SEJARAH ULEE BALANG (makalah)
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Ulee Balang
Saat
Aceh masih di era Kerajaan Aceh Darussalam (1496-1903), diketahui ada tiga
kekuatan sosial politik yang saling mendukung satu sama lain untuk memperkokoh
pondasi tatanan Pemerintahan di Kerajaan yang pernah menjadi adikuasa di Asia
Tenggara pada masanya (Fachry Ali: 1989)-(Kell, 1995: 46).
Ketiga kekuatan itu,
yakni :
1. Sultan;
2. Ulama;
dan
3. Uleebalang.
Dalam
menjalankan tugasnya, semua pihak di atas tidak serta merta bertindak
sewenang-wenang terhadap kekuasaan yang mereka miliki. Komunikasi dan saling
mengawasi antar ketiganya menjadikan jalannya roda Pemerintahan berjalan secara
harmonis, efektif dan efisien. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, hubungan
ketiga pihak menjadi retak dan pada akhirnya memang hancur.
Ini
tidak terlepas dari kehadiran kolonial Belanda, yang menjadi seteru utama bagi
Aceh saat perang masih berkecamuk. Kedatangan Belanda membuat salah satu pihak
dari tiga kekuatan, membelot kepada penjajah. Siapakah mereka? Tidak lain
adalah raja-raja kecil alias Uleebalang. Walau pun tidak semuanya memilih
berpaling kepada Belanda, tapi mayoritas dari mereka memang memilih menjalin
kerja sama dengan penjajah, yang justru sangat merugikan bagi Aceh.
Keberpihakan Uleebalang kepada kolonial Belanda dikuatkan melalui penandatanganan
surat pernyataan menyerah dan tunduk pada penjajah, yang disebut Korte
Verklaring.
Perjanjian
ini berisi antara lain tentang:
1. Pengakuan
kedaulatan kolonial Belanda atas Kerajaan Aceh Darussalam oleh Uleebalang;
2. Pengakuan
terhadap bendera Belanda sebagai satu-satunya bendera yang sah dan boleh
berkibar; dan
3. Pengakuan
tidak akan pernah memberikan bantuan kepada pasukan Aceh yang sedang bertempur
dengan Belanda.
Pada
tahun 1898, isi perjanjian Korte Verklaring diperbarui dengan penambahan klausul
bahwa musuh Belanda adalah juga musuh Uleebalang (Nazarudin Sjamsudin, 1987:17).
Mulai
saat itu, Uleebalang menjadi musuh Sultan dan Ulama Aceh (M. Nur El Ibrahimy,
2001:85) ”Keistimewaan” Uleebalang yang menindas rakyat Aceh hasil
perkongsiannya dengan kolonial Belanda, berakhir ketika meletusnya Revolusi
Sosial atau juga disebut Revolusi Desember. Dimana, rakyat dan Ulama saling
bahu membahu melakukan aksi revolusi menumbangkan kekuasaan baron feodal ala
Uleebalang. Kebebasan ini akhirnya berhasil diraih saat Republik Indonesia baru
saja merdeka dari jajahan kolonial Belanda.
a.
Asal
Mula Ulee balang
Identik
dengan gelar Teuku (bagi lelaki) dan Cut (bagi perempuan), Uleebalang adalah
raja kecil yang memimpin suatu daerah sebagai kepanjangan tangan Sultan Aceh.
Mereka diangkat menjadi pemimpin melalui persetujuan Sultan Aceh, Ulama (Mufti)
Kerajaan serta Ulama lokal tempat seorang Uleebalang akan memimpin, dengan
penguatan sebuah surat Sarakata yang telah dibubuhi Cap Sikureueng. (Zakaria
Ahmad, 1991: 89).
Di
masa lalu, pada waktu Kerajaan Aceh berdiri, sudah ada beberapa Kerajaan di
Wilayah Aceh, seperti Perlak, Pasai, Samudra, Jeumpa, Pidie, Teunom, Daya,
Trumon, dan lain sebagainya. Sebagian dari Kerajaan-kerajaan ini dapat
ditaklukkan dan diintegrasikan dengan Kerajaan Aceh Darussalam semasa Sultan
Ali Mughayat Shah (1496-1528).
Selain
Kerajaan-kerajaan yang namanya terkenal dalam sejarah ini, terdapat pula
daerah-daerah bebas lainnya yang diperintah oleh raja-raja kecil yang dalam
bahasa Inggris disebut ”Chieftains”. Daerah-daerah bebas seperti ini makin hari
makin bertambah. Pada saat Sultan Iskandar Muda memimpin Kerajaan Aceh
Darussalam (1607-1636), semua daerah ini dapat diintegrasikan dengan Kerajaan
Aceh. Daerah-daerah ini dinamakan Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah yang
menjadi inti Kerajaan Aceh Darussalam, yang wilayahnya sekarang dikenal sebagai
Kabupaten Aceh Besar.
Tiap
daerah diperintah oleh seorang Uleebalang. Tidak ada lagi yang memakai nama
”raja” sebagai gelarnya. Pada tahun 1675, di daerah ini diadakan perubahan.
Kerajaan Aceh Darussalam dibagi ke dalam tiga federasi atau masyarakat Aceh
lebih mengenalnya dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe. Bentuk federasi ini dinamakan
sebagai Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe (M. Nur El Ibrahimy, 2001:84).
Di wilayah yang kadang-kadang di huni oleh
penduduk yang jumlahnya hanya sekitar 500 orang, tapi kadang-kadang hingga
50.000 orang, Uleebalang secara turun temurun (keturunan) memegang kekuasaan
atas nama ”Sultan dan dengan surat pengangkatan dari Sultan yang terkenal
dengan Sarakata yang dibubuhi dengan Cap Sikureueng (Cap Sembilan), yaitu cap
yang resmi dari Sultan Aceh”.
Dalam
bukunya The Achenese, Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Uleebalang di
dalam teori berperan sebagai kepanjangan kekuasaan atau pejabat dari Sultan
Aceh, akan tetapi dalam prakteknya, mereka dapat bertindak sesuka hati melebihi
kewenangan yang telah diberikan oleh Sultan Aceh. Tidak heran, bila di kemudian
hari rakyat Aceh di perlakukan secara semena - mena oleh Uleebalang. Di wilayah
Aceh yang luasnya sekitar 55.392 kilometer persegi, terdapat lebih dari seratus
Nanggroe, yang pada masa Hindia Belanda disebut Land Schoppen dan Ulee
balang-nya disebut Zelfbestuurders, kecuali di wilayah Aceh Besar, di
sini disebut Sagi (Sagoe) dan Uleebalang yang memerintah disebut Sagi Hoofd.
Uleebalang
ini merupakan ”raja-raja kecil” di daerahnya, padahal di wilayah itu,
kadang-kadang tidak lebih dari 1 kilometer persegi dan penduduknya tidak lebih
dari 500 jiwa, seperti Land Schoop Ilat (Iloet) dan Krueng Seumideun di
Pidie, serta Land Schoop Blouek di Aceh Utara (M. Nur El Ibrahimy, 2001:85).
b.
Peran
Ulee balang
Sebagai
penguasa daerah atau raja kecil, Ulee balang tidak hanya berperan sebagai
penguasa dalam hal administrasi Eksekutif semata, tetapi juga menguasai hampir
semua lini kehidupan rakyat Aceh, yang Sultan sekali pun hampir tidak pernah
menyentuhnya. Lini yang dimaksud antara lain: perdagangan, pengadilan,
pertanian dan perkebunan. Sebut saja pengadilan. Snouck menuliskan dalam bukunya
The Achehnese bahwa Uleebalang menjadikan pengadilan sebagai tempat
untuk memeras rakyat dan memperkaya diri (Siegel :32). Snouck menyatakannya
sebagai berikut: ”Administrasi pengadilan yang buruk merupakan sumber
pendapatan bagi para Uleebalang. Mereka secara seenaknya campur tangan dalam
perkara - perkara intern Mukim yang sebenarnya bukan menjadi hak mereka.
Perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan di kampung dibawa ke pengadilan
Uleebalang dan diperiksa dengan bantuan seorang Kadhi yang menjadi ’alat’-nya.
Satu-satunya orang yang memperoleh keuntungan dari perkara-perkara yang
diputuskan itu adalah Uleebalang sendiri. Mereka dapat memaksa seseorang
membayar denda atau merampas harta kekayaannya, bahkan menghukumnya dengan
siksaan. Semuanya adalah untuk keuntungan Uleebalang semata-mata” (Paul van ‘t
Veer, 1977:129).
Selanjutnya,
Snouck menuliskan, ”mengenai pembagian harta warisan, hanya manakala jumlahnya
kecil sekali, barulah boleh diselesaikan oleh ahli waris dikalangan mereka
sendiri. Dalam segala hal yang lain, Uleebalang turut ikut campur tangan. Alasannya
adalah sebagai berikut:
1. Menyangkut
kepentingan waris yang belum dewasa;
2. Ada
waris yang tidak puas, jika pembagian dilakukan dikalangan ahli waris; dan
3. Jumlah
harta warisan yang terlalu ’besar,’ sehingga tidak dimungkinkan kalau pembagian
dilakukan oleh ahli waris sendiri.
Sebab,
mereka adalah orang-orang awan yang ’bodoh.’ ’Sebab sebenarnya’ adalah jika
pembagian diselesaikan oleh Uleebalang, dia akan mendapatkan kesempatan untuk
memotong 10% dari jumlah harta warisan untuk dirinya sendiri sebagai ’hak
peurae’ (hak farail). Alasan bahwa ahli waris adalah ’orang bodoh’ sungguh
tidak dapat diterima. Sebab, sebagian dari Uleebalang sendiri juga ’buta
huruf,’ walau pun tidak buta huruf, mereka sama sekali tidak mempunyai
pengetahuan tentang pembagian waris. Yang menyelesaikannya itu semua adalah
Kadhi, yang juga merupakan alat sepenuhnya dari Uleebalang.
Bahkan,
zakat pun ikut diselewengkan oleh Uleebalang untuk menambah pundi-pundi
pendapatannya sebagaimana disebutkan oleh Antony Reid dalam bukunya The
Blood of the People. Dari hasil penyelewengan - penyelewengan yang
dilakukan oleh Uleebalang terhadap rakyat Aceh, banyak Uleebalang yang menjadi
tuan-tuan tanah (landlords) yang kaya raya. Suatu aspek buruk dari
kekayaan melimpah yang dinikmati oleh Uleebalang, dikalangan mereka timbul
perbuatan-perbuatan yang tidak pantas menurut budaya masyarakat Aceh, seperti
berjudi.
Melihat
penindasan dan kebejatan yang dilakukan oleh Uleebalang, maka Ulama pun bangkit
untuk mengatasinya. Gerakan dakwah pun dimulai. Paul van‘t Peer dalam bukunya De
Atjeh Oorlog mengatakan sebagai berikut: ”…tidaklah mengherankan sama
sekali bahwa golongan Ulama menjadi semakin disukai rakyat. Mereka itu
memberantas penyalahgunaan kekuasaan para Uleebalang yang menguasai hidup,
mati, perkawinan dan pengadilan rakyat mereka”. (Paul van‘t Peer, 1977:231)
c.
Kekuasaan
Ulee balang Tumbang
Kaum
feodal Uleebalang diberi nama kaum NICA (Hasan Shaleh, 1992:36),
Henkangnya kolonial Belanda dan Jepang dari bumi Aceh pasca Kemerdekaan
Republik Indonesia, menjadikan para Uleebalang semakin khawatir. Sebagaimana
yang dituliskan oleh Antony Reid, Uleebalang tidak lagi memiliki pengaruh yang
besar dikalangan rakyat Aceh. Kepercayaan masyarakat terhadap kalangan feodal
Uleebalang kian merosot tajam. Ditambah lagi, Ulama yang mulai berperan dalam
mengatasi berbagai permasalahan sosial, yang cara penanganannya lebih disukai
oleh rakyat Aceh dibandingkan dengan cara yang dilakukan oleh Uleebalang. ”Ulama
menjadi tempat bertanya penduduk kampung untuk mendapatkan tuntunan dan
petunjuk selama periode baru yang luar biasa ini (Kemerdekaan RI).
Akibat
langsung dari peristiwa ini adalah penyegaran dan pendemokrasian masyarakat
Aceh, segala sesuatu yang pernah menjadi duri bagi rakyat Aceh semasa
pemerintahan Uleebalang di kampung-kampung, dihapuskan. Pertanian, perkebunan
dan peternakan diusahakan sendiri oleh rakyat. (Antony Reid, 1987:346-347).
Uleebalang yang merasa tersingkir, mulai menebarkan teror di masyarakat. Ini
terjadi pasca rapat pada tanggal 22 Oktober 1945, yang diadakan di rumah
Uleebalang Keumangan (Beureunuen) yang terkenal paling bejat di wilayah Pidie,
yaitu Teuku Keumangan Umar.
Ada
dua hasil keputusan dari rapat tersebut. Antara lain:
1. Membentuk
suatu organisasi yang tugasnya mempertahankan kedudukan Uleebalang, yang
dinamakan Markas Besar Uleebalang; dan
2. Membentuk
suatu barisan yang dilengkapi persenjataan mutakhir, yang dinamakan Barisan
Penjaga Keamanan (BPK).
Barisan
BPK dibentuk dari bekas anggota militer KNIL Belanda dan dilatih untuk
mempergunakan senjata oleh Jepang. BPK dipimpin oleh Teuku Mahmud, yang dibagi
menjadi tiga kesatuan, yaitu Barisan Cap Bintang, Barisan Cap Saoh, dan Barisan
Cap Tombak (Depdikbud, 1983:90).
Dalam
bukunya, The Blood of The People, Antony Reid menyebutkan bahwa, ”adapun
kekuatan dari BPK ini adalah 100 pucuk senjata konvensional, termasuk meriam
dan mortir. Kesempurnaan persenjataan BPK ini adalah sebagai akibat dari
mengalirnya bantuan keuangan dari pihak lain, sebagian besar adalah dari
Uleebalang di seluruh Aceh, disamping sebagian senjata yang diperoleh dari
pihak Jepang (Antony Reid, 1989:196).
Organisasi
teror bentukan Uleebalang ini, mulai beraksi pada 25 Oktober 1945. Pada tanggal
10 Desember 1945, para Uleebalang mengadakan rapat di Lueng Putu (Pidie Jaya),
di rumah Teuku Laksamana Umar, Uleebalang Njong. Hasil rapat di tempat
kediaman Teuku Laksamana Umar, memutuskan bahwa tonggak kepemimpinan akan
diberikan kepada Zelfbestuurder van Cumbok, Teuku Muhammad Daud Cumbok
atau dikenal sebagai Daud Cumbok. Di Aceh, orang juga menyebutnya sebagai
Uleebalang Cumbok. Ia memakai gelar, Teuku Seri Muda Pahlawan Bintara Cumbok.
Dipilihnya Teuku Daud Cumbok untuk menjalankan keputusan Uleebalang di Lueng
Putu itu, memang sudah sangat tepat. Sebab, dia adalah seorang Uleebalang yang
berwatak keras (M. Nur El Ibrahimy, 2001:121).
Perang
dan teror Uleebalang terhadap rakyat Aceh makin tak terkendali. Banyak penduduk
yang dibantai secara sadis dan membabi buta, penculikan gadis-gadis untuk
dijadikan hiburan bagi pasukan BPK semakin merajalela, pembakaran terhadap
rumah penduduk, tidak ketinggalan sekolah hingga madrasah pun ikut dilenyapkan,
perampasan harta benda milik masyarakat sipil, serta pencurian hewan ternak untuk
bahan konsumsi pasukan BPK Uleebalang. Semua penderitaan rakyat Aceh tersebut,
baru berakhir setelah penangkapan Teuku Daud Cumbok beserta stafnya, pada
tanggal 16 Januari 1946 di kaki gunung Seulawah Agam.
Saat
itu, Teuku Daud Cumbok hendak melarikan diri ke Sabang yang masih diduduki oleh
kolonial Belanda (M. Nur El Ibrahimy, 2001:131).
Dengan
adanya Revolusi Sosial di Aceh, berarti berakhirnya sistem pemerintahan feodal
yang telah lama menindas rakyat, yang menjadi tulang punggung Pemerintahan kolonial
Belanda di tanah Aceh. Kini, setelah sistem feodal berakhir, didirikanlah
sistem demokrasi yang dilakukan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,
yang sekarang dinikmati oleh seluruh masyarakat Aceh, dari berbagai golongan
dan lapisan (M. Nur El Ibrahimy, 2001:132).
B.
Perang
Cumbok
Perang
Cumbok dalam catatan Sejarah Aceh adalah perang yg terjadi pada tahun 1946
hingga 1947 dan berpusat di Pidie, timbul karena adanya kesalahan peran dan
tafsir dari kaum ulama dan Uleebalang (kaum bangsawan) terhadap proklamasi
Indonesia, 17 Agustus 1945.
Bagi
kaum ulama, proklamasi ini berarti telah berakhirnya kezaliman yg sudah lama
dialami bangsa Indonesia, khususnya Aceh dari penjajahan Belanda dan Jepang.
Sementara, sebagian pihak lain dari kaum bangsawan melihat larinya Jepang harus
diganti dengan Belanda sebagai upaya buat memulihkan kekuasaan tradisional
mereka yg sebagian besar telah diminimalkan Jepang dan besar ketika Belanda
berkuasa.
Namun
yg perlu diperhatikan dari peristiwa ini adalah lekatnya pengaruh intelijen
Belanda dalam memporak-porandakan bangsa Aceh. Ulama dan Uleebalang merupakan
satu kekuatan politik di Aceh, mereka sama-sama bergerak dalam memperjuangkan
Aceh dari penjajahan. Belanda berniat menghancurkan Aceh dengan mengacaukan
pola pikir kedua pimpinan politik ini.
Perang
Cumbok tragedi perang saudara dalam catatan sejarah Aceh ini di mulai ketika
Ulama Aceh dipimpin Teungku Daud Beureueh dengan Persatuan Ulama Seluruh Aceh
(PUSA), melihat proklamasi sebagai yang harus dimaknai secara nyata di Aceh.
PUSA didirikan atas musyawarah ulama buat mempersatukan pola pikir para ulama,
dalam perkembangannya PUSA menjadi motor yg menggerakkan berbagai konflik dalam
sejarah Aceh, termasuk dalam peristiwa Perang Cumbok. Sebagian warga Aceh pro
Ulee Balang memplesetkan PUSA sebagai pembunuh Uleebalang Seluruh Aceh. Tidak
semua Uleebalang ingin Belanda kembali dan berkuasa.
Proklamasi
hanya menjadi momentum puncak untuk terjadinya konflik antara ulama dan
Uleebalang di wilayah Pidie. Akhirnya, Uleebalang dipimpin Teuku Keumangan
dengan Panglimanya T. Daud Cumbok dan perlawanan rakyat dipimpin Daud Beureueh
dengan panglimanya Husin AL-Mujahid. Dalam perlawanan, pasukan Cumbok bahkan
telah menguasai kota Sigli, Pidie. Namun penguasaan itu tidak berlangsung lama karena
adanya mobilitas perlawanan rakyat yg dilakukan ulama mengakibatkan pasukan
Cumbok terpaksa kembali ke markas di Lamlo atau kota Bakti. Sesampai di Lamlo,
pasukan Cumbok digempur pasukan rakyat dan pemberontakan ini akhirnya dapat
ditumpas pada Januari 1946. Teuku Daud Cumbok ditangkap dan dihukum mati,
sementara harta peninggalan para Uleebalang dikuasai kaum Ulama
Perlu
untuk diketahui bahwa tidak seluruh kaum Ulee Balang bersikap sama dengan kaum
Ulee Balang yg di Pidie ini, banyak kaum-kaum Ulee Balang lainnya di Aceh
berasal dari kaum ulama dan intelektual di Aceh. Meskipun mereka bekerja dengan
Belanda, namun hati dan jiwa mereka tetap untuk rakyat Aceh di mana mereka
bertugas.
C.
Konflik
Ulama dan Ulee Balang
Sebagaimana
yang terdapat dalam teks-teks sejarah, bahwasanya pada masa Belanda berkuasa di
Aceh pada tahun (1903-1942 M ) terdapat konflik antara Ulama dan Uleebalang.
Dalam
birokrasi tradisional di Aceh, ada tiga jabatan tinggi dalam pemerintahan yang
paling berperan. Pertama Sultan, yaitu Raja dalam kerajaan, yang kedua
Uleebalang sebagai kepala negeri (negri bagian seperti di negeri Pedir, Pasai
dan Mereuhom daya), namun tetap berpayung dan tunduk dibawah kekuasaan tinggi
kerajaan Aceh Darussalam. Yang ketiga ulama, yaitu kadhi malikul adil (yang
mengurus hukum Islam) dan penasehat bagi sultan maupun uleebalang dalam setiap
pengambilan keputusan, dan kebijakan. baik itu mengenai kebijakan social
kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan sebagainya.
Mengenai
Panglima Sagoee, Mukim, dan Geuchik, mereka hanya aparatur pemerintah yang
berada dibawah uleebalang yang mengatur wilayah-wilayah kecil seperti halnya
camat dan kepala desa sekarang. Ulama merupakan penasehat bagi pemimpin, Tampa
adanya restu dari ulama para pemimpin tidak bisa menjalankan sebuah kebijakan,
apalagi mengenai urusan agama, baik syariat, hukum memutuskan perkara
(pengadilan) dan sebagainya yang berhubungan dengan agama. Peran ulama dan
pemimpin dalam kerajaan tidak bisa di pisahkan. Apalagi kerajaan aceh merupakan
kerajaan Islam kelima yang pernah tercatat dalam sejarah kerajaan Islam
terbesar di dunia, jadi disini jelaslah tergambarkan bahwa ulama memiliki peran
yang tinggi ataupun setingkat dengan pemimpin-pemimpin dalam menjalankan
roda-roda pemerintahan. Sehingga lahirlah sebuah pepatah yang biasa kita dengar
dalam hadist maja “ Hukom ngen adat hanjeut cree lage zat ngoen sifeut”.
Dalam
masyarakat Aceh ulama merupakan orang yang disegani karena ilmu yang
dimilikinya sehingga menjadi contoh teladan yang memberi pendapat buat masyarakat
untuk menanyakan berbagai permasalahan mengenai agama, yang mengambil keputusan
dikala masyarakat melakukan perkara (hakim) dan urusan yang menyangkut
kehidupan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Di dalam kerajaan aceh yaitu
pada masa Ali mungqayatsyah ulama yang menjadi mufti yaitu Hamzah fansuri, masa
Sultan Iskandar muda ulama yang menjadi mufti Syamsuddin as-sumantrani, Sultan
Iskandar Tsani ulama yang menjadi mufti Nurdin Ar-Raniry dan Ratu Safiatuddin
ulama yang menjadi mufti Syekh abdu rauf As-Singkili.
Semua
mereka adalah ulama yang mempunyai tugas sebagai penasehat atau yang memberi
bimbingan kepada raja dikala raja mengambil sebuah keputusan. Keputusan
tersebut berlaku dalam segala bidang, baik dalam pemerintahan, pogram - pogram
dan adat -istiadat. Disamping itu hubungan ulama di dalam masyarakat sangat
dekat emosionalnya dari pada umara. Kedekatan tersebut di pengaruhi oleh
ilmunya yang tinggi dan ulama juga lebih mengerti tentang keadaan masyarakat.
Sementara
kalau ditingkat desa, ulama berperan sebagai penasehat bagi pemimpin desa
(gheuchik), yang memberi pendidikan/ guru agama buat masyarakat, yang mengatur
pembagian zakat, menikah, mendamaikan orang yang bertengkar juga sebagai orang
yang memandikan mayyit dikala ada salah seorang dari warga masyarakat yang
meninggal. Jadi kalau kita melihat dari peran ulama di atas, ulama sangat besar
kewajibanya di bandingkan umara dalam hubungan sosial kemasrakatan. Dalam
mewujudkan sebuah pembangunan atau urusan kesejahtraan masyarakat antara ulama
dan pemimpin saling bekerja sama, hal ini dapat kita lihat pada ulama-ulama
dalam abad ke 19. Dalam bidang pertanian yaitu Teungku Chik di pasi, Teungku di
Bambi, Teungku Chik di Ribee dan Teungku di Trueng Campli, mereka ini telah
membangun irigasi dan lueng (saluran),
sehingga areal persawahan di Pidie mendapat pengairan.
Mengenai
Uleebalang, uleebalang merupakan raja di Negara-negara bagian. Seperti di
kerajaan Daya, kerajaan Samudra Pasai, dan Pedir. Sebelum masuknya Belanda ke
Aceh, sistem berokrasi pemerintahan memeliki corak sistem Negara bagian/
Otonom. Dimana Aceh terdiri dari Negara-negara kecil, seperti yang tersebut
di atas, namun tetap tunduk dan berada
di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di banda Aceh.
Uleebalang adalah wakil Sultan di Negerinya. Namun dalam posisi sebagai kepala
Negeri, yang diterima secara turun temurun menurut adat ia merupakan raja di
Negerinya. Dalam bidang tetentu ia mempunyai hak otonom yang seluas luasnya
yang diserahkan kepadanya oleh sultan. Akan tetapi semenjak terjadinya hubungan
dengan para pedagang eropa melalui perdagangan, para pedagang ini tidak saja
berhubungan dengan sultan, melainkan juga ada yang berniaga langsung dengan
raja-raja kecil di pantai utara dan barat. Kadang kala hubungan dagang itu
terjadi antara saudagar Aceh dengan pedagang dari Barat.
Dalam
hal demikian para uleebalang berfungsi sebagai pemungut cukai. Memang secara de
jure, uleebalang diangkat dengan surat pengangkatan ( Sarakata) dari sultan
yang di bubuhi cap sikureung. Sarakata
ini dinilai tinggi bagi kedudukan dan dianggap sebagai sumber pelindungan dari
uleebalang terhadap rakyatnya. Secara fungsi, dalam buku Perang Dijalan Allah,
uleebalang bertugas menjalankan pemerintahan, politik dan juga pemilik modal
dengan sebutan Peutua Pangkai yang meminjamkan uang kepada para petani melalui
perantara yang disebut Peutua Seuneubok para uleebalang juga berdagang dengan
luar negeri.
Berdasarkan
sarakata mereka bebas dalam import dan eksport barang-barang dari pelabuhanya. Namun
lambat laun mereka menyalah gunakan sarakata yang diberikan sultan kepadanya.
Uleebalang juga memaksa masyarakat untuk menjualkan lada-lada tersebut ke pihak
nya dengan harga murah dan mereka menjualnya ke penang dengan harga lebih
mahal. Secara tidak langsung ini merupakan monopoli dagang terhadap masyarakat.
Mereka membuat masyarakat sangat menderita demi tercapainya kepentingan mereka.
Disamping
itu mereka juga menjadi tangan kanan belanda dalam menumpaskan gerilyawan -
gerilyawan di aceh. Bahkan mereka memamaksa uleebalang - uleebalang yang masih
memperjuangkan kemerdekaan untuk menyerah dan bergabung bersama belanda,
seperti yang dilakukan Habib Abdurrahma. Bahkan dia juga mendapat tunjangan
dari pemerintah hindia belanda senilai 12000 ringgit setahun. Bahkan dia juga
yang mempengaruhi uleebalang lainya untuk membuka perdamaian dengan belanda
dengan bayaran 60-70 ribu dolar dari pemerintah belanda. Kaum uleebalang hanya
duduk manis dan mendapatkan gaji setiap tahun tampa bekerja, sementara urusan dalam
wilayah di serahkan sepenuhnya kepada belanda. sejalan dengan perkembangan
waktu, gaji yang di berikan belanda kepada uleebalang rupanya tidak dapat
memenuhi lagi taraf kebetuhan hidup, karena gaya hidup uleebalang ketika itu
harus mewah, fasilitas yang lengkap (rumah besar, punya kendaraan dan
sebagainya). Sasaran akhir untuk menutupi kebutuhan hidupnya para ulee balang
memaksa masyararat untuk menyerahkan hasil pertanian kepada uleebalang,
uleebalang juga berkuasa penuh atas sewa tanah masyarakat dan memaksa
masyarakat untuk kerja paksa kepada pihak uleebalang.
Hamka
yang datang ke Aceh pada tahun 1930 mengatakan, bukan lagi Belanda yang memaksa
masyarakat untuk kerja paksa akan tetapi malah ulee balang sendiri yang tega
melakukanya. Melihat realita yang terjadi maka membuat ulama untuk mengambil
tindakan yang tegas. Maka terjadilah pertentangan antara ulama dan uleebalang,
Dan hal inilah diantaranya yang menjadi konflik antara ulama dengan pihak
uleebalang. Namun dari itu, hal ini di perparah lagi dengan menyerahnya sultan
terakhir Aceh yaitu sultam Muhammad mahmudsyah dan masuknya penjajahan Belanda
pada tahun 1903, dimana Belanda memamfaatkan situasi ini supaya mendapat
dukungan politik dari pihak uleebalang.
Taktik
yang dilakukan belanda diantaranya, yang pertama, devide et imfera yang
sering kita dengar dengan politik belah bambu. Di satu pihak Belanda memberi
kebebasan bagi kaum uleebalang untuk mengatur segala macam urusan dalam
negerinya, dan dipihak lain belanda menekannya ( kalangan ulama). Disamping itu
uleebalang juga di beri jabatan yang tinggi dan kekuasaan yang penuh untuk
mengatur sosial kemasyarakatan, di bidang ekonomi, poltik dan Agama.
Maka
lambat laun posisi ulama dalam urusan sosial kemasyarakatan semakin
tersingkirkan dan uleebalang memegang kekuasaan penuh dalam mengatur negerinya
dengan mengenyampingkan kalangan ulama. Nah disini hilanglah peran ulama
sebagaimana terdapat dalam kerajaan Aceh dulu yang peranya sama dengan
uleebalang. Memang pada permualaan penjajah Belanda masuk ke aceh, antara
uleebalang dan ulama bersama-sama dalam rangka untuk mengusir penjajah
tersebut. Namun karena tergiur oleh jabatan dan tawaran politik yang diberikan
oleh Belanda kepada kalangan uleebalang, menyebabkan uleebalang untuk mendukung
dan bergabung dengan pihak belanda yang akhirnya menyebabkan terjadinya
perpecahan antara dua kubu itu sendiri “karu keu droe-droe”. Namun yang harus
kita garis bawahi juga bukan berati semua uleebalang melakukan hal yang sama,
karena ada juga sebagian uleebalang seperti Teuku chik meulaboh dan anaknya
Teuku keudjruen muda yang tatap menentang pihak Belanda, bahkan mereka
menentang belanda untuk menginjakkan kaki dan menaikkan benderanya di daerah
Meulaboh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Æ Identik
dengan gelar Teuku (bagi lelaki) dan Cut (bagi perempuan), Uleebalang adalah
raja kecil yang memimpin suatu daerah sebagai kepanjangan tangan Sultan Aceh.
Mereka diangkat menjadi pemimpin melalui persetujuan Sultan Aceh, Ulama (Mufti)
Kerajaan serta Ulama lokal tempat seorang Uleebalang akan memimpin, dengan
penguatan sebuah surat Sarakata yang telah dibubuhi Cap Sikureueng.
Æ Sebagai
penguasa daerah atau raja kecil, Ulee balang tidak hanya berperan sebagai
penguasa dalam hal administrasi Eksekutif semata, tetapi juga menguasai hampir semua
lini kehidupan rakyat Aceh,
Æ Perang
Cumbok dalam catatan Sejarah Aceh adalah perang yg terjadi pada tahun 1946
hingga 1947 dan berpusat di Pidie, timbul karena adanya kesalahan peran dan
tafsir dari kaum ulama dan Uleebalang (kaum bangsawan) terhadap proklamasi
Indonesia, 17 Agustus 1945.
Æ Perlu
untuk diketahui bahwa tidak seluruh kaum Ulee Balang bersikap sama dengan kaum
Ulee Balang yg di Pidie ini, banyak kaum-kaum Ulee Balang lainnya di Aceh
berasal dari kaum ulama dan intelektual di Aceh.
Æ seperti
Teuku chik meulaboh dan anaknya Teuku keudjruen muda yang tatap menentang pihak
Belanda, bahkan mereka menentang belanda untuk menginjakkan kaki dan menaikkan
benderanya di daerah Meulaboh.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.kompasiana.com/ruslan./siapakah-uleebalang_552c324c6ea83444128b4580
http://atjehliterature.com/2013/05/perang-cumbok-tragedi-perang-saudara-dalam-catatan-sejarah-aceh.html
http://atjehliterature.co.id/2014/09/sejarah-aceh-jangan-salahkan-ulee-balang-dalam-perang-cumbok.html
http://naganinitiative.co.id/2011/03/konflik-ulama-dan-uleebalang-pada-masa.html
http://dayahguci.blogspot.co.id/2015/11/sejarah-perang-cumbok-di-aceh-pidie.html
Www.Google.com
hahaha,
ReplyDeletebagus... kesimpulannya juga menarikk
ReplyDeleteHOBI JUDI BOLA, SABUNG AYAM, TOGEL, KASINO, GREENDRAGON DAN TEMBAK IKAN !!!
ReplyDeletePROMO BONUS CASHBACK TERBESAR 10% DAN REFERAL 10%. Penasaran?? AYO JOIN SEKARANG!!!!
Yuk Gabung Bersama Kami Sekarang Dengan Berbagai Macam Bonus Menarik Seperti:
-Bonus 10% untuk Member Baru
-Bonus Referal 10%
-Bonus CashBack Hingga 10%
Dengan Pelayanan Terbaik, Costumer Servis Yang Ramah Dan Profesional, Dan Siap Melayani Anda 24 Jam NonStop Setiap Hari.
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
WA : +6281377055002