JURNAL EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN PADA KOPERASI PONDOK PESANTREN
EVALUASI PROGRAM
PENDIDIKAN DAN LATIHAN
PADA
Abstract
This study was conducted in the province of West Java and East Java pertaining with the progress
of Islamic Boarding
School for Cooperatives after implementing the training
and education
program. This article is briefly
exploring the effectiveness
of cooperative
training and education program.Some
weakneses were found during the study and several serious action to overcome.
But the study also revealed many interesting facts that could be used in empowering the cooperatives in the specific
circumstances.
I. Pendahuluan
Pondok Pesantren (Ponpes) adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua
di Indonesia, keberadaan dan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa telah
diakui oleh masyarakat. Dalam perkembangannya Pondok Pesantren berfungsi sebagai
pusat bimbingan dan pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh biddin) telah banyak melahirkan ulama, tokoh masyarakat dan mubaligh. Seiring dengan laju pembangunan
dan tuntutan zaman serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
Ponpes telah melakukan berbagai inovasi untuk
meningkatkan peran dan sekaligus memberdayakan potensinya bagi
kemaslahatan lingkungannya. Salah satu bentuk adaptasi nyata yang telah dilaksanakan adalah pendirian koperasi di lingkungan Ponpes
dan dikenal dengan
sebutan Koperasi Pondok
Pesantren (Kopontren). Keberadaan gerakan koperasi
di kalangan pesantren sebenarnya bukanlah cerita baru, sebab pendiri
koperasi pertama di bumi Nusantara adalah Patih Wiriatmadja, seorang muslim yang sadar dan menggunakan dana masjid untuk mengerakan usaha simpan pinjam dalam menolong
jamaah yang membutuhkan dana. Tumbuhnya gerakan koperasi di kalangan
santri merupakan
salah satu bentuk perwujudan dari konsep ta’awun
(saling menolong),
ukhuwah (persaudaraan), tholabul ilmi (menuntut
ilmu) dan berbagai aspek ajaran Islam
lainnya.
Eksistensi Kopontren dapat ditinjau melalui tiga dimensi yaitu sebagai pendukung
mekanisme kehidupan ekonomi Ponpes, sebagai pembinaan kader koperasi pedesaan
dan sebagai stimulator sosio-ekonomi masyarakat desa di sekitar Ponpes.
dewasa ini, Kopontren telah berkembang dan menjadi semacam representasi lembaga ekonomi
santri yang diinisiasi secara bottom up dengan ciri kemandirian yang khas.
*) Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Tahun 2004 (diringkas
oleh : Burhanuddin
R.
Sejalan dengan itu, Kementerian KUKM memberikan atensi
yang sama kepada bentuk koperasi lainnya melalui
penyelenggaraan Diklat bagi beberapa Kopontren
di sekitar wilayah Bekasi
dan Bogor. Program
yang diterapkan
bertujuan untuk memperkokoh kapasitas internal Kopontren dalam melayani
anggotanya yaitu para santri dan masyarakat di sekitarnya. Setelah berjalan dalam
kurun waktu tertentu, dipandang perlu untuk
mengamati dan mengevaluasi sejauhmana hasil
diklat diimplementasikan dalam pengelolaan organisasi Kopontren. Naskah ini menyajikan
ringkasan atas hasil kajian dimaksud.
II. Dimensi Permasalahan
Berdasarkan hasil
preliminary research ditemukan beberapa permasalahan
sebagai berikut.
1). Beberapa
Kopontren belum menunjukkan perubahan kinerja dan keragaman
yang signifikan setelah
mengikuti diklat.
2). Perluasan pangsa pasar belum berhasil dilakukan dan masih terbatas kepada
segment tertentu khususnya para santri di lingkungan sendiri.
3) Pengelolaan dan pertanggungjawaban dana anggota masih belum efektif dan
kurang transparan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka pertanyaan pokok penelitian (Mayor Research Question) adalah
“Mengapa Kopontren yang sudah mengikuti
Diklat Perkoperasian belum secara maksimal
dalam mengimplementasikan ilmu dan pengetahuan yang didapat dari pelatihan?” Adapun pertanyaan khusus penelitian (Minor Research
Questions) adalah :
1). Bagaimana bentuk dan jenis program diklat yang dibutuhkan untuk pembinaan
Kopontren ?
2). Sejauh
manakah efektivitas program
diklat dalam menunjang pertumbuhan
Kopontren ?
3). Upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja Kopontren ?
4). Bagaimana
pandangan warga masyarakat sekitar Pesantren terhadap
keberaadaan Kopontren ?
5). Apakah faktor-faktor keberhasilan maupun kegagalan dalam penyelenggaraan
Kopontren ?
III. Tujuan dan Manfaat
Kajian
1. Tujuan Kajian
a. Mengevaluasi efektivitas pelaksanaan diklat perkoperasian di lingkungan
Kopontren;
b. Merumuskan
model dan sistem
evaluasi diklat perkoperasian yang ideal di lingkungan Kopontren.
2. Manfaat Kajian
Tersedianya bahan dan data tentang kondisi
empirik Kopontren yang dapat digunakan
sebagai bahan perumusan kebijakan pembinaan Koperasi di lingkungan Ponpes.
IV. Lokasi
Kajian
Berdasarkan peta penyelenggaraan
Diklat Perkoperasian, maka lokasi kajian
ditetapkan di wilayah provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat.
Teknik Pengumpulan Data
Data primer dihimpun melalui seperangkat instrumen (kuesioner) terstruktur dalam
bentuk interview guide dengan opsi tertutup dan terbuka, dan peluang argumentasi/alasan
responden atas setiap jawaban yang diberikannya.
Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
Populasi dalam penelitian kajian evaluasi ini adalah Kopontren yang berlokasi di wilayah
Jawa Timur dan Jawa Barat yang telah mengikuti program
diklat dari Kementerian KUKM. Adapun
teknik penarikan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling
method). Hal ini didasarkan
pada pertimbangan klasifikasi dan karakteristik Kopontren
yang antara lain adalah jenis usaha dan jumlah santri.
VII. Hasil dan Pembahasan
Kajian
1. Profil Kopontren
di Lokasi Sampel
Dari segi setting wilayah penelitian, data kajian diperoleh wilayah Provinsi Jawa
Barat dan Jawa Timur, dan secara keseluruhan meliputi beberapa daerah tingkat dua yaitu,
Kabupaten Sukabumi,
Tasikmalaya, Subang, Cirebon, Bekasi, Madiun, Kediri,
Malang, Situbondo
dan Jombang. Dari segi kuantitas, jumlah Kopontren di Indonesia
menurut data Proyek Peningkatan Ponpes Departemen Agama terdapat sekitar 1.400
unit, dan tidak kurang
30 persen
berada di Propinsi Jawa Timur, kemudian
sekitar 17 persen di antaranya berlokasi di Propinsi Jawa Barat. Khusus di Provinsi Jawa Timur, sebanyak 53 persen Ponpes berada di lokasi pemukiman, sekitar 23 persen berlokasi di
daerah pertanian, 15 persen di daerah Pegunungan, masing-masing sekitar lima persen
di daerah tepian sungai dan di kawasan pantai, dua persen di daerah industri dan kurang
dari satu persen berada di daerah pedalaman.
Sedangkan di Provinsi Jawa Barat, sekitar
47 persen
berdekatan dengan lokasi pemukiman, 32 persen berlokasi di daerah pertanian,
kemudian disusul 17 persen di daerah pegunungan, masing-masing sekitar 3 persen di daerah
tepian sungai dan di kawasan pantai, dua persen di daerah Industri dan kurang
dari satu persen berlokasi di daerah pedalaman. Hal ini mengindikasikan potensi Kopontren
untuk berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya ternyata cukup besar.
2. Aspek
Jenis Pelatihan
Kategori Diklat yang diselenggarakan untuk
Kopontren terbagi atas dua, yakni pelatihan untuk Pengurus Kopontren dan Pimpinan Ponpes, kemudian pelatihan untuk Pelatih, Manajer, dan Pejabat Dinas/Pembina. Sedangkan jenis pelatihan yang telah dilaksanakan Kementerian KUKM adalah sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.
Tabel 1.
Jenis-jenis Pelatihan yang Telah Diselenggarakan
No.
|
Nama Pelatihan
|
1.
|
Manajemen Keuangan
Koperasi
|
2.
|
Business Plan/Strategi Pengembangan Usaha
|
3.
|
Kewirausahaan
|
4.
|
Simpan Pinjam
Pola Syariah
|
5.
|
Pelatihan Pengantar
Bisnis
|
6.
|
Manajemen Pemasaran
dan Distribusi
|
7.
|
Pelatihan Usaha Simpan Pinjam
|
8.
|
Pelatihan Usaha Peternakan
|
9.
|
Pelatihan Untuk
Pengelola Koperasi
|
10.
|
Pelatihan Untuk
Perikanan
|
11.
|
Pelatihan Lain-lain
|
Jenis Pelatihan ini adalah akumulasi dari Diklat yang pernah diikuti,
dan tidak semua responden
mengikuti seluruh jenis pelatihan tersebut.
Berdasarkan sebaran data untuk jenis pelatihan yang pernah diikuti
diperoleh gambaran sebagai berikut :
1. Diklat Kewirausahaan diikuti oleh 65 orang anggota Kopontren (40,1 persen),
Pelatihan untuk Pengelola
Koperasi sejumlah 54 orang (33
persen), Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 52 orang (32,1 persen),
selebihnya frekuensi
intensitas keikutsertaannya kurang dari 10 persen.
2. Pimpinan Ponpes yang mengikuti jenis pelatihan Kewirausahaan sejumlah
18 orang (56,3 persen), Manajemen
Simpan Pinjam Pola Syariah 16 orang
(50,0 persen), selebihnya frekuensi intensitas keikutsertaannya kurang dari
20 persen.
3. Pengurus Kopontren yang mengikuti jenis Pelatihan Manajemen Keuangan
Koperasi sebanyak 36 orang (49 persen), Kewirausahaan sejumlah 32 orang (43,2
persen), Pelatihan Usaha Simpan Pinjam sejumlah 54 orang (33,3 persen), Manajemen
Simpan Pinjam Poila Syariah 52 orang (32,1 persen),
selebihnya frekuensi intensitas keikutsertaannya kurang dari lima persen.
4. Pelatih yang menyatakan jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan : Manajemen Keuangan Koperasi dan Kewirausahaan sejumlah 18 orang (62,1
persen), Bisnis/Strategi
Pengembangan Usaha sejumlah 15 orang (51,7 persen), Pelatihan untuk Pengelola Koperasi 13 orang (44,8 persen), selebihnya
frekuensi intensitas pelaksanaannya kurang dari 10 persen.
5. Manajer Pelatihan seluruhnya telah melaksanakan jenis pelatihan Manajemen
Keuangan Koperasi sejumlah 12 orang (100 persen), Kewirausahaan sejumlah
8 orang (66,7 persen),
Bisnis/Strategi Pengembangan Usaha dan Pelatihan
Untuk Pengelola Koperasi sejumlah 7 orang (58,3 persen).
3. Aspek
Jenis Pelatihan yang Mendukung Usaha
Kopontren
Berdasarkan sebaran data dari hasil penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai
berikut :
1. Peserta Pelatihan yang menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha Kopontren
: Kewirausahaan sejumlah 54 dari 162 orang (33,3 persen), Manajemen
Simpan Pinjam Pola Syariah 52 orang (32,1 persen), selebihnya
menyatakan kurang mendukung
usaha Kopontren.
2. Pimpinan Pondok Pesantren yang menyatakan jenis pelatihan yang mendukung
usaha Kopontren : Manajemen
Simpan Pinjam Pola Syariah 19 orang (59,4
persen), Kewirausahaan 16 orang (50
persen), selebihnya menyatakan kurang mendukung.
3. Pengurus Kopontren yang menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha
Kopontren : Manajemen
Keuangan Koperasi sejumlah 42 orang (56,8 persen),
Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 32 orang (43,2 persen), selebihnya
menyatakan kurang mendukung.
4. Pelatih yang menyatakan jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan dan mendukung usaha Kopontren : Pelatihan
Perkoperasian sejumlah 19 orang
(65,5 persen), Kewirausahaan sejumlah 17 orang (58,6 persen), selebihnya
frekuensi intensitas jawabannya kurang.
5. Manajer Pelatihan : yang menyatakan
jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan
dan mendukung usaha Kopontren : Manajemen Keuangan Koperasi sejumlah
8 orang (66,7 persen),
Kewirausahaan sejumlah 7 orang (58,3 persen).
6. Rata-rata Pejabat Dinas menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha Kopontren
adalah : Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah sejumlah 8 orang (57,1 persen), Bisnis Plan/Strategi
Pengembangan dan Manajemen Keuangan Koperasi
sejumlah 7 orang (50 persen).
4. Aspek
Kendala Pelatihan
Intensitas jawaban responden dalam menjawab
kendala dari segi input yang pernah mereka alami selama mengikuti
pelatihan dapat dinarasikan bahwa sebagian besar responden
menjawab sebagai berikut :
1. Tidak seimbangnya antara Penyampaian Teori dan Praktik Lapangan sejumlah
158 orang (48,9persen)
2. Tugas Praktik Lapangan Kurang Diperhatikan, sejumlah 147 orang
(45,5persen)
3. Materi Kurang Mengarah Pada Pengembangan Usaha Kopontren sejumlah
115 orang (35,5persen).
5. Aspek
Penyelenggaraan Pelatihan
Menurut responden dari kalangan pesantren, penyelenggara pelatihan koperasi
yang pernah mereka
ikuti adalah : Dinas Koperasi
tingkat Provinsi, Balatkop, Pemda Provinsi, Kementerian KUKM, LSM, Perguruan Tingi dan Pengurus Kopontren itu sendiri.
Berdasarkan sebaran data yang diperoleh dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1. Dilaksanakan oleh Balatkop, sejumlah 146 orang (45,2 persen)
2. Dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten/Kotamadya, sejumlah 131 orang (40,6
persen)
6. Aspek
Penyelenggaraan Pelatihan Terbaik
Intensitas jawaban responden dalam menjawab penyelenggara pelatihan terbaik
dapat dinarasikan sebagai
berikut :
1. Dilaksanakan oleh Balatkop, sejumlah 162 orang (50,2 persen)
2. Dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten/Kotamadya, sejumlah 65 orang (20,1 persen)
6. Aspek
Dampak Pelatihan
Dampak pelatihan bagi
Kopontren dapat dinilai oleh responden
dari sisi pelaksanaan tugas atau
pekerjaan yang paling terlaksana dengan
lebih baik di lingkungan
Kopontren. Dari hasil penilaian ini ternyata sebagian besar responden menjawab
:
1. Pengelolaan Usaha Simpan Pinjam menjadi
lebih baik, sejumlah
113 orang
(35 persen).
2. Pengelolaan Administrasi/Tata Usaha Kopontren
menjadi lebih baik, sejumlah
63 orang (19,5 persen).
7. Aspek
Saran dan Harapan Terhadap Pelatihan
Dari hasil penelitian ini diperoleh rata-rata
terbesar jawaban responden yang menilai
bahwa pihak yang dianggap mampu
meningkatkan keterampilan dan pengembangan bagi Kopontren adalah
yang dilaksanakan dalam
bentuk kerjasama antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Otonomi Daerah setempat. Sedangkan
dari sisi penyelenggara diklat non pemerintah sejumlah 216 orang (66,9 persen) memberi
jawaban bahwa yang diharapkan memberikan pelatihan bagi Kopontren adalah Dekopin
dan Perguruan Tinggi (83 orang atau 25,7 persen).
Terkait dengan Program
Pelatihan, tanggapan
responden terhadap perbaikan atau penyempurnaan yang perlu diantisipasi
adalah sebagai berikut.
1. Mutu Pelatih,
dari sejumlah 164 responden (50,8 persen)
2. Uang Saku Pelatihan, sejumlah 161 orang (49,8 persen)
3. Anggaran
Biaya, sejumlah 154 orang (47,7 persen)
4. Kurikulum
Pelatihan, sejumlah 140 orang (44 persen)
5. Metode pelatihan, sejumlah 140 orang (43,3 persen)
6. Kelengkapan Peralatan Pelatihan, sejumlah 130 orang (40,2 persen)
7. Bahan-bahan Pelatihan, 109 orang (33,7 persen)
8. Waktu Pelatihan, 105 orang (32,5 persen)
Mengenai waktu atau lama pelaksanaan Diklat bagi Kopontren, rata-rata responden
(147 orang atau 45,5 persen) menjawab lama pelaksanaan pelatihan yang efektif dan diinginkan adalah
tidak lebih dari tujuh hari (1 minggu).
8. Analisis Hubungan antara Input Pelatihan
dengan Hasil Pelatihan
Ditinjau dari Kinerja Kopontren
Pengukuran dilakukan dengan
probabilitas uji Chi-Square dan hasil
uji menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara
input pelatihan yang diterima dengan kinerja Kopontren. Input pelatihan
dimaksud adalah materi, metode, teori, praktek lapangan, sarana dan prasarana
pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan
pengembangan wacana koperasi yang berhubungan dengan kemampuan peserta,
mudah menyelesaikan tugas dan tanggungjawab serta menyesuaikan diri dengan
lingkungan usaha Kopontren, berinteraksi dengan lingkungan pekerjaan, koordinasi dengan
Kopontren atau instansi lain.
Tingkat Keeratan Hubungan
Input Pelatihan dengan Hasil Pelatihan
dari segi kinerja
Kopontren, diperoleh dari nilai koefisien kontingensi diantara dua variabel sebesar
0,476 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat kekuatan
yang cukup/sedang, pada tingkat
keberlakuan sebesar 0,001. Tingkat keberlakuan
ini menyatakan bahwa kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai 0,476
adalah sebesar 99,99 persen.
Analisis Hubungan Antara Input Pelatihan dengan Pengetahuan Perkoperasian
Pasca Pelatihan, dilakukan melalui uji Chi-Square. Hasil analisis menyajikan kesimpulan
bahwa terdapat hubungan
antara input pelatihan
yang diterima dengan pengetahuan
Perkoperasian Responden Pasca Pelatihan. Artinya,
materi, metode, teori, praktek
lapangan, sarana dan prasarana pelatihan,
format pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi berhubungan dengan pengelolalan usaha jasa dan barang, simpan pinjam, penjualan/pemasaran pengelolaan bahan baku, pendidikan dan latihan
anggota Kopontren, administrasi dan tata usaha, pengelolaan tehnik produksi,
keuangan dan pergudangan.
Tingkat keeratan kedua variabel tersebut diperoleh dari nilai koefisien kontingensi
sebesar 0,459 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat kekuatan
yang cukup/sedang, dengan
tingkat keberlakuan sebesar 0,001. Tingkat keberlakuan
ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar
0,459 adalah 99,99 persen.
Analisis Hubungan
Antara Input Pelatihan dengan Sosialisasi Pengetahuan
Perkoperasian Pasca Pelatihan, berakhir pada
kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan Sosialisasi Responden terhadap
Pengetahuan Perkoperasian yang telah diterima. Artinya materi, Metode, Teori, Praktek Lapangan,
sarana dan Prasarana Pelatihan, format
pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi tidak berpengaruh terhadap upaya penerapan hasil
pelatihan perkoperasian bagi warga pesantren lainnya.
Tingkat keeratan kedua variabel ini diperoleh dari nilai koefisien kontingensi yakni
sebesar 0,309 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat kekuatan
yang cukup/sedang, dengan
tingkat keberlakuan sebesar 0,456. Tingkat keberlakuan
ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar
0,456 adalah 54,4 persen.
Analisis Input Pelatihan Dengan Tingkat
Partisipasi Masyarakat (kemitraan Koperasi) memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara input yang diterima
dengan Partisipasi Masyarakat terhadap
Kopontren (Kemitraan Kopontren). Artinya materi, metode, teori,
praktek lapangan, saran dan prasarana
pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi berpengaruh nyata terhadap
upaya perluasan mitra kerja usaha (partisipasi masyarakat) Kopontren.
Tingkat keeratan hubungan kedua variabel
ditunjukkan oleh nilai koefisien kontingensi sebesar 0,015 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat
kekuatan yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,015.
Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar
0,015 adalah 98,5 persen.
Analisis Hubungan Input
Pelatihan dengan Proses Belajar Mengajar
menyimpulkan adanya hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan proses
belajar mengajar selama pelatihan perkoperasian berlangsung. Artinya materi, metode,
teori, praktek lapangan, saran dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan
dan pengembangan wacana koperasi berpengaruh terhadap kesempurnaan proses belajar
mengajar yang dialami peserta selama pelatihan berlangsung (training on going process).
Pada tingkat keeratan
kedua variabel tersebut,
nilai koefisien kontingensi dari pengujian dua variabel adalah sebesar 0,710 yang berarti hubungan antara kedua variabel
memiliki tingkat kekuatan yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar
0,001. Tingkat
keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar
0,000 adalah 99,99 persen.
Analisis Hubungan antara
Input Pelatihan dengan
Pembinaan Hasil Pelatihan kesimpulan bahwa Tidak ada hubungan antara input pelatihan
yang diterima dengan pembinaan hasil pelatihan perkoperasian yang ada. Artinya materi, metode, teori, praktek
lapangan, saran dan
prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi tidak gigih mengupayakan pembinaan hasil pelatihan
bagi peserta dan Kopontren. Dengan kata lain tidak ada upaya untuk
melakukan penyuntikan modal usaha bagi Kopontren yang mengalami kesulitan, pembinaan mutu hasil usaha, jaringan
pemasaran dan kedisiplinan.
Pada tingkat keeratan
kedua variabel tersebut,
nilai koefisien kontingensi dari pengujian dua variabel adalah sebesar 0,628 yang berarti hubungan antara kedua variabel
memiliki tingkat kekuatan yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar
0,053. Tingkat
keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan
nilai sebesar 0,628 adalah 94,7 persen.
Analisis terhadap hubungan antara Input Pelatihan dengan Sikap Untuk Pelatihan
Mendatang, memberikan
suatu kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara input
pelatihan yang diterima
dengan sikap untuk pelatihan perkoperasian mendatang. Artinya
materi, metode, teori, praktek lapangan, saran dan prasarana pelatihan, format
pelaksanaan pelatihan
dan pengembangan wacana koperasi tidak memiliki perbedaan
yang mendasar diantara sesama responden dari pelbagai pihak tentang memandang
urgennya pelatihan sejenis dilanjutkan untuk masa yang akan datang.
Dengan kata lain umumnya responden memandang pelatihan perkoperasian masih perlu dilanjutkan
dengan banyak perbaikan.
Adapun nilai koefisien kontingensi yang menjadi indikator tingkat keeratan kedua
variabel tersebut adalah sebesar 0,264 yang berarti
hubungan antara kedua variabel
memiliki tingkat kekuatan yang rendah, dengan tingkat keberlakuan sebesar
0,310. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar 0,264 adalah 69 persen pada populasi responden penelitian.
Dilihat dari hubungan
variabel-variabel dan tingkat
ketepatan hipotesis tersbut, terdapat makna bahwa input tercapai
manakala peserta, pelatih, materi sesuai dengan
persyaratan kompetensi
dasar. Sementara itu proses akan menopang program apabila metode, alat bantu (media), penggunaan waktu serta sarana relevan. Output melukiskan penguasaan pengetahuan dari peserta
pelatihan. Outcome diperlihatkan oleh keterampilan peserta mengelola pesantren, impact terlihat
dari perkembangannya dan peningkatan peran masyarakat sekitar terhadap kehidupan koperasi.
Dalam Penyusunan Program sebaiknya terlebih dahulu diselenggarakan semiloka
bersama stakeholder (Kopontren)
dan perguruan tinggi terkait sehingga program menyentuh kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelatihan (Bottom up oriented).
Tempat pelatihan sebaiknya diadakan secara bergilir di
pesantren-pesantren yang memiliki Kopontren dengan perkembangan positif dan memiliki fasilitas untuk penginapan
bagi sejumlah peserta. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan Diklat tidak
terkesan terlalu formal dan penuh keakraban. Di sisi lain pendekatan tersebut
memungkinan pengenalan dari dekat terhadap kegiatan Kopontren setempat sehingga dapat menjadi
pendorongan serta acuan bagi peserta dari Pesantren lain.
Bagi peserta pelatihan yang berprestasi hendaknya diberikan semacam rewards seperti pembinaan
dan bantuan untuk pemupukan modal usaha serta perluasan jaringan
kemitran dan pemasaran. Pelatihan perkoperasian memerlukan perbaikan
program pelatihan dengan fokus pada perbaikan kurikulum pelatihan, mutu atau kopotensi pelatih/
instruktur, serta rentang waktu
pelatihan sekitar tujuh hari
(satu minggu). Pihak Kementerian
KUKM hendaknya
mensponsori efektifitas jaringan keorganisasian Koponntren, sehingga
terdapat peluang untuk meningkatkan sinergi
pengembangan Kopontren dengan saling memberi informasi tentang potensi pengembangan masing-
masing anggota.
V. Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
1. Pesantren
memiliki landasan ideal dan praktis
yakni sebagai bagian dari
upaya kegiatan pengembangan dalam proses belajar mengajar di lingkungan
warga Pesantren. Kopontren juga berfungsi sebagai
faktor penopang bagi penumbuhan ekonomi Pesantren yang berakar pada santri dan masyarakat
di lingkungan sekitarnya. Berdasarkan pemikiran ini Diklat Perkoperasian
akan menjadi salah satu aktivitas yang dapat membantu pengembangan
ekonomi Pesantren.
2. Tingkat akselarasi pertumbuhan dan perkembangan Kopontren terkait erat dengan partisipasi
masyarakat sekitarnya dalam mendukung kegiatan
usahanya. Hal ini berarti Diklat
Perkoperasian selayaknya mengarah
pada jenis-jenis pelatihan yang menopang program uaha Kopontren.
3. Dalam prakteknya Diklat Perkoperasian yang pernah diselenggarakan oleh berbagai penyelenggara, masih memiliki celah-celah kekurangan. Dari sisi internal adalah kurikulum berupa materi pelatihan kurang sesuai dengan usaha
Kopontren, ketidakseimbangan antara penyampaian teori dan
praktek lapangan, kompetensi pelatih/instruktur yang belum sepadan dengan
kepentingan usaha koperasi pesantren, rentang waktu pelatihan yang belum sejalan
dengan harapan peserta. Selanjutnya, dari sisi eksternal adalah kurangnya
pemupukan modal usaha Kopontren pasca Diklat serta minimnya
program pendampingan dalam hal pemasaran, dan penguatan jaringan kemitraan
Kopontren terhadap sentra industri di sekitar Pesantren. Di samping
itu pihak peserta
dan pelatih/instruktur mengeluhkan minimnya insentif selama
pelatihan berlangsung. Sementara pihak manager dan
pejabat dinas mengeluhkan hal yang sama yakni minimnya anggaran biaya pelatihan.
4. Kecenderungan ekonomi masyarakat di Indonesia sekarang
ini mengarah kepada Pola Syariah. Pihak Koperasi Pesantren
membutuhkan pengayaan konsep
Koperasi Pola Syariah yang lebih mendalam sehingga tidak ketinggalan
dari pola perbankan konvensional.
5. Pelatihan Koperasi di masa mendatang sepatutnya merupakan hasil pilihan
yang kompromi diantara
berbagai kalangan mulai dari pihak penyelenggara/
instansi terkait,
peserta dan pengelola koperasi pesantren, perguruan tinggi,
LSM dan lembaga keuangan terkait. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan
bahwa elemen yang berhubungan dengan input, proses, output, outcome dan impact merupakan
tahapan-tahapan yang tidak boleh lepas dari semua
stakeholders.
6. Jaringan assosiasi Kopontren merupakan satu kekuatan organisasi yang dapat
digerakkan sebagai wadah yang mampu mendukung sinergi pengembangan
Kopontren dalam mengatasi segala permasalahan Kopontren di tingkat nasional,
regional dan lokal.
7. Indikator keberhasilan dan kekurangberhasilan pelatihan bagi Kopontren tidak
saja ditentukan oleh tingkat pengorganisasian pelatihan selama proses belajar-
mengajar dalam pelatihan. Akan tetapi juga oleh hasil pembinaan pasca
pelatihan. Oleh karena itu Diklat Perkoperasian yang selama ini dilaksanakan
oleh berbagai pihak patut diteruskan dengan melakukan berbagai penyesuaian
dan perbaikan.
5.2. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi sebagai bahan pertimbangan pihak Kementerian KUKM
adalah sebagai berikut:
1. Kementerian KUKM perlu mengupayakan kerjasama pembinaan Pesantren
dengan Departemen Agama dalam hal pengembangan modal dan
sarana Kopontren. Dengan kata lain pasca pelatihan, Kopontren secara selektif patut
diberi suntikan modal untuk peningkatan diri (self sustaining growth) untuk aktivitas usahanya.
2. Cakupan peserta Diklat Perkoperasian perlu diperluas dan tidak terfokus pada
Pengurus Kopontren
dan Pengelola Pesantren saja, kemudian secara khusus
atau periodik ditujukan kepada kalangan santri.
3. Agar hasil pelatihan koperasi secara intensif diefektifkan oleh alumni peserta
Diklat dalam mengembangkan Kopontren, maka diperlukan upaya perumusan
strategi sistem monitoring
dan penyuluhan yang berkesinambungan dari pihak Kementerian KUKM pasca pelatihan.
4. Perlu penelitian lanjutan
tentang respons masyarakat terhadap Kopontren untuk mendapatkan prespektif Kopontren di tengah masyarakat.
5. Pembinaan Kopontren harus diupayakan secara berimbang antara Pesantren
wilayah Pertanian, Perikanan, Aneka Jasa, Kerajinan dan Ketrampilan teknis,
dan lain-lain. Diperlukan pula fasilitasi pembentukan jaringan kemitraan dengan
sentra-sentra industri di sekitar pesantren. Sehingga konsep koperasi dapat dituangkan ke dalam wilayah usaha
yang lebih luas. Dengan demikian
Kopontren dapat lebih berperan dalam mengantisipasi tengkulak atau praktek
ijon pada masyarakat sekitar Pesantren.
6. Secara periodik ada baiknya diadakan pertemuan antara pihak Kementerian
KUKM, Pihak Manajemen Industri dengan Kyai dan Pengelola Kopontren untuk
memberi penguatan yang berkelanjutan tentang urgensi koperasi di Pesantren. Dengan demikian sebahagian ekonomi kerakyatan akan berada
dalam nuansa keagamaan (religius) sehingga
kekuatan ekonomi tidak tergantung pada sistem moneter tapi pada mekanisme produksi serta pasar
lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, 1996, Beberapa Substansi Pokok Undang-Undang No. 25 Tahun 1992.
Pengantar Untuk Membangun Kesadaran Berkoperasi, Makalah
Disampaikan pada
Pendidikan Perkoperasian Tingkat Lanjutan, Kopma IAIN Jakarta, 19 Desember
1996.
Amin Azis, 1983, Partisipasi Anggota dan Pengembangan Koperasi, Dalam Sri Edi Swasono
(Ed), Mencari Bentuk, Posisi, dan
Realitas Koperasi Dalam Orde Ekonomi Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1983.
Azyumardi Azra, 1997, Pesantren, Kontinuitas dan Perubahan, dalam Bilik-bilik
Pesantren : Sebuah
Potret Perjalanan Oleh Nurcholis Madjid. Penerbit Paramadina,
Jakarta.
Babbie, Earl., 1998, Survey
Research Design, In Chapter The Logic Of Survei Sampling, (1998).
Badri Yatim, dkk, 1999, Sejarah
Perkembangan Madrasah, Direktorat
Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI. Jakarta.
Cranton P, 1986, Planning
Instruction For Adult Leamers, Wall Emersob. Inc., Toronto, Canada (1986).
Dawam Rahardjo, M. 1995. Koperasi : Kabar dari Lapangan, dalam Suyono AG dan
Irsyad Muchtar dkk (Ed),
Koperasi Dalam Sorotan Pers : Agenda
yang Tertinggi dalam Rangka 50 tahun RI. Pustaka Sinar Harapan, Yogyakarta.
Faisal Ismail, 1997, Paradigma
Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi
Historis, Cetakan ke-2, Titian
Ilahi Press, Yogyakarta.
Gagne Robert,
M. 1977, The Condition
Of Learning, New York : Holt, Rinehart and
Wineton.
Gerlach, Vermon S. And Ely, Donald
P. 1971, Teaching and Media : A Sistematic
Approach, Prentice.
Hall, Englewood Clifs. N.A.
Hasbullah, 1996, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia : Lintas Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan, Cetakan
ke-2, Raja Graffindo Persada, Jakarta.
Husni Rahim, 2001, Pondok Pesantren Koperasi di Indonesia, Proyek Peningkatan Tahun Anggaran 2001 Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI.
0 Response to "JURNAL EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN PADA KOPERASI PONDOK PESANTREN"
Post a Comment