-->

RUKUN SHALAT DAN PENJELASANNYA

RUKUN SHALAT
Rukun Shalat Yang Pertama
Niat
Baiklah, untuk kesempatan kali ini, kita akan mengulas hal-hal yang berkaitan dengan rukun shalat yang pertama, yaitu niat.
1.      Pengertian niat
Niat adalah qasad dengan hati untuk mengerjakan shalat. Kewajiban niat dalam shalat berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
انما الاعمال بالنيات
Artinya : "hanyasanya sahnya amal, tergantung pada niat". (H. R. Imam Bukhari)
Tujuan dari niat adalah untuk membedakan shalat dengan perbuatan lain yang bukan ibadah. Dalam niat, ada tiga hal yang wajib dihadirkan :
Qashad, yaitu kesengajaan dalam hati akan melakukan shalat. Supaya terbeda dari perbuatan yang selain shalat.
ta’arrudh, yaitu menyatakan dengan hati tentang fardhu atau sunatnya shalat, supaya terbeda tiap-tiap (fardhu / sunat) dari yang lain. 
Ta’yiin, artinya menentukan shalat yang akan di kerjakan, misalnya shalat dhuhur, ashar dll.
2.      Wajibnya qasad, ta’arrudh dan ta’yiin
Wajib meng-qasad melakukan shalat dan menta’yiinkan (menentukan) waktu shalat walau pada shalat sunnat yg bukan sunnat Mutlaq, seperti shalat sunat yang pelaksanaannya dalam waktu-waktu tertentu (termasuk didalamnya sunat rawatib, sunat tarawih, sunat dhuha dan sunnat dua hari raya), dan shalat sunat yang disebabkan oleh suatu sebab (seperti gerhana dan kemarau). Adapun shalat sunat mutlaq, tidak wajib menta’yiinkan waktu shalat. Bahkan sah salatnya hanya dengan niat mengerjakan shalat. Seperti pada dua raka’at shalat tahyatul masjid, sunnat wudhu’ dan shalat istikharah.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan shalat fardhu, yaitu; niat mengerjakan shalat, menentukan waktu shalat (seperti subuh, dll), dan niat fardhiah (meniatkan bahwa shalat yang dikerjakan adalah shalat fardhu). Ketiga hal tersebutlah yang di istilahkan dengan qasad, ta’arrudh, dan ta’yin.
3.      Hal spesifik menyangkut masalah ta’arrudh
Wajib berniat melaksanakan shalat fardhu (termasuk fardhu kifayah, atau fardhu karena nazar) walaupun yang mengerjakannya adalah anak kecil. Contohnya seperti "sahaja aku shalat fardhu zuhur / fardhu jum’at (sekalipun imam sudah berada ada posisi tasyahud)". Dan pada niat, disunnahkan menisbahkan shalat kepada Allah (seperti mengucapkan “lillaahi ta’ala”). Tujuannya adalah untuk menampakkan keikhlasan hanya kepada Allah. Disunnahkan pula meniatkan shalat tunai/qadha. Dan berdasarkan pendapat yang kuat, sah melakukan shalat tunai dengan niat qadha, begitu pula sebaliknya. Namun hal ini hanya berlaku bila dalam keadaan ozor, misalnya mendung, dsb. Jika tidak, maka shalatnya batal, karena dianggap talaa’ub (bermain-main) dalam ibadah. Dan disunnahkan pula berniat menghadap kiblat dan meniatkan jumlah raka’at.
4.      Masalah lafadz niat
Disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram, tujuannya adalah agar hatinya lebih fokus. Dan jikalau seseorang ragu apakah ia telah melakukan niat dengan sempurna atau tidak, atau terjadi keraguan apakah ia meniatkan shalat zuhur atau ashar? Maka jika ia teringat dalam frekuensi waktu yang lama, atau setelah melewati satu rukun (walau rukun qauliy, seperti bacaan surah al-fatihah), maka shalatnya batal. Dan jika teringat sebelum itu, maka tidak mengapa.
Imam Abu Yahya Zakaria al-Anshary dalam kitab beliau, tuhfah al-thullab bi syarhi al-tahriir menjelaskan bahwa salah satu kewajiban dalam shalat adalah menyertakan niat shalat ketika membaca takbiratul ihram, yang diistilahkan dengan muqaaranah. Lebih lanjut, beliau menjelaskan dalam Hasyiah al-syarqawi ‘ala al-tahriir bahwa terdapat beberapa rincian hukum tentang muqaaranah dan istihdhar, diantaranya:
Istihdhar hakiky, yaitu menghadirkan keseluruhan shalat dalam jiwa, maksudnya menghadirkan ke-13 rukun-rukun shalat. Ke- tiga belas rukun tersebut dihadirkan dengan terperinci, yaitu dengan cara menghadirkannya dalam jiwa secara khusus. Seperti membayangkan sepasang pengantin di atas pelaminan (ketika kita membayangkan sepasang pengantin di atas pelaminan, pasti akan terbayang pengantin pria, pengantin wanita, dan pelaminan secara sekaligus. Ketiganya akan hadir di fikiran kita secara sekaligus, begitu pula dalam hal ini) 
Istihdhar ‘urfy, yaitu menghadirkan bentuk shalat secara keseluruhan, dengan cara berniat mengerjakan shalat, men ta’yiinkan shalat (misalnya zuhur atau ashar dsb), dan meniatkan fardhu atau sunnat nya shalat (ketiganya diistilahkan denga qasad, ta’arrudh dan ta’yiin)
Muqaaranah hakiky, yaitu menyertakan niat mulai dari awal bacaan takbiratul ihram sampai penghabisan bacaan takbiratul ihram.
Muqaaranah ‘urfy, yaitu menyertakan niat hanya pada satu bahagian dari pada segala bahagian bacaan takbiratul ihram.
Imam al-nawany (631H-676H) dalam kitab Majmu’ syarah muhazzab dan juga imam yang lain berpendapat bahwa bagi masyarakat awam cukuplah muqaaranah ‘urfy saja, tanpa harus adanya muqaaranah hakiky. Pendapat ini berdasarkan pada ikhtar (pendapat yang dipilih) Imam Haramain al-Juwainy (419H-476H) dan Imam al-Ghazaly (450H-505H). Dan pendapat ini dibenarkan oleh Imam Tajuddin Abdul Wahhab al-Subky (727H-771H).

Rukun shalat yang ke dua
Berdiri
Berdiri (bagi orang yang mampu) merupakan salah satu rukun dalam shalat fardhu yang wajib dikerjakan, walaupun dengan bantuan orang lain yang disewa jasanya untuk membantu seseorang berdiri dalam mengerjakan shalat, dengan catatan ongkos yang dijadikan sebagai biaya penyewaan merupakan harta yang lebih dari kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya pada hari itu (siang sampai malam). Artinya jika seseorang tersebut hanya memiliki harta pas-pasan, maka tidak wajib baginya untuk menyewa orang lain untuk membantunya berdiri dalam shalatnya.
Seperti yang telah kita jelaskan bahwa berdiri merupakan salah satu rukun dalam shalat fardhu. Akan tetapi berdiri dalam shalat hanya diwajibkan bagi orang yang sanggup untuk berdiri. Maka dari uraian tersebut dapat kita fahami bahwa dalam pengerjaan shalat sunat, tidak ada kewajiban berdiri, begitu pula bagi orang yang lemah juga tidak diwajibkan berdiri.
Dari penjelasan diatas dapat difahami bahwa shalat fardhu yang dilakukan dengan cara duduk oleh anak kecil yang sanggup berdiri hukumnya sah. Namun pendapat kuat menyatakan tidak sah, sebagaimana yang termaktub dalam kitab al-bahr.
Terdapat beberapa pengecualian dari hukum diatas:
Bagi orang yang takut tenggelam di atas kapal laut. Boleh baginya shalat fardhu dalam keadaan duduk dan tidak ada kewajiban untuk mengulangnya.
Bagi orang yang salsul baul (beser), yang apabila ia shalat sambil berdiri dapat menyebabkan urinenya keluar. Boleh baginya shalat fardhu dalam keadaan duduk dan tidak ada kewajiban untuk mengulangnya.
Tentara yang sedang berada dalam keadaan peperangan, yang jikalau ia shalat sambil berdiri dapat terlihat oleh musuh. Atau duduk di tempat persembunyian, jikalau ia berdiri maka musuh dapat melihatnya. Maka dibolehkan shalat fardhu sambil duduk. Akan tetapi, kasus seperti ini dianggap sebagai kasus yang jarang terjadi, sehingga diwajibkan untuk mengulang kembali shalat tersebut ketika telah aman.
Imam ramli, dalam kitab Nihayatul muhtaj ila syarh al-minhaj menjelaskan bahwa kewajiban berdiri bagi yang kuasa juga termasuk bagi anak kecil, orang yang shalat sambil telanjang (dalam keadaandharurah, sehingga tidak ada sesuatu yang bisa dipakai untuk menutup aurat), termasuk pula bagi shalat fardhu yang di qadha, dan shalat fardhu yang dinazarkan. maka wajib berdiri ketika melaksanakan takbiratul ihram secara ijma’, sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-raudhah ka ashliha.
Adapun alasan para ulama pengarang kitab mengakhirkan “berdiri” daripada niat dan takbiratul ihram yang notabenenya berdiri lebih dulu dilakukan daripada keduanya, adalah karena keduanya merupakan rukun dalam tiap-tiap shalat, sementara berdiri tidak demikian. Alasan kedua adalah karena berdiri sebelum keduanya (niat dan takbir) merupakan syarat shalat, dan berdiri menjadi rukun setelah melakukan niat dan takbir.

rukun shalat yang ke tiga
Takbiratul Ihram

Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda : 
إذا قمت إلى الصلاة فكبر
Artinya: “Apabila engkau melaksanakan shalat, maka bertakbirlah (Muttafaq ‘alaihi)”
Dinamakan dengan takbiratul ihram -sebagaimana makna lafadz “ihram” adalah pengharaman- karena takbir tersebut mengharamkan apa saja yang halal dilakukan oleh orang yang melaksanakan shalat sebelum ia melakukan shalat. Dalam takbiratul ihram, terdapat makna implisit yang mengisyaratkan betapa agungnya zat yang kita sembah, yaitu Allah SWT, oleh karena itu, maka takbiratul ihram ditempatkan di awal pelaksanaan shalat. Sehingga sempurnalah kekhusyukannya. 
Pembacaan lafadz takbiratul ihram, disertai dengan niat dan juga disertai dengan apa saja yang di i’tibarkan dalam niat itu sendiri, seperti qashad, ta’riidh, ta’yiin,niat fardhiah, niat qashar bagi musafir, niat imamah dan ma’mumah secara keseluruhan, dengan cara menghadhirkan kesemuanya mulai dari permulaan takbir sampai ke bacaan huruf “ra” pada kalimat “اكبر”.
Imam al-rafi’i menguatkan satu pendapat bahwa boleh hanya menghadhirkan niat pada awal takbiratul ihram saja. Imam nawawi dalam kitab majmu’ dan kitab tanqiih, memilih pendapat al-imam dan al-ghazaly. Yaitu cukup hanya dengan muqaraanah ‘urfiyah bagi orang awwam, sekira-kira sudah dianggap sebagai orang yang mendirikan shalat
Bagi orang yang kuasa mengucapkan lafadz takbir wajib mengucapkan “اللَّهُ أَكْبَرُ”, karena yang demikian merupakan perbuatan nabi. Nabi bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya: “shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (H.R. Bukhary)
Tidak dibenarkan mengucapkan “اللَّهُ كَبِيرٌ”, karena tidak terkandug makna “أَفْعَلَ”. Begitu pula tidak boleh mengucapkan “الرَّحْمَنُ أَكْبَرُ” , “الرَّحِيمُ أَكْبَرُ” , “اللَّهُ أَعْظَمُ” dan “اللَّهُ أَجَلُّ”, karena tidak dinamakan sebagai lafadz takbir.
Boleh menambahkan lafad takbir asalkan tidak mengubah eksistensinya sebagai lafadz takbir, seperti mengucapkan “اَللَّهُ الْأَكْبَرُ” (dengan memakai alif lam pada Akbar), karena lafadz tersebut tidak mengubah hakikat takbir. Bahkan memperkuatnya dengan memberikan faedah hashar. Akan tetapi hukumya khilaf aula, karena terdapat khilaf pendapat para ulama dalam menetapkan hal tersebut. Tidak boleh mengurangi satu huruf pun pada lafad takbiratul ihram. Begitu pula pada takbir-takbir iintiqaalat. Dan juga tidak boleh menambah satu huruf pun yang menyebabkan berubahnya makna takbiratul ihram, seperti memanjangkan bacaan hamzah pada kalimat “اللَّهِ” dan menambahkan “alif” sesudah “ba” pada kalimat“أَكْبَر”, karena“أَكْبَر” (dengan menambahkan alif) merupakan bentuk jamak dari mufradnya “كَبَر” –dibaca dengan fatah “ba”- yang artinya gendang atau bedug bermuka satu. Dan tidak boleh menambahkan “waw” sebelum lafadz “jalaalah” sebagaimana tersebut dalam kitab “fataawa al-qaffaal”, begitupula tidak boleh menambahkan tasydid pada “ba” atau “ra” pada kalinmat “أَكْبَر

Rukun shalat yang ke empat
Al-Fatihah
Membaca surah al-fatihah wajib dilakukan dalam shalat apa saja, baik shalat wajib, shalat sunat, shalat yang dilakukan secara jihar (mengeraskan suara), secara sir (mengecilkan suara), salat sambil berdiri atau sambil duduk. Baik dengan menghafalnya, mendengarnya dari orang lain, atau dengan cara melihat Al-Qur’an. Berdasarkan hadits rasulullah dalam shahih bukhari, jld. III, hal. 204 (maktabah syamilah) :
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
Artinya: “tidak ada (tidak sah –pen) shalat bagi orang yang tidak membaca surah al-fatihah”
Sebelum membaca surat al-fatihah, disunnahkan membaca do’a iftitah. Kesunnahan ini berlaku secara umum, baik bagi orang yang shalat sendirian ataupun secara berjama’ah. Disunnahkan membaca do’a iftitah bagi makmum yang mendapati imam masih dalam posisi berdiri sebelum ruku’ dengan syarat si makmum masih sempat membacanya.
bagi orang yang mengerjakan shalat sendirian dan bagi imam yang mengetahui keridhaan makmum, dalam do’a iftitahnya disunnahkan melebihkan bacaan sebagai berikut:
اللهم أنت الملك لا إله إلا أنت سبحانك وبحمدك أنت ربي وأنا عبدك ظلمت نفسي واعترفت بذنبي فاغفر لي ذنوبي جميعا إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت وأهدني لأحسن الأخلاق لا يهديني لأحسنها إلا أنت واصرف عني سيئها لا يصرف عني سيئها إلا أنت لبيك وسعديك والخير كله في يديك والشر ليس إليك أي لا يتقرب به إليك وقيل لا يفرد بالإضافة إليك وقيل لا يصعد وإنما يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح وقيل ليس شرا بالنسبة إليك فإنك خلقته لحكمة بالغة وإنما هو شر بالنسبة إلى الخلق أنا بك وإليك تباركت وتعاليت أستغفرك وأتوب إليك
Artinya: “Ya Allah, Engkau adalah Raja. tiada tuhan (yang patut disembah -pen) kecuali Engkau. Maha suci Engkau dan terpujilah Engkau. Engkau adalah Tuhan ku dan aku adalah hamba-Mu. Aku telah mendzalimi diriku sendiri dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah dosa-dosaku, semuanya. Tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau. Bimbinglah aku untuk menjadi pribadi yang terbaik. Tidak ada yang bisa menjadikan aku sebagai pribadi yang terbaik kecuali Engkau. Jagalah aku dari perbuatan buruk, tidak ada yang dapat menjagaku dari perbuatan buruk kecuali Engkau. Aku memenuhi panggilan-Mu. Seluruh kebaikan berada di tangan-Mu. Dan tidak ada suatu keburukan pun bagi-Mu. Engkau telah menciptakannya dengan hikmah yang besar. Dan hanyasanya, ianya itu merupakan suatu keburukan dalam pandangan makhluq. Aku telah Engkau ciptakan. Dan aku akan kembali kepada-Mu. Engkau maha berkah dan maha tinggi. Aku memohon ampub dan bertaubat kepada-Mu”. \
Dalam membaca surah al-fatihah, ada hal-hal yang wajib diperhatikan dengan seksama agar shalat yang dilakukan sah, mengingat surah al-fatihah merupakan rukun dalam shalat. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah: wajib membaca “basmalah”, karena basmalah merupakan salah satu ayat dari surah al-fatihah. wajib memelihara huruf-huruf dan tasydidnya. Adapun jumlah huruf dalam surah al-fatihah adalah 141 huruf ( jika kita membaca kalimat ملك tanpa Alif), dan jumlah tasydid dalam surah al-fatihah adalah 14. Jadi, bila dijumlahkan huruf dalam surah al-fatihah adalah 155 huruf. Karena tasydid borposisi pada tempat dua huruf.
Bagi orang yang tidak bisa membaca surah al-fatihah, misalnya bagi orang yang tidak punya guru atau tidak punya al-qur’an, maka wajib membaca 7 ayat lain dalam satu surat. Jika tidak mampu, maka wajib membaca 7 ayat lain walaupun tidak dalam satu surat. Jika tidak mampu, maka wajib menggantinya dengan 7 zikir. Sebagaimana pendapat kuat yang dinyatakan oleh Imam al-bughawy. Dan disyaratkan huruf-huruf dari ayat atau zikir pengganti al-fatihah tidak boleh kurang dari huruf-huruf yang terdapat dalam surah al-fatihah. Dan jika seseorang tidak mampu membaca ayat atau zikir sebagai pengganti fatihah, maka yang diwajibkan adalah berdiri sekadar lamanya bacaan surah al-fatihah. 

Rukun shalat yang ke lima
Ruku’
Ruku’ wajib dilakukan dengan cara meletakkan telapak tangan pada lutut. Tidak boleh hanya meletakkan jari. Ketika melaksankan ruku’, ada beberapa hal yang disunnahkan:
Menyamakan posisi punggung dan leher bagaikan sehelai papan yang rata Memegang kedua lutut, menegakkan, dan melebarkannya, serta dengan menjarangkan jari-jari tangannya.
Mengucapkan “ سبحان ربي العظيم وبحمده” sebanyak tiga kali. Perlu diketahui bahwa sekurang-kurang tasbih adalah satu kali, walaupun hanya mengucapkan “سبحان الله”, dan sebanyak-banyaknya adalah sebelas kali.
Bagi lelaki disunnahkan melebarkan dua sikunya menjauh dari dua sisi perutnya. Juga disunnahkan mengempiskan perutnya.
Ketika merubah posisi dari berdiri menjadi ruku’, niatnya harus benar-benar melaksanakan ruku’. Sehingga tidak sah ruku’ bagi orang yang berniat melaksanakan sujud tilawah, ketika sampai pada batasan ruku’ ia mengganti sujud tilawahnya menjadi ruku’. Bagi orang tersebut, wajib berdiri kembali dan berniat melaksanakan ruku’.
Dalam pelaksanaan shalat berjama’ah, dimakruhkan bagi imam untuk memperbanyak bacaan tasbih lebih dari tiga kali, tujuannya adalah untuk memberi keringanan bagi ma’mum, kecuali bagi jama’ah mahshuuriin yang ridha dengan panjang nya bacaan imam. Bahkan disunnahkan bagi imam jama’ah mahshuuriin dan orang yang shalat sendirian untuk menambahkan bacaan berikut dalam ruku’nya :
اللهم لك ركعت وبك آمنت ولك أسلمت خشع لك سمعي وبصري ومخي وعظمي وعصبي

Artinya: “ya Allah, bagi-Mu ruku’ ku, dan aku beriman pada-Mu, dan bagi-Mu aku berserah. Pendengaranku, penglihatanku, fikiranku, tulang dan sarafku tunduk pada-Mu”.

Rukun shalat yang ke enam
I’tidal
I’tidal.
I’tidal dilakukan dengan kembali ke posisi awalnya sebelum ruku’ serta berhenti sejenak di posisi i’tidalnya (Thuma`ninah). I’tidal mesti dilakukan secara menyengaja (Qashad), artinya jika seseorang bangun dari ruku’nya karena terkejut atau takut terhadap sesuatu bukan bertujuan untuk I’tidal maka gerakannya itu tidak dianggap sebagaiI’tidal, sehingga ia harus mengulangi ke posisi ruku’nya kemudian baru bangun untuk melakukan i’tidal.
Hal-hal yang disunatkan ketika I’tidal
1.      Ketika bangkit dari ruku’ untuk I’tidal disunatkan mengangkat kedua tangan setentang dengan dua bahunya sambil membaca:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Artinya : “Allah telah mendengar terhadap orang yang memujiNya”.
2.      ketika sampai dalam posisi I’tidal disunatkan membaca :

رَبَّنَا لَك الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَوَاتِ وَمِلْءُ الْأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Artinya : ”Wahai Tuhan kami, segala puji bagimu sepenuh langit dan bumi dan segala sesuatu yang Engkau ciptakan sesudah keduanya”.
Bagi orang yang salat sendirian atau Imam yang jamaahnya Mahshurin sunat menambahkan bacaan berikut ini :
أَهْلُ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ وَكُلُّنَا لَك عَبْدٌ، لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْت، وَلَا مُعْطِي لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْك الْجَدُّ

Artinya : “Ucapan hamba yang paling berhak untukmu adalah zat yang terpuji dan mulia dan kami semua hambamu tiada yang kuasa mencegah atas segala yang kau berikan, tiada yang sanggup memberi atas apa yang kau halangi dan tiada manfaat kekayaan seseorang di sisi Engkau”.
3.      Membaca Qunut pada salat Subuh ketika i’tidal di rakaat yang kedua, Insya Allah pembahasannya akan kami bahas secara khusus tentang hal ini.
Jika seseorang ragu dengan keabsahan I’tidalnya sedang ia melakukan sujud maka wajib kembali untuk melakukan I’tidal secara sempurna apabila orang tersebut tidak sedang bermakmum kepada Imamnya (orang yang salat sendirian atau Imam). Adapun bagi orang yang sedang bermakmum kepada imamnya jika sudah terlanjur sujud tidak boleh kembali untuk melakukan I’tidal yang diragukannya, akan tetapi setelah Imam selesai dari shalat, wajib baginya untuk menambah rakaat salatnya.
Rukun shalat yang ke tujuh
Sujud
sujud dua kali setelah i’tidal . Secara global, metode sujud yang benar adalah dengan cara bertumpu pada tujuh anggota badan yaitu: dahi, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung dari dua kaki diatas benda suci seperti terlihat dalam gambar di samping.

Dalam satu hadits Rasulullah menyebutkan kaifiyah sujud :
أمرت أن أسجد على سبعة أعظمٍ على الجبهة - وأشار بيده على أنفه - واليدين والركبتين وأطراف القدمين

Artinya; Saya diperintahkan untuk bersujud dengan cara bertumpu pada tujuh anggota badan yaitu dahi (beliau berisyarat dengan menyentuh tangan kehidung beliau), dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung dua kaki”. (H.R. Imam Bukhari dan Muslim)

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk sahnya sujud:
Ketika turun dari ‘itidal keposisi ruku’ disyaratkan agar tidak mengkasadkan selain sujud.
Tidak sujud diatas benda yang bersambung dengan badan mushalli yang akan terangkat dari tempat sujud dengan sebab pergerakannya.
Bagian dari anggota tujuh harus menempel pada tempat sujud.
Berat kepala mesti seluruhnya bertumpu pada tempat sujud.
Posisi bagian belakang lebih tinggi dari kepala, sehingga bila kepalanya lebih tinggi atau sejajar dengan bagian belakang maka akan menyebabkan tidak sahnya sujud.
Melakukan tuma’ninah (berhenti sejenak kadar bacaan tasbih).
Dalam pelaksanaan sujud disunatkan sambil matanya terbuka agar hidung mushalli menempel pada tempat sujud sebagaimana halnya dahi. Lebih dulu meletakkan dua lutut yang dibuka kadar sejengkal, kemudian dua telapak tangan yang jari-jarinya rapat dan terbuka mengarah kiblat serta diiringi dengan peletakan dahi. Sunat juga dalam keadaan jauh dua tapak sejengkal untuk menghadapkan seluruh jari-jari kaki kearah kiblat.

Adapun bacaan pada ketika sujud adalah:
سبحان ربي ألاعلى وبحمده
Artinya: Maha Suci Rabbiku Yang Maha Tinggi dan puji-pujian untuk-Nya.
Bacaan tersebut disunatkan tiga kali bagi Imam selain jamaah mahsurin dan makruh bila lebih. Bagi munfarid (orang yang melakukan shalat sendirian) atau Imam jamaah mahsurin dianjurkan membaca hingga sebelas kali. Bahkan dianjurkan untuk menambahkan dengan bacaan berikut:
اللَّهُمَّ لَك سَجَدْتُ وَبِك آمَنْتُ وَلَك أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ 
وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Artinya: “Ya Allah, bagi-Mu sujud ku, dan aku beriman pada-Mu, dan bagi-Mu aku berserah diri. Jiwaku bersujud kepada Zat yang menciptakannya, yang membuka mata dan telinganya dengan daya dan kekuatanya-Nya. Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta”.
Dalam sujud disunatkan agar memperbanyak doa’. Sebagiannya adalah do’a yang warid dari Nabi SAW sebagai berikut:
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِرِضَاك مِنْ سَخَطِك، وَبِعَفْوِك مِنْ عُقُوبَتِك، وَأَعُوذُ بِك مِنْك، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْك أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْت عَلَى نَفْسِك

Artinya: Maha suci pemilik para malaikat dan ruh. Ya Allah ampunilah bagiku dosaku seluruhnya, yang keci, besar, yang awal, akhir, yang terang-terangan atau pun yang tersembunyi. Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung dengan Ridhamu dari kemarahan-Mu, dengan kemaafan-Mu dari siksa-Mu dan aku berlindung dengan-Mu dari-Mu. Aku tak sanggup mengghinggakan kepujian atas-Mu seperti puji-Mu kepada diri-Mu. 
Sujud merupakan salah satu rukun shalat yang sangat menggambarkan sikap tawadhu’ seorang hamba terhadap Sang Khaliq. Hal ini menjadi salah satu hikmah kenapa sujud disyari’atkan dua kali dalam shalat. Disamping itu, hikmah dari diulang-ulangnya sujud adalah dimana disaat Syara’ memerintahkan untuk berdo’a dalam sujud, dan do’a akan di-ijabah, maka sujud yang kedua adalah sebagai tanda syukur terhadap diterimanya doa’ tersebut, bahkan ketika sujud merupakan waktu di mana hamba lebih dekat kepada Allah. Dalam satu hadits Rasulullah bersabda :

قال أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد فأكثروا الدعاء

Artinya: yang paling dekat keadaan hamba dari tuhannya adalah ketika ia dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah berdoa (di dalamnya). (H.R Imam Bukhari dan Muslim)
Note. Jamaah mahshurin adalah jamaah khusus yang sudah rela imam membaca bacaan shalat dengan panjang. 

Rukun shalat yang ke delapan
Duduk Antara Dua Sujud.
Duduk antara dua adalah duduk yang dilakukan setelah sujud pertama berfungsi sebagai pemisah sujud pertama dan kedua. 
Nabi SAW bersabda: 
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا
Artinya: kemudian tegaklah sehingga tetap sebentar dalam posisi duduk. (HR. Abu Hurairah) 
Duduk antara dua sujud mesti dilakukan dengan bangun dari sujudnya secara menyengaja, artinya bukan karena ada sebab yang lain seperti disengat oleh binatang, terkejut dan sebagainya. Karena itu, jika ia bangun dari sujud karena demikian maka harus mengulangi dari sujudnya kembali. Duduk antara dua sujud tidak boleh dilakukan terlalu cepat tanpa adanya thuma`ninah (berhenti sejenak) dan juga tidak boleh berlama-lama dengannya (menyamai ukuran bacaan tasyahud yang wajib), karena ia adalah termasuk rukun yang pendek (qashir). 
Hal-hal yang disunatkan ketika duduk antara dua sujud
Membaca takbir ketika mengangkat kepala dari sujudnya.
Duduk secara iftirasy, yaitu duduk di atas tumit kakinya yang kiri sedangkan kaki kanan ditegakkan secara lurus serta menghadapkan jari kaki kanannya ke arah kiblat.
Meletakkan kedua tangannya di atas dua paha mendekati dengan dua lututnya.
Jari-jari tangannya dibentangkan dengan rapat (bukan direnggangkan).
Membaca doa berikut ini :
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي وَعَافَنِي وَاعْفُ عَنِّي
Bagi yang shalat sendirian (munfarid) dan imam jamaah mahshurin disunatkan untuk menambahkan doa di bawah ini : 
رَبِّ هَبْ لِي قَلْبًا نَقِيًّا مِنْ الشِّرْكِ بَرِيًّا لَا كَافِرًا وَلَا شَقِيًّا
رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَتَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمُ إنَّك أَنْتَ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ
Ya Tuhanku, berikanlah bagiku hati yang bersih dari syirik dan bukan hati yang kufur dan celaka.
Ya Tuhanku, ampunkanlah dosaku dan kasihinilah diriku, dan ampunkanlah bagiku apa yang Engkau ketahui, sesungguhnya engkau adalah yang Maha Megah lagi Pemurah.

Rukun shalat yang ke Sembilan
Tasyahhud
Tasyahhud Akhir merupakan rukun shalat yang mesti dibaca ketika duduk tahyat akhir.

Rasulullah SAW bersabda :
عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ أَنّهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم يُعَلّمُنَا التّشَهّدَ كَمَا يُعَلّمُنَا السّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ 
Artinya : ” Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, sesungguhnya ia berkata : adalah Rasulullah SAW mengajari Tasyahhud kepada kami sebagaimana beliau mengajari bacaan al-Quran kepada kami”. (H.R. Ibnu Abbas). 
Ada beberapa ketentuan dalam membaca Tasyahhud Akhir, yaitu :
Bacaaannya mesti terdengar oleh dirinya sendiri.
Bacaan Tasyahhud tidak dimaksudkan kepada bacaan lain 
Dibaca secara beriringan, artinya tidak boleh diselangi oleh bacaan yang lain meskipun dengan zikir atau ayat-ayat al-Quran.
Tidak boleh menggantikan huruf-hurufnya, kalimat-kalimatnya serta segala tasydidnya.
Dibaca dalam bahasa Arab.
Tertib, yaitu tidak boleh digantikan urutan-urutan bacaannya jika dapat mengubahkan maknanya.
Bacaan Tasyahhud Akhir sekurang-kurangnya yaitu :
اَلتَّحِيَّاتُ لِلَّهِ سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ سَلَامٌ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللَّهِ
Adapun bacaan Tasyahhud Akhir secara sempurna adalah :
اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ, اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ, اَلسَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحيْنَ أشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ الله

Rukun shalat yang ke sepuluh dan sebelas
Tasyahud Akhir & Shalawat
Rukun shalat yang ke sepuluh adalah duduk tasyahud akhir. Duduk ini dilakukan setelah sujud yang kedua dari rakaat yang terakhir dalam tiap-tiap sembahyang serta sesudahnya diiringi dengan salam. Pada dasarnya, metode duduk tasyahud boleh dilakukan dengan metode apa saja asalkan pada u’ruf dianggap sebagai duduk. Namun karena didasari sembahyang merupakan salah satu tanda pengabdian seorang hamba kepada sang Khaliqnya yang sangat dituntut untuk memilihara adab, maka duduk yang dianjurkan pada tasyahud akhir adalah dengan metode tawarruk. Duduk tawarruk bisa dipraktek dengan cara bertumpu di atas pangkal paha (pantat) kiri yang ditempelkan pada tempat duduknya sambil kaki kirinya dikeluarkan sebelah kanan yang berposisi dibawah kaki kanan yang telah dilipatkan seperti terlihat dalam gambar.
Ada beberapa hal yang sunat dilakukan ketika duduk tawaruk, yaitu:
Ujung kaki kanan menempel pada bumi sambil mengarah kekiblat.
Ujung jari tangan diletakkan sejajar dengan lutut sambil terbuka rapat dan mengarah kekiblat.
Kemudian tangan kanan digenggam kecuali jari telunjuk.
Ketika membaca kata “illallaah”, jari telunjuk diangkat sedikit dengan kasad dalam hati bahwa Tuhan yang disembah hanyalah satu agar selaras antara hati, perbuatan serta perkataannya.
Telunjuk tetap diangkat hingga selesai salam kedua menurut satu pendapat atau hingga selesai salam yang pertama menurut pendapat yang lain.
Yang lebih baik ibu jari ditempelkan pada pangkal telunjuk.
Sunat untuk mengarahkan pandangan pada jari telunjuk walaupun tertutup dengan baju misalnya.
Duduk tawarruk tidak hanya disunatkan pada tasyahud akhir tiap-tiap sembahyang, tapi juga disunatkan pada beberapa tempat yang lain, seperti duduk mengiringi sujud tilawah dan sujud syukur.
Duduk tasyahud akhir yang diiringi dengan sujud sahwi tidak disunatkan duduk dalam posisi tawaruk.
Makruh hukumnya menggerakkan telunjuk ketika membaca tasyahud

Shalawat Pada Tasyahud Akhir

Pada ketika duduk tasyahud akhir setelah membaca tasyahud, syari’at mewajibkan kita untuk membaca shalawat kepada Nabi SAW. Shalawat merupakan rukun yang kesebelas dari tiga belas rukun yang ada dalam sembahyang.
Lafaz shalawat sekurang-kurangnya adalah:
ااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Artinya: Ya Allah curahkanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad.
Disunatkan membaca shalawat kepada al(keluarga) Nabi SAW yaitu sekurang-kurangnya dengan menambahkan lafaz “ آله ” sesudah lafaz sekurang-kurang shalawat diatas.
Adapun lafaz shalawat yang lebih sempurna bisa dibacakan seperti dibawah ini:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكَتْ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد
Artinya: Ya Allah curahkanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana rahmat yang telah Engkau curahkan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan berkatilah Nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana telah Engkau berkati Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dalam alam semesta, sungguh engkau yang dipuji dan maha mulia.
Selain salawat kepada Nabi SAW serta keluarganya, ketika duduk tasyahud akhir juga dianjurkan bagi orang yang mumfarid (orang yang melaksanakan shalat sendirian) dan imam ma’mum mahsurin agar menambahkan do’a-do’a yang lain, baik berdoa yang berkenaan dengan perkara akhirat maupun masalah dunia, baik doa yang ma`tsurah maupun bukan. Anjuran ini hanya khusus pada tasyahud akhir.
Do’a ma’stur dari Nabi SAW adalah do’a yang diwajibkan oleh sebagian ulama, yaitu: 
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
Artinya: Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, azab neraka, fitnah hidup dan mati dan dari fitnah dajjal.
Selanjutnya:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَسْرَفْتُ، وَما أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي أَنْتَ المُقَدِّمُ، وَأَنْتَ الْمُؤخِّرُ لاَ اله إِلاَّ أَنْتَ. اللَّهُمَّ إنِّي ظَلَمْت نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِك وَارْحَمْنِي إنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Artinya: Ya Allah ampunilah bagiku dosa yang telah aku kerjakan, dosa yang akan datang, dosa yang ku rahasiakan dan yang ku nampakkan serta perbuatanku yang melampaui batas. Engkau yang lebih mengetahui dariku dan engkau yang mendahului dan engkau yang terakhir. Tiada Tuhan kecuali Engkau . Ya Allah sesungguhnya aku telah mendhalimi diriku dengan kedhaliman yang banyak. Tiada yang mengampuni segala dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan keampunan yang ada disisi-Mu. Dan kasihanilah aku, sesungguhnya Engkau maha pengampun lagi maha mengasihi.

NOTE: Pada lafaz shalawat dianjurkan untuk menambahkan kata سيدنا.
Makruh membaca shalawat sesudah doa-doa tasyahud.

Rukun shalat yang duabelas dan tiga belas
Membaca Salam & Tertib
Rukun Shalat yang ke 12 dan 13 adalahMembaca Salam yang Pertama dan Tertib

Membaca Salam yang Pertama
Rukun shalat yang ke dua belas adalahmembaca salam yang pertama. Adapun membaca salam yang kedua hukumnya sunat dan terkadang hukum membaca salam yang kedua ada yang diharamkan jika setelah salam yang pertama terjadi hal-hal yang bertentangan dengan shalat, seperti berhadas, berpaling dari kiblat, terbuka aurat dan sebagainya.
Keharaman ini dikarenakan salam yang kedua merupakan salah satu yang menyempurnakan shalat meskipun ia bukan bagian dari shalat itu sendiri.
Bacaan salam sekurang-kurangnya yaitu :
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ
Dibolehkan juga membaca salam dengan lafadh:  عَلَيْكُمُ السَّلَام  namun hukumnya makruh. Adapun bacaan salam yang paling sempurna adalah:  اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
Ada beberapa ketentuan yang mesti diperhatikan ketika membaca salam, yaitu:
Bacaan salam mesti di ma’rifahkan dengan ال, artinya tidak boleh dibaca dengan tanwin seperti:سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ
Dibaca dengan kaf khithab dan mim jama’ (كُمْ), artinya tidak boleh dibaca dengan:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ , اَلسَّلاَمُ عَلَيْهِ dan semacamnya.
Bacaan salam bisa didengar oleh telinganya sendiri.
Kalimatnya dibaca secara beriringan.
Dibaca dalam posisi duduk serta dadanya menghadap kiblat.
Bacaan salamnya tidak boleh hanya dimaksudkan untuk I’lam (memberitahu).
Dibaca dalam bahasa Arab.
Tidak menambahkan sesuatu yang dapat mengubahkan makna salam.
Tidak mengurangi sedikitpun dari bacaan salam yang sudah ditentukan


Tertib
Rukun shalat yang ke tiga belas atau yang terakhir adalah tertib, yaitu melakukan segala rukun shalat yang sudah disebutkan secara urutan yang telah ditetapkan. Sehingga jika ada rukun fi’ly yang didahulukan secara sengaja dari yang semestinya maka salatnya batal. Berbeda halnya jika yang didahulukan adalah rukun qauly selain salam maka salatnya tetap sah dan bacaannya itu tidak diperhitungkan.


0 Response to "RUKUN SHALAT DAN PENJELASANNYA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel