buku kecil yang memuat ceramah-ceramah yang diberikan Levi-Staruss untuk Radio
Kanada siaran berbahasa Inggris. Le regard elogne (1983) (Pandangan
Jauh) merupakan kumpulan artikel-artekel yang sebagian besar mendalami
tema-tema dari karya-karyanya yang lain.
Kiranya kita
sudah ini cukup sebagai dasar pemikiran Levi-Strauss mulai dari perjalanan
hidupnya untuk dijadikan bahan untuk kita analisa.perpindahan dari satu
tempat ke tempat yang lain, sangat sangat mendominasi juga kepada
pemikirannya. Dengan begitu kita bisa memahami pola pikir dari filsuf ini
dengan mengaitkan riwayat hidup dan karya-karyanya sewaktu dia masih dalam
pencarian kepribadiannya menjadi seorang filsuf Prancis pada saat itu dengan
sebutan bapak strukturalisme Prancis.
c. Pemikiran-pemikiran
Levi-Strauss
Perlu
kita underlaine sebelum dia berikhtiar merealisasikan program secara
sistematis pemikirannya Mauss, yaitu untuk memadukan antara sosiologi dengan
mengikut sertakan ilmu bahasa dengan tujuan agar supaya lebih maju, yang
terjadi sekitar 1920-an. Fonologi terutama ditandai tiga cirri yang
ketiga-tiganya dapat dimanfaatkan dala ilmu antropologi yaitu sebagai berikut:
1) Bahasa
seluruhnya merupakan suatu sistem tanda, demikian pun juga, unsusr-unsur bahasa
yang disebut fonem-fonem merupakan suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi
dan oposisi-oposisi.
2) Sistem
itu dipelajari secara sinkonis, sebelum orang menyelami masalah-masalah
diakronis.
3) Hukum-hukum
Linguistik memperlihatkan suatu taraf tak sadar. Hukum-hukum tata bahasa
misalnya diterapkan orang tanpa ragu-ragu. Padahal orang tidak mengenal
hukum-hukum itu secara sadar. Itu berarti bahwa sistem bahasa dibentuk oleh
“psike manusiawi” yang tidak reflektif dan tidak sadar.
Dalam
karang Struktur-struktur elemeter kekerabatan, yang merupakan karang
terbesar Levi-Strauss pertama kali memberikan perhatian dunia terpelajar
internasional. Di situ ia berikhtiar menganalisa dan menjelaskan sistem-sistem
kekerabatan primitif (krinship sistem) dengan menggunakan metode
strukturalistik. Dia menyetarafkan antara kekerabatan dengan obyek Linguistik
dengan argumen-argumen yang kuat, seakan kekerabatan dapat dianggap sebagai
semacam bahasa. Kekerabatan dan perkawinanan merupakan sebuah sistem dan
sistem itu terdiri atas relasi-relasi dan oposisi-oposisi. Seperti suami-istri,
bapak-anak, saudara lelaki-saudara perempuan. Itu semua sama seperti bahasa,
kekerabatan merupakan sebuah sistem komunikasi. Bahasa adalah sistem
komunikasi, karena ada informasi atau pesan-pesan yang disampaikan oleh
individu kepada individu lain. Dan karena alasan klan-klan atau famili-famili
atau grup-grup sosial lain tukar-menukar wanita, sebagaimana bahasa sebagai
penukaran, komunikasi, dialog, demikian pun kekerabatan.
Dengan
menerapkan metode-metode struktural dalam penyelidikan relasi-relasi
kekerabatan, Levi-Strauss beranggapan dapat mencurahkan cahaya baru atau suatu
masalah yang sudah lama dipersoalkan dalam antropologi, yaitu
larangan Incest. Ada beberapa interpretasi dari Incest ini,
namun Levi-Strauss menafsiri bahwa larangan Incest adalah sama
universal seperti bahasa. beberapa cara yang diterapkan oleh ilmu antropologi
dalam berusaha melarang Incest tersebut, diantaranya dengan
menggunakan teori biologis/eugenetis (larangan itu mempunyai dasar alamiah,
karena orang tua kerabat akan melahirkan keturunan yang tidak sehat), teori
psikologis (orang yang dibesarkan tidak merasa daya tarik seksual satu sama
lain) dan beberapa teori sosilogis seperti yang digunakan Durkheim dalam
melarang Incest ini.
Dalam hal ini,
Levi-Strauss mengambil itu suatu hal yang negatif, akan tetapi aspek yang negative
dari fenomena positif. Sehingga dia mengambil sebuah kesimpulan dengan adanya
perintah mengenai “eksogami” (menikah dengan wanita dari klan lain) yang
mempunyai sebab akibat negative larangan terhadap “andogami” (menikah dengan
wanita dari klan yang sama) yang menjadi dasar hubungan-hubungan sosial dan
kultur pada umumnya ialah pertukaran (L’echange). Dengan demikian, Levi-Strauss
dapat menerangkan larangan Incest yang dalam grup-grup sosial konkret
tanpak dalam macam-macam bentuk sebagai perwujudan yang berlain-lainan dari
struktur yang identik dan universal. Dalam pemikiran Levi-Strauss juga
dikatakan dalam buku ini (pemikiran liar) 1962 bahwasanya tidak ada perbedaan
antara “pemikiran liar” dan “pemikiran jinak”, antara dalam pemikiran
masyarakat primitif dan pemikiran sekarang ini (modern). Pemikiran primitf
tidak bersifat pra-logis, kalau dibandingkan dengan pemikiran modern
sebagaimana pendapat yang dilontarkan oleh Lucien Levy-Bruhl, seorang filsuf
dan sosiolog Prancis. Buku ini juga merupakan kritikan tajam kepada Sartre
terhadap bukunya Kritik atas Rasio yang terbit dua tahun sebelumnya.
Menurut Levi-Strauss, Sartre sebenarnya masih menganut pendapat tersebut.
Tetapi harus ditekankan, pemikiran primitive maupun pemikiran ilmiah yang
modern kedua-duanya berpikir logis. Hanya caranya berlainan. Perbedaannya
menurut Levi-Strauss, kalau “pemikiran liar” bekerja pada taraf inderawi,
merupakan pemikiran konkret. Sedangkan “pemikiran modern” merupakan pemikiran
yang abstrak dan cara hitungnya pun berbeda. Sehingga dia memperlihatkan secara
luas klasifikasi-klasifikasi yang tersusun dalam masysrakat-masyarakat
primitif (menyangkut tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang dan lain-lain).
Inti pemikiran dari Levi-Strauss ialah menciptakan orde atau tata susunan.
Levi-Strauss
juga memecahkan problem yang sering muncul dalam ahli antropologi budaya, yaitu
tentag totemisme. Menurutnya, totemisme sebagai sebagai sistem sosiu-religius
yang terdapat di tempat-tempat yang berbeda (Australia, Afrika, dan Amerika)
tanpa relasi satu sama lain. Totemisme hanya sebagai salah satu penerapan dalam
pemikiran konkret yang dijalankan oleh masyarakat-masyarakat primitif.
Totemisme juga merupakan suatu pendekatan teoritis yang pertama terhadap
realitas di mana realitas-realitas di mana relasi-relasi konkret yang diamati
yang diterapkan pada realitas itu sendiri.
Dengan adanya
dua cara pemikiran yang berbeda ini, sehingga Levi-Strauss mampu menetukan
bagaimana kerjanya psike manusiawi pada umumnya. Dengan demikian ia sampai pada
pendiriannya mengenai une pensee sans sujet (pemikiran tanpa subyek).
Dikatan, bahwasanya pemikiran tidak berasal dari suatu “subyek”. Berfikir
adalah mengklasifikasi. Sudah menjadi kesepakatan dan diterima dalam seluruh
tradisi filsafat barat: mulai dari Descartes sampai dengan Sartre bahwa subyek
tidak mempunyai peranan. Dengan berpikir manusia hanya mempraktekkan struktur
yang terdapat dalam realitas, struktur yang terdapat dalam benda-benda.
Sampailah
pemikiran dari materialistik yang ekstrem tentang hidup psikis manusia. manusia
merupakan sebagian dari kosmos atau realitas material yang tidak membuat lain
daripada mencerminkan kosmos itu sendiri. Akibatnya, bagi Levi-Strauss pada
akhirnya tidak ada perbedaan prinsipial antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan manusia, dua-duanya mempelajari hal yang sama.
Dalam
buku Mythogique Levi-Strauss juga berusaha mewujudkan dan mencoba
mengaitkan ke dalam pemikiran liar. Menurutnya, psike selallu dideterminasi
oleh struktur-struktur tak sadar dalam segala pekerjaannya. Dan Levi-Strauss
menginterpretasikan mitologi juga terdiri dari relasi-relasi serta
oposisi-oposisi dan dengan cara demikian “pemikiran liar” barhasil menciptakan
keteraturan dalam dunianya.
Dalam mengkaji
mitos-mitos hauslah tidak melihat dari satu arah saja, tapi bisa dilihat dari
beberapa arah. Kita bisa mengulas dan memulai pengkajian tersebut dari atas ke
bawah atau dari kiri ke kanan. Dengan begitu kita akan tau apa saja yang harus
kita cari dan kita gali. Sehingga sampailah pada kesetaraan dan keseimbangan
dalam kehidupan dan menjadikan struktur itu (relasi-relasi) lebih sistematis.
2. Jacques
Lacan
a. Riwayat
Hidup
Jacques Lacan
adalah salah satu tokoh dari strukturalisme yang menganggap Levi-Strauss telah
meninggalkan psikoanalisa Freud sebagai satu-satunya sumber inspirasi bagi
usahanya di bidang strukturalisme dan lebih memntingkan taraf tak sadar. Ia
dilahirkan di Paris dan belajar ilmu kedokteran serta psikiatri di kota asalnya
(1901-1981). Tahun 1932 ia meraih gelar “doktor dalam ilmu kedokteran” dengan
disertai la psychose paranoque dans ses rapport avec la
personalite (dicetak ulang tahun 1975) (Psikosa Paranoia dalam Hubungan dengan
Kepribadian). Tahun 1936 ia member ceramah pada kongres ke-14 dari “Himpunan
internasional untukpsikoanalisa” di Marienbad tentang teorinya yang disebut
“fase cermin” ia menolak sikap emperistis dan sientestis, ia menentang
bertambah pentingnya Ego psychology dikalangan mereka (Hartmann,
Kris, Loewenstein dan mempersoalkan tendensi “medikalisasi” pada
analisis-analisis Amerika. Dalam hal terakhir ia dekat dengan ikhtiar Freud
sendiri dalam Masalah analisa awam (1927). Di Paris is mendirikan
suatu himpunan baru Societe Francaise de Psychanalyse (1953). Tahun
1964 himpunan baru itu dibubarkan dan diganti dengan Ecole Freudienne de
Paris (sekolah Freudian di Paris). Inilah sekilas sejarah perjalanan pada
masa mudanya.
b. Karya-karya
Karya Lacan
yang tebal berjudul Erits (1966) (Karangan-karangan) terdiri dari
ceramah-ceramah yang diberikannya pada pelbagai kesempatan. Sejak tahun 1953,
secara berkala ia memberikan seminar-seminar ia menarik semakin banyak peminat
dan menjalankan pengaruh besar sekali atas kehidupan intelektual di Paris pada
tahun 60-an dan 70-an. Seminar-seminar tersebut selalu direkam dan dengan
persetujuan dan kerja sama tersebut selalu direkam dan dengan persetujuan dan
kerja sama Lacan sendiri mulai diterbitkan sejak tahun 1975 dengan judul Le
seminaire de Jacquea Lacan, dibawah pimpinan menantunya Alain Miller.
Tahun 1974 terbit bukunya Television (Televisi). Sangatlah sulit
untuk menemukan karya-karya Lacan karena sulit untuk dibaca dan dengan jelas ia
menerangkan pemikirannya dengan cara lisan, sedangkan yang dituangkan dalam
bentuk tulisan (karya) sangat sulit untuk dipahami.
c. Pemikiran-pemikiran
Jacques Lacan
Sejarah Lacan
mengatakan bahwa Lacan sedikit banyak dipengaruhi oleh Psikonalisa Freud Hegel
dan juga Heidegger. Dalam Spikonalisa Freud, ia memperlihatkan
suatu decentrement (dalam bahasa Inggris telah diterjemahkan) pada
manusia. ia memperkenalkan kita dengan kenyataan bahwa manusia “seakan-akan
tergeser dari pusatnya”. “manusia tidak lagi tuan atau penguasa dalam rumahnya
sendiri”, ini yang dikatakan Freud. Anggapan tersebut bukan sebuah revolusi
dalam cara memandang manusia yang dimainkan oleh kesadaran dalam seluruh
pemikiran Barat sejak Deskartes dan Lacan menjelaskan ketidaksadaran itu dalam
cahaya penemuan-penemuan Sausure
antara significant dansignifie, antara “penanda” dan “yang
ditandakan”, juga dibuat landasan oleh Lacan. Bahasa (langue seperti yang
dimengerti Sausure ) merupakan suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan
oposisi-oposisi yang mempunyai prioritas terhadap subyek yang berbicara.
Manusia tidak membuat sistem itu tapi sebaliknya takluk padanya. Menurut Lacan
hal yang sama berlaku juga untuk ketidaksadaran. Ketidaksadaran
semacam Logos yang mendahului manusia perseorangan.
Lacan juga
membahas ketidaksadaran dalam konteks percakapan psikoanalitis atau percakapan
seorang psikoanalis sama pasiennya atau analisannya. Merupakan pendapat Lacan
akan hal itu ketidaksadaran mempunyai struktur yang sama seperti bahasa. Ia
juga sependapat dengan Freud bahwa manusia “telah tergeser dari pusatnya”.Dalam
percakapan psikoanalitis subyek tidak berbicara, tetapi dibicarakan: le
sujet y est parle plutot qu’il ne parle (Ecrits, hlm. 280). Bukan
saya yang berbicara; ada yang bicara dalam diri saya (it speeks in me).
Ketidaksadaran merupakan le discours de l’Autre (diskursus dari yang
Lain) (Ecrist, hlm. 379). Dari bebrapa uraian di atas, sudah jelas bahwa
Lacan tidak mempercayai dengan adanya peran subyek, oleh karena itu ia
beranggapan ada orang lain dalam diri manusia.
3. Roland
Barthes
a. Riwayat
Hidup
Tokoh ini yang
memainkan peran penting dalam aliran strukturalisme pada tahun 60-an dan 70-an
di Paris (1915-1980). Ia dilahirkan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne
serta Paris. Dan ia mempelajari sastra dan klasik (Yunani dan Romawi) di
Universitas Sorbonne, ia lama berobat di beberapa sanatoria (1942-1947). Ia
mengajar bahasa dan sastra Prancis di Bukarest (Rumania) dan Kairo (Mesir).
Sesudah kembali di Prancis ia bekerja untuk Centre national de recherché
scientique (Pusat rasional untuk penelitian ilmiah) dan menulis
artikel-artikel tentang sastra. Dari tahun 1960 ia menjadi asisten dan kemudian
“direktur studi” dari seksi keenam Ecole pratique deshautes
etudes. Pada tahun 1976 ia diangkat sebagai professor untuk “semiologi
literer” di College de Frauce. Tahun 1980 ia meninggal pada umur 64
tahun, akibat ditabrak mobil di jalanan Prancis sebulan sebelumnya.
Roland Barthes
dipengaruhi oleh para filsuf yang menandai zamannya, seperti misalnya
eksistensialisme, marxisme, dan strukturalisme, sehingga pemikirannya menentang
segala macam kontinuitas serta kesatuan dan sebaliknya menekankan
diskontinuitas serta pluralitas.
b. Karya-karya
Karya pertma
kali ia tulis, dengan judul Le degree zero de L’ecreture (1953) (Nol
derajat di Bidang Menulis), dengan karyanya ini ia berpendirian sendiri dan
menempuh jalan hidupnya dengan tidak bergantung dengan siapapun. Dalam buku ini
menunjukkan pemikirinnya pada kritikan atas kebudayaan borjuis. Dalam hal ini
sejalan dengan Sartre dan beberapa Marxis Prancis pada waktu itu. Kemudian
menulis karya lagi dengan judul Mythologies pada tahun 1957
(Mitologi-Mitologi), karya yang ditulis ini menganalisa data-data kultural yang
dikenal umum seperi Citroen DS, balap sepeda Tour de France, reklame
dalam surat kabar dan lain-lain sebagai gejala masyarakat borjuis dan ia juga
berusaha memperlihatkan ideologinya. Dikatakan juga dalam sebuah sejarah tahun
1956 ia membaca buku Saussure Kursus tentang Linguistik Umumdan mulai
menyadari kemungkinan-kemungkinan untuk menerapkan semiologinya atas
bidang-bidang lain. Pemikirannya bertentangan dengan Saussure, Barthe
beranggapan bahwa semiologi termasuk linguistik dan tidak sebaliknya. Pada
tahun 1964 juga mengarang dalam buku kecil dengan judul Element de
semiologie. (Beberapa Saussure Semiologi). Buku lain juga dikarang oleh
Barthes yaitu System de la mode (Sistem Mode) pada tahun 1967,
merupakan suatu percobaan metode analisa struktural atas mode pakaian wanita.
Diantara buku-buku Barthes yang lain bisa disebut juga L’empere des
signes (1970) (Kekaisaran Tanda-Tanda), tentang Jepang, suatu Negara yang
banyak dikagumi oleh Barthes dan strukturalisme pada umumnya. Ia juga menulis
otobiografinya dengan judul Roland Barthes par Roland Barthes (1979)
(Roland Barthes oleh Roland Barthes). Buku ini ditulis dengan menggunakan orang
ketiga (“ia” atau juga “RB). Inilah sedikit ulasan mengenai karya-karyanya
sewaktu masih menjadi filsuf hingga berkembang dan menjadi rujukan para pemikir
sekarang.
c. Pemikiran-Pemikiran
Roland Barthes
Pemikiran-pemikirannya
tidak jauh dari beberapa filusf yang menjadi pengaruh dalam hidupnya. Seperti
halnya Barthes mengikuti pendapat E. Benveniste, ahli linguistik Prancis besar
yang berasal dari Libanon. Benveniste menekankan bahwa sekolompok tanda baru
berarti bila dapat dibahasakan. Karena itu bahasa mempunyai perioritas di atas
semua sistem tanda-tanda yang lain. Dalam karang yang telah dijelaskan di atas
dalam buku yang berjudul Sistem Mode, Barthes memperlihatkan bahwa
dibelakangnya terdapat suatu sistem yang mengatur kehidupan manusia dalam
berinteraksi satu dengan yang lainya.
Berthes
mempersoalkan pandangan tradisional, karena menurut Balzac sering dibandingkan
dengan melukis, akan tetapi Barthes memprlihatkan bahwa realisme Balzac itu
sebetulnya tidak melukiskan kehidupan, tetapi hanya pandangan-pandangan
yang sudah fixed tentang kehidupan. Ia melukiskan steroip-steroip
tentang kehidupan. Dengan demikian Barthes menganggap realisme terdiri bukan atas
meniru yang real, melainkan atas meniru suatu tiruan dari yang real. Sehingga
Barthes mulai penyelidikannya dengan membagi buku Sarrasine atas yang
disebutnya 561 lexies yang semua diberi nomor.
Istilah lexie dipergunakan untuk menunjukkan “satuan bacaan”.
Ada Lexie yang terdiri dari beberapa kata dan
ada Lexie yang terdiri dari beberapa kalimat. Setelah teks
dipotong-potong menjadi satuan-satuan itu dapat dikombinasikan satu
dipertentangkan. Untuk itu ia menggunakan lima kode: kode hermeneutis dan aksional,
kode semantik dan simbolis, dan akhirnya kode referensial. Kode terahir
misalnya menjadi relasi-relasi dengan realitas di luar teks.
4. Louis
Althusser
a. Riwayat
Hidup dan Karya-karya
Prancis disaat
Negara Barat banyak yang memusatkan perhatiannya pada Maxisme, bukan saja
di bidang politik (Pracis sudah lama mempunyai Partai Komunis yang kuat)
melainkan juga dalam kalangan intelektual. Terutama di awali sejak Perang Dunia
II kaum cendekiawan Prancis merasa tertarik akan Filsafat Karl Marx. Sebelum
kita mempelajari pemikiran Althusser, terlebih dahulu harus mengetahui terlebih
dahulu keterkaitannya dengan strukturalisme. Walaupun ia menolak nama
“struturalis” namun tidak dapat disangkal bahwa ada persamaan tertentu antara
beberapa pikiran Althusser dan prinsip-prinsip dasar dalam strukturalisme.
buku-buku
karangan yang ditulis oleh Althusser juga harus kita pelajari, untuk mengetahui
bagaimana hubungan Althusser dengan strukturalisme. Seperti buku dengan
judul Pour Marx (1965) (Demi Marx) dan Live le
Capital (1965), dua jilid (Membaca Das Kapital). Buku yang terakhir
ditulis bekerja sama dengan orang lain. Dan perlu dikaji lagi bahwa terbitnya
kedua buku ini persis ketika strukturalisme pada puncaknya, inilah yang
membuktikan keterkaitan antara karya-karyanya dengan kemajuan strukturalis.
Sekita itu, pemikirannya dikaitkan dengan strukturalisme. Sebagaimana Lacan
membaca dan menginterpretasikan freud, dan juga Althusser malakukan hal yang
sama pada Marx.
b. Pemikiran-Pemikiran
Louis Althusser
Pemikiran
Althusser bertentangan dengan pemikiran tradisional, karena ia menganggap bahwa
Marx kelihatan keretakan epistemologis, suatucoupure
epistemologique. Keretakan itu berlangsung sekitar tahun 1845-1850. Hal
itu menjadi kebiasaan membagikan karya-karya Marx ke dalam dua kelompok, yaitu
karya mudanya dan karya pada waktu matangya sehingga menimbulkan definisi Marx
Tua dan Marx Muda. Asumsi-asumsi orang menganggap karya mudanya diperdalam dan
dikembangkan pada masa matangnya. Dengan kata lain, karya-karya masa mudanya
dengan dasar pengolahan teknis (berdasar ilmu ekonomi) dari pandangan
manusia pada masa mudanya. Akan tetapi menurut Althusser kontinuitas semacam
itu tidak ada. Antara kira-kira tahun 1845-1850.
Ia mengatakan
Marx sudah berpaling dari pendapat-pendapat terdahulu. Sampai saat itu Marx
melukiskan suatu pandangan humanistik. Dalam konteks itu kerap kali ia
menggunakan konsep-konsep seperti: subyek, kodrat manusiawi, makna,
aliensi, dan sejarah. Dengan demikian, ia meneruskan pendirian
antropologis dari Kant, Hegel, Fiche, dan Feuerbach. Tapi dengan berpaling dari
pemikiran humanistik ini Marx menghadapi suatu problematik yang sama sekali
baru. Dan bagi Althusser, itulah permulaan filsafat Marx memakai suatu
terminology baru. Konsep-konsep yang dipergunakan sekarang adalah konsep yang
boleh disebut “ilmiah” obyek, bentuk, struktur dan sebagainya. Dapat dipahami
bahwa menurut Althusser buku yang berjudul Das Kapital mulai menjadi
sebuah reformasi dalam perkembangan strukturalisme pada tahun 1850 dan memuat
ajaran Marx yang sebenarnya.
Kalau sekarang
ilmu-ilmu manusia seperti lingustik, psikoanalisa dan antropologi telah
memberitahuakan kepada kita bahwa “manusia sudah tergeser dari pusatnya” maka
menurut Althusser kita harus membaca Marx juga dalam cahaya itu. Dan hal itu
memungkinkan, karena tujuan Marx dalam Das Kapital adalah
memperlihatkan bahwa manusia merupakan produk dari struktur-struktur
sosio-ekonomis. Syarat-syarat manusia “dari luar”. Manusia tidak merupakan
subyek otonom dari ekonominya alat-alat konseptual yang cocok dengan tujuan
itu. Juga dalam Das Kapital masih terdapat sisa-sisa dari pandangan
humanistis. Justru karena itulah filsafat Marx harus diinterpretasikan kembali.
Dan lagi Althusser interpretasi serupa itu baru sekarang menjadi mungkin.
5. Michel
Foucault
a. Karya-karya
“Epistemologi” merupakan
sebuah istilah yang sudah lazim dipakai di Prancis, refleksi filosofis tentang
kodrat dan sejarah ilmu pengetahuan. Michel Foucault juga menjalankan hal ini
secara reflektif pada tahun 1926-1984 dalam bukunya Les mots et Les
choses. Une arccheologie des sciences humaines (1966). (Lata-kata dan
Benda-benda. Sebuah Arkeologi tentan Ilmu-ilmu Manusia). pemikiran Foucault
juga sebagai keseluruhan yang akan dibicarakan secara panjang lebar. Ia sendiri
dengan tegas mengungkapkan dan tidak mau kalau diklaim aliran strukturalisme.
Tetapi juga tidak bisa mengelakkan waktu terbitnya buku dengan
judul Kata-kata dan Benda-benda tahun 1966, tepatnya pada masa
kejayaan strukturalisme. Buku ini disambut sebagai segala gejala lain dari
strukturalisme yang sama. Malah Foucault dianggap sebagai strukturalis yang
paling radikal. Dan memang mempunyai alasan maupun tema yang jelas mendekatkan
Foucault dengan strukturalisme.
Buku yang
ditulis dengan judul Kata-kata dan Benda-benda, dengan memberi
perhatian khusus kepada strukturalisme. Inilah yang menjadikan kegemparan
dalam berbagai tokoh-tokoh pemikir dalam berbagai kalangan, sehingga
menyebabkan asumsi-asumsi yang menganggap banyak terangkan lagi, namun banyak
dikatakan tetapi sedikit saja dibuktikan. Buku ini yang membuat ia populer dan
sukses besar (sebetulnya sangat mengherankan, melihat derajat kesulitannya) dan
dianggap sebagai salah satu karya strukturalistik yang sangat penting. Oleh
karena itu juga, ia dianggap sebagai salah satu aliran strukturalis.
b. Pemikiran
Foucault
Pemikiran Foucault
salah satunya adalah tentang kata episteme sebagaimana yang digunakan
oleh bangsa Yunani ini berarti “Pengetahuan”, tetapi Foucault digunakan dalam
arti khusus. Menurut dia pula, tiap-tiap zaman mempunyai
pengandaian-pengandaian tertentu, prisip-prinsip tertentu, syarat-syarat
kemungkinan tertentu, cara-cara pendekatan tertentu.
Kata episteme digunakan oleh Foucault untuk menunjukan semua
pengandaian itu sendiri. Setiap zaman mempunyai
suatu episteme tertentu yang merupakan landasan dan fundamen epistemologis
bagi zaman itu.episteme itu juga menentukan cara ilmu pengetahuan akan
dijalankan. Episteme yang tidak mareformasikan terhadap Undang-undang
dalam sebuah Negara, Foulault berusaha
menggalin episteme-episteme yang meneruskan pelantaian S2. Dengan
usahanya Foucault menentukan pelbagai zaman. Seluruh usaha inilah yang
dimaksudakan dengan kata “arkeologi” yang tampil saling tidak ada yang
menolong, karya tersebut dibingungkan yang dalan resisten dalam pencarian
ketuhanan.
Pada abad ke 16
ia juga menggunakan Epistem pada pelbagai bidang dengan menelami
penyelidikan ilmiah dan memasukkan ke dalam tiga lapangan, diantaranya
pekerjaan (analisa uang serta kekayaan) dan bahasa (gramaire
generale; filologi; linguistik). Foucault menganggap ilmu pengetahuan hanya
merupakan satu gejala saja yang dijumpai dalam suatu periode kultural tertentu.
Sekilas juga ia menyinggung juga gejala lain (seni lukis, kesusasteraan yunani,
dan filsafat). Ia memilih ketiga lapangan tersebut senagai jalan masuk ked
ala episteme atau lapisan dasar yang menetukan periode kultural
tertentu.
Foucault
memperiodekan masa modern (Renaissance) kedalam tiga periode dan
masing-masing perode mempunyai hubungan yang berlain-lainnan antara benda-benda
dan kata-kata. Beberapa periode harus kita analisa untuk memahami pemikirannya.
Zaman pertama adalah abad 16(Renaissance), ketika itu benda-benda dan kata-kata
terdapat bersama-sama (umpamanya, dunia dianggap bagian sebuhah kitab yang
dapat dibaca). Istilah kunci yang diungkapkan dalam
menyingkatkan episteme dala zaman itu
adalah ressemblance (Inggris: ressemblance) atau
“kemiripan”. Zaman kedua meliputi abad ke-17 dan ke-18 (zaman klasik). Ketika
itu kata mulai melepaskan diri dari benda-benda.
Istilahepisteme menyingkatkan pada waktu
adalah reoresentation (Inggris: representation) atau
“pembayangan”. Pada awal abad ke-19 timbullah sesuatu yang baru. Dalam zaman
itu yang meliputi abad ke-19 da n ke-20 (zaman baru) benda-benda mempunyai
suatu orde atau tata susunan sendiri yang dikuasai oleh hukum-hukum intern.
Sifat khas zaman itu adalah pentingnya “perkembangan”, “evolusi” dan
“kontinuitas historis”. “Manusia” juga mempunyai pemikiran tersendiri pada abad
ke-19 tersebut, sehingga manusia menjadi pusat pengetahuan; dan segala
pengetahuan bersifat antropologis dan humanistik. Pendirian Faucault yang
maskyhur adalah “Kematisan Manusia” (lamort de L’homme). Setelah “Kematian
Allah” diproklamasikan, maka Foucault meramalkan “Kematian Manusia”.
Foucault
menganggap ilmu pengetahuan tidak seperti halnya para pemikir-pemikir lainnya.
Nagi Foucault, biologi, ekonomi, dan linguistik tidak terhitung ilmu
pengetahuan manusia itu, karena obyeknya bukanlah “manusia”ilmi biologi
mempelajari kehidupan pada umumnya. Sedangkan ekonomi dan linguistik
menyelidiki hukum-hukum alam. Setelah itu, muncullah ilmu baru yaitu
psikonalisa dan antropologi budaya. Tetapi juga dua ilmu itu tidak mengambil
“manusia” sendiri sebagai obyek kajiannya. Psikonalisa membicarakan
ketidaksadaran, bukan untuk menghilangkan ketidaksadaran itu, melainkan untuk
mengakui ketidaksadaran sebagai suatu sistem yang tetap menguasai manusia.
Antropologi budaya, disini dimaksudakan adalah Levi-Strauss sebagai tokohnya.
Membahas kebudayaan-kebudayaan yang tidak diketahui sejarahnya dan
memperlihatkan struktur-struktur tetap yang menentukan kebudayaan-kebudayaan
itu. Akibatnya psikoanalisa dan antropologi tidak menguraikan “manusia”,
melainkan justru meleburkan mengenai “manusia”.
Jadi, yang
dimaksudkan ilmu pengetahuan manusia menurut Foucault adalah psikologi,
sosiologi, dan studi mengenai kesusasteraan serta mitologi. Ia menerangkan juga
bahwa mereka makin cenderung mencari modelnya pada biologi, ekonomi dan
linguistik. Dengan maksud lain, manusia adalah sebagai sumber otonom dari
tingkah lakunya sudah hilang. Manusia ssudah tidak lagi sebagai titik pusat dan
pada manusia terdapat suatu pemikiran dari luar.
B. Semiotika
dan Strukturalisme
Strukturalisme
adalah suatu metode analisis yang dikembangkan oleh banyak semiotisian berbasis
model lingusitik Saussure. Strukturalis bertujuan untuk mendeskripsikan
keseluruhan pengorganisasian sistem tanda sebagai bahasa seperti yang dilakukan
Lévi-Strauss dan mitos, keteraturan hubungan dan totemisme, Lacan dan alam
bawah sadar; serta Barthes dan Greimas dengan grammar pada narasi. Mereka
melakukan suatu pencarian untuk suatu struktur yang tersembunyi yang terletak
di bawah permukaan yang tampak dari suatu fenomena. Social Semiotics
kontemporer telah bergeser di bawah concern para strukturalis yang menemukan
relasi internal dari bagian-bagian di antara apa yang terkandung dalam suatu
sistem. Melakukan eksplorasi penggunaan tanda-tanda dalam situasi tertentu.
Teori semiotik modern suatu ketika disatukan dengan pendekatan Marxist yang
diwarnai oleh aturan ideologi.
Strukturalisme adalah teori
yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh
struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang
menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia.
Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya
adalah ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa.
Kesemuanyamendahului subyek manusia individual atau human agent dan
menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan1.
Strukturalisme terutama berkembang
sejak Claude Levy-Strauss Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi
sentral dalam pandangan Lévi-Strauss tentang pikiran primitif yang
menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya, sebanyak struktur
bahasanya. Mitos biasanya dianggap sebagai ‘impian’ kolektif, basis ritual,
atau semacam ‘permainan’ estetika semata, dan figur-figur mitologisnya sendiri
dipikirkan hanya sebagai wujud abstraksi, atau para pahlawan yang disakralkan,
atau dewa yang turun ke bumi sehinggamereduksi mitologi sampai pada taraf
semata sebagai ‘mainan anak-anak’, serta menolak adanya relasi apapun dengan
dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya.
Perhatian
Lévi-Strauss terutama terletak pada berkembangnya struktur mitos dalam
pikiran manusia, baik secara normatif maupun reflektif, yaitu dengan mencoba
memahami bagaimana manusia mengatasi perbedaan antara alam dan budaya.
Tingkah laku struktur mitos yang tak disadari ini membawa Lévi-Strauss pada
analisis fonemik, di mana berbagai fenomena yang muncul direduksi ke dalam
beberapa elementer-struktural dasar, namun dengan satu permasalahan yang
mendasar:
Di satu sisi
tampaknya dalam mitos apa saja mungkin terjadi. Tak ada logika di sana, tak ada
kontinuitas. Karakteristik apapun bisa disematkan pada subjek apa saja ; setiap
relasi yang mungkin bisa saja ditemukan. Namun di sisi lain, kearbitreran
penampakan ini dipungkiri oleh keserupaan yang mengejutkan di antara
mitos-mitos yang dikumpulkan dari berbagai wilayah yang amat luas. Jika muatan
dari mitos bersifat kontingen, bagaimana kita menjelaskan suatu fakta bahwa mitos-mitos
di seluruh dunia tampak serupa?
Mitos, menurut
Levi-Strauss, memiliki hubungan nyata dengan bahasa itu sendiri karena
merupakan satu bentuk pengucapan manusia sehingga analisisnya bisa diperluas ke
bidang linguistik struktural. Namun tentu saja, analogi seperti ini tidaklah
eksak dan mitos tidak bisa dengan begitu saja disamakan dengan bahasa sehingga
sekaligus pula harus ditunjukkan pula perbedaannya melalui konsep Saussure
mengenai langue dan parole, struktur dan kejadian individual.
Versi-versi
individual yang berbeda-beda dalam tiap mitos, yaitu aspek parole-nya,
diturunkan dari dan memberikan kontribusi pada struktur dasar langue-nya.
Sebuah mitos, secara individual, selalu dikisahkan dalam suatu waktu: ia
menunjuk pada kejadian-kejadian yang dipercaya begitu saja pernah terjadi di
waktu lampau, namun pola spesifik atau strukturnya dikatakan sebagai sesuatu
yang kekal dan ahistoris: ia merangkum mode penjelasan tentang kekinian dengan
apa yang terjadi di masa lalu dan sekaligus masa depan.
Maka, setiap
kali mitos dikisahkan kembali, ia menggabungkan elemen-elemen langue dan
parole-nya, dan dengan begitu mentrandensikan keduanya sebagai penjelasan trans-historis
dan transkultural atas dunia. Tidak seperti puisi, mitos tak terpengaruh oleh
penerjemahan maknanya: penggunaan bahasa atau aspek linguistik yang paling
rendah sekalipun cukup untuk mengungkapkan nilai mitikal dari mitos. Mitos
merupakan bahasa, yang bekerja pada suatu tingkat di mana makna terlepas dari
tataran linguistiknya.
Berdasarkan
anggapan ini, Lévi-Strauss memformulasikan dua proposisi dasar dalam
hubungannya dengan mitos:
Makna dari
mitologi tidak dapat muncul dalam elemen-elemennya yang terisolir, tetapi
haruslah melekat dalam suatu cara elemen-elemen itu dikombinasikan, dan punya
peran potensial bagi sebuah transformasi yang melibatkan kombinasi seperti ini.
Bahasa di dalam mitos memperlihatkan ciri khasnya yang spesifik: ia menguasai tataran
linguistik biasa.
Apa yang ingin
coba ditangkap Lévi-Strauss di sini adalah sense tentang
adanya interaksi antara dimensi sinkronik dan diakronik,
antara langue dan parole dalam mitos, sesuatu yang lebih dari sekadar
kisah yang sedang diceritakan. Sebuah mitos selalu mengandung keseluruhan
versinya, dan ia mengatakan bahwa mitos itu bekerja secara simultan pada dua
sumbu, seperti halnya dalam partitur orkestral, untuk membangkitkan paduan nada
dan harmoni.
Di sisi lain,
Lévi-Strauss percaya bahwa ia telah menemukan sebuah metode analisis yang
melengkapi aturan-aturan formasi, untuk memahami perpindahan dari satu varian
mitos ke varian yang lain. Dalam prosesnya, agen-agen mediasi dan validasi
bekerja mengatasi realitas kasar dan mentransformasikannya ke dalam bahasanya
sendiri. Di sini, mitos muncul sebagai sebuah ‘perangkat-logika’ yang berfungsi
menciptakan ritus-perbatasan untuk mengatasi realitas yang saling beroposisi.
Pada titik
inilah usaha Lévi-Strauss untuk menemukan aspek langue mitos dan memisahkannya
dari parole dengan melakukan analisis fonemik atasnya mencapai batas-batas
terjauh dalam memahami bagaimana mitos dikonstruksi oleh masyarakat lampau.
Tetapi Lévi-Strauss terpukau dan berhenti di tingkat struktur yang secara rigid
memisahkan antara langue dengan parole sedemikian sehingga, baginya, di balik
struktur tak ada apapun lagi. Kenyataan bahwa banyak mitos di dunia sangat
mirip disimpulkannya dengan sederhana disebabkan oleh adanya aturan-aturan
transformasi arbitrer yang menciptakan varian mitos. Kearbitreran ini
dimungkinkan karena, bagi Lévi-Strauss, satu-satunya yang kokoh hanyalah
mode-mode operasi yang bekerja di dalam struktur. Pemeriksaannya terhadap
langue mitos tidak membuka gagasan lebih jauh mengapa muncul ragam-ragam yang unik
padanya. Padahal struktur mitos hanyalah penjelasan bahwa ia adalah ‘bahasa
khusus’ yang mesti dicari logos di balik langue-nya.
Dalam sebuah
mitos suku-suku di Amerika Utara yang mengisahkan tentang Angin Selatan yang
jahat karena begitu kencang dan dingin sehingga bila angin ini berhembus
manusia tidak dapat beraktivitas secara normal. Demikianlah hingga semua
makhluk hidup berusaha menangkap dan menjinakkannya. Pemburu yang berhasil
adalah ikan skate yang kemudian menegosiasikan pembebasan angin dengan syarat
bahwa ia diijinkan untuk berhembus hanya pada hari-hari tertentu secara
berganti-ganti, sehingga meninggalkan daerah itu pada saat manusia dapat
bepergian normal. Lévi-Strauss menskemakan mitos tersebut dengan oposisi biner
antara alam yang ramah terhadap manusia dengan alam yang bermusuhan, yaitu
kehadiran angin dan ketidakhadiran angin, dan melihat aspek yang sama terhadap
ikan skate pada posisi manusia memandang ikan tersebut, yaitu bila dilihat dari
samping ia seperti segaris pipih yang nyaris tiada sedangkan dari atas tampak
sangat besar. Ia menyatakan bahwa ketika orang Indian menjadikan ikan skate
sebagai ‘tokoh pendamai’ pada masa transisi kedua kondisi alam tersebut
sesungguhnya mereka tengah mengkonkretkan peranan mereka dalam menata alam. Logika
konkrit ini dalam pandangan Lévi-Strauss menunjukkan demikian mudahnya
masyarakat lampau menetapkan suatu kesamaan antara spesies-spesies alam dengan
segolongan masyarakat.
1. Structuralist
Constructivism
Pierrre
Bourdieu mengembangkan aliran constructivist structuralism atau structuralist
constructivism yang mengacu pada struktur-struktur objektif, terlepas dari
kesadaran dan keinginan pelaku-pelaku, yang mampu mengarahkan dan sekaligus
menghalangi praktik-praktik atau representasi mereka. Dengan menggunakan
istilah konstruktivisme, Bourdieu menyatakan bahwa terdapat genesis sosial dari
skema-skema persepsi, pemikiran, dan aksi, serta bagian lain dari struktur
sosial.
Bourdieu
meletakkan konspetualisasi pemikirannya melalui aspek-aspek habitus dan arena (champ).
Kedua konsep ini didukung oleh sejunlah konsep antara lain : modal (capital),
praktik sosial (practique sociale)], pertarungan
(lutte) dan strategi (strategie). Salah satu ajaran Bourdieu dalam hubungannya
dengan praktik penelitian adalah penekanan pentingnya penelitian lapangan.
Arena dan habitus bukanlah konsep yang dapat diterapkan hanya dengan duduk di
belakang meja. Keduanya merupakan konsep yang baru bermakna jika digunakan di
lapangan.
Dalam praktik
penelitian, Bourdieu mengajarkan tiga langkah yang saling terkait dalam upaya
mengenali dan menganalisis arena. Pertama, kita harus menganalisis posisi arena
dalam hubungannya dengan arena kekuasaan. Dengan demikian, kita menemukan bahwa
suatu hal merupakan bagian dari kekuasaan. Kedua, kita harus menetapkan
struktur objektif hubungan-hubungan antara posisi-posisi yang dikuasai oleh
pelaku dan institusi yang berada dalam persaingan di dalam arena ini. Ketiga,
kita harus menganalisis habitus para pelaku, sistem-sistem kecenderungan yang
berbeda yang diperoleh melalui internalisasi sesuatu yang ditentukan menurut
kondisi sosial ekonomi, yang berada dalam suatu jalur yang didefinisikan di
dalam arena yang dianggap memberikan kesempatan bagi pelaku untuk
mengaktualisasikannya
Bourdieu
memperkenalkan metodologi, yang disebut generative structuralism, menggambarkan
suatu cara berpikir dan kiat dalam mengajukan pertanyaan. Dengan metode itu
Bourdieu menggambarkan, menganalisis, dan memerikan genesis persona tertentu,
struktur sosial, dan kelompok. Ia mengajukan suatu teori analisis dialektis
terhadap kehidupan praktis. Perspektif semacam itu menyuguhkan kemampuan untuk
menunjukkan interplay antara praktik ekonomi personal dengan ?dunia eksternal?
dari sejarah kelas dan praktik sosial. Tugas itu harus menggunakan modus
berpikir relasional dan melampaui oposisi artifisial antara struktur objektif
dengan representasi subjektif
Strukturalisme
memiliki asumsi bahwa dalam suatu fenomena terdapat konstruksi tanda-tanda.
Penelitian dengan strukturalisme mensyaratkan kemampuan memandang keterkaitan
inner structure agar mampu memberi makna yang tepat pada fenomena yang tengah
menjadi studi. Dalam perkembangannya strukturalisme memasuki berbagai ranah
dalam disiplin ilmu dan berbagai aspek kehidupan. Perkembangan langsung dari
strukturalisme adalah fungsionalisme yang melihat relasi sistemis menjadi
relasi fungsional.
2. Semiotika
Linguistik Struktural
Roman Jacobson,
salah satu ahli linguistik yang meneliti secara serius pembelajaran dan fungsi
bahasa, memberi penekanan pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili
oleh gambaran metafor retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan). Bagi
Jacobson, bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu:
a. fungsi
referensial, pengacu pesan;
b. Fungsi
emotif, pengungkap keadaan pembicara;
c. Fungsi
konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan
atau dipikirkan oleh sang penyimak;
d. fungsi
metalinguistik, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan;
e. Fungsi
fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara
dengan penyimak; dan
f. fungsi
puitis, penyandi pesan
Langkah-langkah
analisis struktural atas fonem yang dilakukan Jacobson antara lain : (a)
mencari distinctive features (ciri pembeda) yang membedakan tanda-tanda
kebahasaan satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan
ada-tidaknya ciri pembeda dalam tanda-tanda tersebut ; (b) memberikan suatu
ciri menurut features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga tanda-tanda
ini cukup berbeda satu dengan yang lain; (c) merumuskan dalil-dalil sintagmatis
mengenai istilah-istilah kebahasaan mana?dengan distinctive features yang
mana?yang dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainnya ;
(d) menentukan perbedaan-perbedaan antartanda yang penting secara paradigmatis,
yakni perbedaan antar tanda yang masih dapat saling menggantikan
3. Metasemiotika
Louis Hjelmslev
adalah tokoh linguistik yang mengembangkan semiotik pasca Saussure. Hjelemslev
mengembangkan sistem dwipihak (dyadic system) yang merupakan ciri sistem
Saussure. Ia membagi tanda ke dalam (expression) dan (content), dua istilah
yang sejajar dengan signifier dan signified dari Saussure. Namun, konsep
tersebut dikembangkannya dengan menmabhakn bahwa baik (expression) maupun
content mempunyai komponen form dan substance sehingga terdapat (expression
form) dan content form di satu pihak; serta (expression substance) dan (content
substance) pada pihak lain.
Maka, dengan peluasan
ini, diperoleh gambaran bahwa sebelum _expression form terbentuk, terdapat
bahan tanpa bentuk (amorphous matter atau purport) yang melalui _expression
substance memperoleh batasan yang akhirnya terwujud dalam _expression form
tersebut. Demikian pula halnya dengan content form yang dari content substance
diberikan batas-batas pada bahan tanpa bentuk.
4. Semiologi
dan Mitologi
Berbicara
semiotika dan mitologi, maka kita tidak dapat melepaskan dari nama Roland
Barthes. Dalam pembahasan mengenai semiotika, Barthes mengemukakan asumsi bahwa
bahasa adalah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Apakah anda
menemukan atau merasakan kesalahan pada tulisan di atas? Jika anda cermat, akan
anda temukan adanya kesalahan pada penggunaan font untuk tulisan-tulisan
tersebut. Ketika kita melihat pada konotasi kita akan melihat pada kedalaman
makna yang berakar jauh di dalam budaya kita.
Konotasi tanda
menjadi partikular ketika kita melihat pada penggunaan tanda dalam periklanan.
Sebuah foto mengenai mobil secara pasti bisa kita rujukkan pada petanda mobil
dalam dunia riil, tetapi juga berkonotasi pada kekuatan, kebebasan, modernitas,
dll.
Iklan A Mild di
atas terdapat gambar kursi dan tulisan ?Kalo engak dibersihin KUTU BUSUKNYA
Enggak bakalan PERGI!. Kursi di sini tidak secara sederhana bisa kita pahami
sebagai tempat duduk. Namun, merupakan penanda yang merujuk pada kelas sosial
atau jabatan tertentu. Terutama ketika kemunculan iklan ini di tahun 2004, hampir
berbarengan dengan pemilihan wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR. Inilah yang
dijelaskan oleh Roland Barthes sebagai second-order of signification.
second-order of
signification selanjutnya bisa kita sebut sebagai konotasi. Menggunakan konsep
inilah Barthes menjelaskan mengenai mitologi. Salah satu contoh yang terdapat
dalam bukunya (Mythologies, 1957) adalah foto seorang prajurit berkulit hitam
sedang memberi hormat pada bendera Perancis.
5. Semiotika
dan Post-strukturalisme
Istilah
post-strukturalisme sebenarnya jarang digunakan. Post-strukturalisme sebenarnya
lebih ditujukan pada munculnya pemikiran-pemikiran yang mengembangkan
strukturalisme lebih jauh. Beberapa yang dikategorikan post-struktralis antara
lain Jacques Lacan, Jacques Derrrida. Michel Foucault sempat dikategorikan
sebagai post-strukturalis namun kemudian orang menggolongkan sebagai beyond
struktutralis.
Jacques Lacan
memunculkan konsep bahwa nirsadar adalah ranah yang terstruktur layaknya
bahasa. Konsep ini berbeda dari Freud yang menganggap bahwa nirsadar berisi
hal-hal instingtif. Lacan bahkan melihat bahwa nirsadar hadir bersama dengan
bahasa. Lacan melihat bahasa adalah suatu sistem pengungkapan yang tak pernah
mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya.
Ada cermatan
bahwa pada kenyataannya, sistem linguistik berada di luar manusia yang menjadi
subjek. Pemakai bahasa terpisah secara radikal dari sistem tanda. Ada jarak
lebar antara apa yang mereka rasakan dan bagaimana sebuah sistem kebahasaan
memungkinkan seorang pemakai bahasa memanfaatkan untuk mengekspresikan perasaan
tersebut.
Semisal,
laki-laki yang ingin mengekspresikan kecantikan seorang gadis. Mungkin dia akan
mengatakan ?Kau secantik bidadari?. Namun, tetap saja terdapat hal yang tidak
terekspresikan. ?Bidadari? hanyalah tanda yang dianggap mewakili namun
sebenarnya meredusir perasaan abstrak si laki-laki terhadap kecantikan si
gadis.
Bagi Lacan, hal
itu merupakan faktor penting yang menunjukkan bahwa manusia sebagai subjek,
pertama-tama terpisah dari piranti-piranti representasi, namun pada saat
bersamaan, keberadaan dirinya sebagai subek juga dibentuk oleh piranti-piranti
tersebut.
Oleh lacan,
algoritma atau diagram Saussure tentang petanda/penanda digunakan untuk
menunjukkan pengandaian-pengandaian yang dibuat kaum strukturalis mengenai
hubungan manusia dengan tanda. Menurut Lacan, yang primer justru konsep
(petanda) dan karena itu berda di atas diagram. Sementara entitas (penanda)
yakni yang sekunder, berada di bagian dasar diagram.
Sebuah ide
dapat berdiri sendiri, lepas dari segala bentuk mediasi. Anak hanya dapat
menangkap gagasan tentang ?anjing? setelah orang tuanya (others) menjelaskan
bahwa makhluk yang dia tanyakan itu bernama ?anjing?. Anak dapat memahami
konsep ?anjing? karena ?anjing? memang telah hadir sebelumnya sebagai elemen
bangunan besar langue yang mendahului kelahiran bayi sebagai individu.
Jika
ketaksadaran terstruktur layaknya bahasa, maka menjadi masuk akal untuk
mengklaim bahwa linguistik dan semiotik adalah hal penting yang dapat kita
gunakan untuk memahami ketaksadaran. Lacan menempatkan isi ketaksadaran sebagai
penanda (signifiers); proses primer ketaksadaran diletakkan pada ekspresi dan
distorsi dirinya sendiri (dalam Freud: Condensation dan Displacement; sedangkan
Lacan menggunakan istilah yang sama dengan Roman Jacobson: Metaphor dan
Metonymy)
Verdichtung
(condensation) adalah struktur superimposisi dari penanda yang menjadi
karakterisktik metaphor. Verschiebung (displacement) menunjukkan signifikansi
transfer yang sama seperti yang ditemui pada metonymy. Kita terbiasa
mengkaitkan metafor dengan ungkapan yang berbau puitis, menimbulkan emosi.
Metafor sendiri berarti ?menembus? makna linguistik. Jacobson menjelaskan
gejala pemaknaan ini sebagai hasil dari asosiasi pada tatanan paradigmatik
Kalau metafor
bekerja atas dasar hubungan paradigmatik, metonimi bekerja atas dasar hubungan
sintagmatik. Kalau metafor banyak dijumpai dalam puisi, metonimi dalam prosa.
Kalau metafor lahir dari kesadaran kita untuk menghubungkan (mengasosiasikan),
maka metonimi berasal dari kesadaran untuk menggabungkan (mengombinasikan).
Metonimi menghasilkan makna dari hasil hubungan logis, sementara metafor
melalui kekuatan imajinasi.
Hubungan
metaforik muncul karena ?dengan adanya kekuatan represi, suatu signifier
diganti dengan signifier baru?. Signifier yang pertama akan berubah menjadi
signified sejauh signifier pengganti ?stands in place of the previous signifier
and represents it?. Hubungan metaforik ini (yang menghasilkan kesadaran, makna,
atau ide) menjadi begitu kuat ketika terkait dengan hubungan signifiers atau
meaning yang masih berada dalam status unconscious
Roman Jacobson
mendefinsikan pole of selection atau similaritas sebagai metaforik, dan pole of
combination atau kontiguitas sebagai metonimik. Jacobson mengklaim keduanya
adalah hal penting bagi pemaknaan bahasa. Metaphor adalah alien bagi similarity
disorder sedangkan Metonimi bagi contiguity disorder. Lacan menjelaskan bahwa
bahasa tak pernah mendapat tempat pada tataran real. Tidak berhubungan atau
represen dalam tataran real. Bahasa menandai bukan untuk mengekspresikan
pemikiran atau menggambarkan realitas, tetapi lebih pada upaya mengonstitusi
subyek sebagai suatu secara historis dan geografis, dan secara kultural
mengarah pada spesifikasi proses menjadi. Bahasa memiliki kapabilitas untuk
memposisikan subjek sebagai social being karena bahasa sendiri mengandung
sistem yang mempredasi semua subjek dan harus diasumsikan oleh setiap subjek
secara individual. Bahasa adalah hanyalah sistem referensi yang merujuk pada
kategori dan istilah yang dimiliki seseorang
Agar dapat
menentukan tempatnya di dunia, seorang anak harus terlebih dulu menetapkan
posisi tertentu dalam bahasa. Agar dapat menjadi subjek dan dapat merujuk
dirinya dalam dunia sosial, seseorang harus masuk wilayah piranti-piranti
penandaan yang telah tersedia sejak dia belum lahir dan kemudian belajar
menggunakannya. Dalam pengertian ini, lacan melihat bahwa subjek manusia
didominasi oleh penanda, atau lebih tepat lagi, perbedaan-perbedaan dalam
langue.
Berikutnya, Lacan menawarkan diagram versi baru diagram tanda, yaitu:
Manusia masuk
dan terlibat dalam bahasa. Di sini manusia terlibat dalam dunia subjektivitas,
ia terpintal dalam jaring-jaring penandaan Tanda tidak dengan sendirinya
menjadi lengkap saat petanda mulai membaur ke dalam penanda. Sebaliknya, tanda
tersusun atas dua wilayah yang berbeda dan tak pernah bertemu.
Wilayah ?S?
besar adalah penanda dan tempat beroperasinya penandaan kebudayaan. Sedangkan
wilayah ?s? kecil adalah dunia-dalam (inner-world) yang tak terpahami dan tak
dapat diekspresikan melalui penandaan. Sebuah garis yang tak bisa ditembus
memisahkan keduanya. Tidak ada bauran secara vertikal antara petanda dan
penanda. Bauran berlangsung secara horizontal, yakni penanda terus
berpendar-pendar di bawah petanda yang terus berubah-ubah.
6. Semiotika
dan Dekonstruksionism
Jacques Derrida
menolak pemaknaan tentang pemaknaan tanda yang dianggap sebagai proses murni
dan sederhana. Derrida menawarkan suatu proses pemaknaan dengan cara membongkar
(to dismantle) dan menganalisis secara kritis. Bagi Derrida hubungan antara
penanda dan petanda mengalami penundaan untuk menemukan makna lain atau makna
baru. Makna tidak dapat terlihat dalam satu kali jadi, melainkan pada waktu dan
situasi yang berebda-beda dengan makna yang berbeda-beda pula. Proses
dekonstruksi ini bersifat tidak terbatas.
Derrida
mengemukakan bahwa nilai sebuah tanda ditentukan sepenuhnya oleh perbedaannya
dengan tanda-tanda lain yang terwadahi dalam konsep differance. Namun, konsep
tersebut juga menegaskan bahwa nilai sebuah tanda tidak dapat hadir seketika.
Nilainya terus ditunda (deferred) dan ditentukan-bahkan juga dimodifikasi- oleh
tanda berikutnya dalam satu aliran sintagma.
Derrida
mengambil contoh sintagma sebuah lagu Inggris : Ten green botles standing on a
wall. Saat membaca dari kiri ke kanan, berawal dari kata ten (sepuluh) yang
ditransformasi menjadi ? Sepuluh apa? ?jawabnya : ? sepuluh X berwarna hijau
?berikutnya pertanyaan ? sepuluh apa? ? dimodifikasi menjadi ? sepuluh botol
hijau? disini terlihat konstruksi makna yang berlangsung secra timbal balik.
Jika sintakma di perluas menjadi ten green botles standing on a wall, maka
berlangsunglah modifikasi tahap berikutnya. Kini ? sepuluh botol hijau ?
disertai pula informasi tambahan ? diatas dinding ? (standing on a wall)
seingga jawaban terhadap pertanyaan ? sepuluh apa? ? tertunda lagi. Saat
membaca kata terakhir,yaitu ? Dinding ?( wall) maka kata ? dinding? bukan lagi
tanda yang berdiri sendiri. Karena ? dinding ? tersebut adalah ? Dinding ? yang
diatasnya terpajang sepuluh botol bir.
Coba kita
perhatikan lagu Nuansa Bening yang dinyanyikan oleh Keenan Nasution dari Gank
Pegangsaan. Lagu yang populer di era 1970-an ini dapat kita hadirkan sebagai
contoh dari dekonstruksi. Bahwa kata-kata adalah rantai penanda yang artinya
terus berkembang.
Derrida
membangun teorinya bertolak dari kritik terhadap pemikiran bahasa Husserl. Bagi
Derrida, bahasa bersifat memenuhi dirinya sendiri (self-sufficient) dan bahkan
terbebas dari manusia. Derrida melihat bahwa bahasa bersumber dari tulisan
(Ecriture/Writing). Tulisan adalah bahasa yang secara maksimal memenuhi dirinya
sendiri karena tulisan menguasai ruang secara masksimal pula. Sebagai bahasa
tulisan tidak terdapat dalam pikiran manusia tetapi konkrit di atas media.
Tulisan terlepas dari penulisnya begitu ia berada di ruang halaman, sedangkan ketika
dibaca, tulisan langsung berkaitan dan terbuka untuk dipahami oleh pembacanya.
Jadi bahasa yang sebenarnya adalah tulisan, bukan suara
Dekonstruksi
merupakan koreksi terhadap pemikiran konstruksi sosial berkaitan dengan
interpretasi terhadap teks, wacana, dan pengetahuan masyarakat. Dekonstruksi
kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan
metode penafsiran (interpretation). Dalam dekonstruksi, kepentingan tertentu
selalu mengarahkan pada pemilihan metode penafsiran. Sebagian pemikiran Derrida
sejalan dengan pemikiran Habermas bahwa terdapat hubungan strategis antara
pengetahuan manusia dengan kepentingan, meski tidak dapat disangkal bahwa yang
terjadi bisa pula sebaliknya, yakni bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.
C. Strukturalisme
dan Poststrukturalisme
Para
strukturalis seperti Claude Levi-Struss, atau setidaknya para pemikir yang
sejalan dengan pemikiran strukturalisme, misalnya Max Weber, Emile Durkheim,
dan Ferdinand de Soussaure memiliki berbagai pandangan mengenai relasi fenomena
sosial. Levi-Strauss mengkonsepkan oposisi biner pada struktur kesadaran
manusia yang yang membentuk transformasi antara struktur nirsadar (unconsciouss
structure) dalam pikiran manusia yang memepengaruhi struktur permukaan (surface
structure). Weber dalam hipotesisnya menyatakan bahwa ada makna yang tunggal
atau yang sama yang merupakan produk kesepakatan. Durkheim beranggapan bahwa
fakta sosial terbentuk dari suatu kesadaran kolektif.
Soussaure
memastikan bahwa ada hubungan yang jelas
antara signified dan signifier. Selain para strukturalis, Marx
dan Marxis menyatakan bahwa ekonomilah sebagai base-structure yang
telah mempengaruhi super-structure seperti politik, budaya, sosial.
Bila dirangkum pandangan dari para strukturalis dan Marxis tersebut, maka
dinyatakan bahwa terdapat komunikasi satu arah dengan pemaknaan tunggal yang
membentuk fenomena sosial. Kebenaran dipandang bersifat univokal.
Strukturalisme lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan
dimana makna merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang
dapat diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents). Sebagaimana
ditunjukkan Chris Barker (2000), strukturalisme sebenarnya bisa dilacak kembali
pada karya-karya Emille Durkheim yang menolak anggapan empirisis bahwa
pengetahuan merupakan derivasi langsung dari pengalaman.
Tetapi
strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalisme Ferdinand deSaussure
dan Levi-Strauss yang menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek dari
struktur terdalam dari bahasa, dan kebudayaan bersifat analog dengan struktur
bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner: hitam-putih,
baik-buruk, lelaki-perempuan dan lain sebagainya. Dalam konteks
pengabaian human agents, strukturalisme bersifat antihumanis. Konsep
strukturalisme tentang kebudayaan lebih memusatkan perhatiannya pada
sistem-sistem relasi dari struktur-struktur yang mendasari sesuatu (umumnya
bahasa) dan aturan-aturan bahasa yang memungkinkan terjadinya makna. Sementara
menurut Williams (1980), teks hanyalah bagian dari cara berpikir yang
diproduksi oleh perubahan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Kata Williams,
“Kita harus berhenti dari prosedur umum untuk mengisolir objek dan kemudian
menyelidiki komponen-komponennya. Sebaliknya kita harus menyelidiki
praktek-praktek dan kemudian kondisi-kondisinya”.
Jika
kulturalisme menekankan sejarah, maka strukturalisme justru menekankan
pendekatan sinkronik, relasi-relasi struktur dianalisa dalam potongan-potongan
peristiwa yang bersifat khusus. Di sini strukturalisme sangat menekankan aspek
kekhususan kebudayaan yang tidak bisa direduksi begitu saja ke dalam fenomena
lainnya. Dan jika kulturalisme memfokuskan diri pada interpretasi sebagai jalan
untuk memahami makna, maka strukturalisme justru menegaskan perlunya sebuah
ilmu tentang tanda yang bersifat objektif. Pandangan strukturalisme tentang
makna yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner, sama dengan
mengatakan bahwa makna bersifat stabil. Kestabilan makna inilah yang menjadi
pusat serangan pascastrukturalisme atas strukturalisme.
Tokoh-tokoh
utama poststrukturalisme, seperti Derrida dan Foucault, menyatakan bahwa makna
tidaklah stabil, ia selalu dalam proses. Makna tidak bisa dibatasi dalam satu
kata, kalimat atau teks khusus, tetapi ia merupakan hasil dari hubungan
antarteks: intertektualitas. Sama seperti strukturalisme, poststrukturalisme
juga bersifat antihumanis. Derrida (1976) menyatakan bahwa kita berpikir hanya
dengan tanda-tanda, tidak ada makna asli yang bersirkulasi di luar
representasi. Dan Foucault menyatakan (1984) menyatakan bahwa manusia hanyalah
produk dari sejarah. Dalam hal politik kebenaran, setiap masyarakat dianggap
memiliki rezim kebenaran.
Rezim kebenaran
tersebut berupa (a) tipe wacana yang diterima dan membuatnya berfungsi sebagai
kebenaran, (b) mekanisme untuk memudahkan pembenaran dan penyalahan, (c) alat
sanksi, (d) teknik dan prosedur untuk mengkomposisikan nilai. Berkaitan dengan
politik kebenaran tersebut, posmodernisme mengajukan kritiknya bahwa kebenaran
bukanlah berasal dari base-structure ataupun super-structure,
melainkan dari perbincangan / wacana yang berkembang dalam masyarakat yang
selanjutnya membenarkan ataupun menyalahkan. Proses pendisiplinan atau
rutinisasi yang bertujuan menciptakan wacana ataupun transmisi pengetahuan,
tidak hanya dilakukan oleh institusi-institusi saja melainkan juga melalui wacana
atau perbincangan yang terjadi secara umum dan meluas dalam masyarakat. Dengan
demikian maka konsep apparatus yang dikemukakan oleh Althusser menjadi tidak
relevan lagi. Sebagai contoh : rakyat takut kepada negara padahal negara tdak
lagi menakuti rakyatnya. Foucault menyebutnya sebagai diskontinuasi fungsi.
Total dominasi tersebut terus bergerak dan pada gilirannya mengalami
kontekstasi sehingga tak ada kesepakatan makna yang pasti.
D. Analisa
Isi
Dalam analisa
disini perlu catatan-catatan pendting yang harus diunderlaine, dari
berbagai tokoh. Pada awalnya, seperti yang telah diulas dalam pendahuluan,
bahwa struturalisme di latar belakangi oleh aliran linguitik yang dimotori oleh
filsuf F. Desaussure, sehingganya dari bebrbagai kalangan tokoh menjadikan
prinsip-prinsi Sauusure sebagai dasar berfikir mereka. Cuman yang lebih penting
dari berbagi pemikiran tokoh, tokoh disana bertujuan mewujudkan sebuah
paradigma baru yang intinya hanya satu yaitu untuk membangun sebuah Negara
(polis) yang dikenal pada masyarakat Yunani dulu.
Salah satu
tokoh dalam strukturalisme seperti Levi-Straus (antropologi budaya), menjadi
bapak strukturalisme Prancis karena ia sangat luas dalam pengkajian-pengkajian
dalam alian ini. Jadi yang di pentingkan dalam strukturalisme menurut
prespektif filsuf ini adalah adanya interaksi yang sistematis, sehingganya
menciptakan ralasi-relasi dan oposisi-oposisi serta menjadi sistem yang
disepakati oleh suatu komonitas. Karena menurut ia tanpa adanya hal
itu, apa yang menjadi cita-cita ataupun perwujudan sebuah Negara tidak
akan dapat direalisasikan sebagaimana harapan kita bersama.
Kembali kepada
sejarah filsuf bahwa ia (Levi-Strauss) sangat dipengaruhi oleh Marcel Mauss,
seorang ahli ilmu sosial, makanya sudah jelas sedikit banyak ia juga akan lebih
mementingkan dalam kehidupan manusia adanya sebuah relasi dan sistem yang
mengatur kehidupan mereka, naik secara individual maupun secara komunitas.
Banyak sekali Negara yang selalu menyimpang dari landasan dan ideologi
bangsanya, sehingga untuk mewujudkan cita-cita bangsa sangat sulit. Itu semua
karena tidak adanya sebuah sistem yang mengatur dalam setiap organ. Logikanya
adalah sebuah Negara yang sudak teetata rapi mulai dari sistem maupun
hukum-hukum belum tentu dapat menjalankan secara stabil, ada saja yang selalu
menjadi penghambat kemajuan Negara apalagi yang tidak ada sistem mapun
huku-hukumnya sama sekali. Dari itu semua, akan di dapat hal-hal yang tidak di
inginkan dalam Negara.
Lacan juga
menggap bahasa adalah sebuah sistem yang selalu mendorong manusia melakukan
apapun, karena ia menganggap bahwa dalam diri manusia ada oranga lain yang
mengendalikannya, maka ia juga beranggapan ketidaksadaran itu hal yang dominan
dalam diri manusia. Maka dari itu, ia meyakini tidak adanya suyek dalam diri manusia,
sehingga logoslah yang mendahului dari segalanya. Sedangkan yang membentuk
sebuah realitas itu merupakan penampakan dari ide, seperti halnya yang terjadi
pada zaman Yunani ide sangatlah di dewa-dewakan oleh semua polis pada saat itu.
Anggapan-anggapan
yang telah dilontarkan oleh Lacan menunjukkan, bahwa ia sangat tidak percaya
dengan adanya peran subyek sebagai satu-satunya yang mampu untuk mereformasi
kehidupan. Karena dalam strukturalisme yang dipandang oleh Lacan adalah
komunikasi inten dan cotinoue, maka akan mampu untuk menyatilkan
perubahan-perubahan dalam sebuah Negara maupun komunitas.
Kemudian
seperti filsuf selanjutnya lebih memetingkan bagaimana yang mengatur dan
mensentralkan kehidupan manusia terhadap interaksi dan hubungan yang dilandaskan
kepada sistem utama dalam sturktur itu sendiri. Karena kalau sebuah struktur
sudah terorganisir oleh sistem-sistem, maka otomatis manusianya akan lebih
berjalan dengan harapan strukturnya. Oleh karena itu, struktur sangat
dibutuhkan dalam organ-organ apapun demi menjaga keeksisan dan komitmen
bersama.
Sistem dalam
sebuah struktur menjadi keharusan, karena ada sedikit perbedaan antara sistem
yang duhulu dengan sekarang, sebagaimana yang dijelaskan oleh Barthes,
bahwasanya pemikiran tradisional dengan sekarang berbeda malah jauh berbeda.
Karena sekarang dilator belakangi oleh revolusi industri, kemajuan teknologi
beserta pengaruh-pengaruh lain dengan datangnya modernisasi ilmu pengetahuan.
Dengan begitu pemikiran sekarang lebih cenderung kepada hal-hal yang riel atau
konkret, daripada hal yang abstrak (tidak pasti). Keabstrakan itulah yang
membuat manusia tidak percaya dengan pemikiran-pemikiran tradisional.
Foucault juga
beranggapan tentang strukturalisme, ia menganggap bahwa tiap-tiap zaman atau
peiode mempunyai ketentuan-ketentuan, syarat-syarat maupun cara sendiri dalam
mengatur sebuah komunitasnya. Adanya sistem yang terdapat di daerah-daerah dan
berbeda-beda, juga menjamin pada kemajuan negaranya. Karena hal yang paling
fundamental dalam Negara (Polis) adalah bagaimana ia mengolah dan mempunyai
prinsip-prinsip sendiri untuk diarahkan kemana negaranya. Ia menekankan,
bahwasanya tiap orang tidak boleh hanya ikut-ikutan dengan pendirian atau
prinsip orang lain. Seperti Negara yang hanya meniru Negara lain untuk
mewujudkan reformasi demi kesejahteraan Rakyatnya, maka kesejahteraan tersebut
tidak akan utuh, karena tidak mempunyai dasar-dasar dalam membangun negaranya
sendiri.
Kita akan
mengerti bagaimana strukturalisme yang sesungguhnya, bahwa dalam realitas
social terikat dengan relasi-relasi dan oposisi yang membentuk sistem, sehingga
sistem tersebut disepakati dan menjadi hukum bersama yang telah disepakati.
Sistem dengan Negara merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan, Negara
tanpa adanya sistem maka akan amburadul. Dan juga tidak mungkin ada sistem
kalau tidak ada Negara yang akan dijalankan.
Sistem dalam
sebuah Negara akan mengatur bagaimana jalannya sebuah struktur, sehingga akan
menjadi Negara yang sesuai dengan keinginan atau visi dari sebuah Negara
tersebut. Dengan begitu dapat kita pahami dari beberapa flsuf, bahwasanya
strukturalisme merupakan bagian yang mengatur dari relasi-relasi maupun
oposisi-oposisi dalam Negara.
Satu hal lagi
yang sangat penting strukturalisme adalah upaya untuk mensentralisasikan sebuah
keinginan dan tujuan dari beberapa oaring yang sudah tertuang menjadi sebuah
visi. Oleh karena harus kita gunakan dan aplikasikan dalam keseharian kita
untuk bisa mengendalikan dunia yang dibentuk oleh budaya manusia.
0 Response to "STUKTURALIS (MAKALAH)"
Post a Comment