SEJARAH TEUKU UMAR (makalah)
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teuku Umar
Aceh
merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap
perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini,
banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk
rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan
tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia
pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat). Ia merupakan putra dari
Ahmad Mahmud dan ibunya adalah adik dari raja Meulaboh. Ia merupakan salah
seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak
tahun 1873 hingga tahun 1899.
Nenek
moyang Umar berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Nachudum Sakti.
Salah seorang keturunan Datuk Nachudum Sakti pernah berjasa terhadap Sultan
Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin
merebut kekuasaannya. Berkat jasa Panglima keturunan Minangkabau ini Sultan
Aceh terhindar dari bahaya. Berkat jasanya tersebut, orang itu kemudian
diangkat menjadi Uleebalang 6 Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh, yang
kemudian mempunyai dua orang putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud.
Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai Uleebalang 6 Mukim. Ia mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien.
Ahmad Mahmud kawin dengan adik perempuan raja Meulaboh. Dalam perkawinan itu ia
memperoleh dua orang anak perempuan dan empat anak laki-laki. Dari keempat anak
laki-lakinya, salah satu bernama Teuku Umar. Jadi Umar dan Cut Nyak Dhien
merupakan saudara sepupu dan dalam tubuh mereka mengalir darah Minangkabau,
darah seorang Datuk yang merantau ke Aceh dan memasyhurkan namanya.
Ketika
masih kecil, Umar merupakan anak yang sangat nakal, tetapi juga sangat cerdas.
Sebagai anak nakal, ia suka berkelahi dengan teman-teman sepermainannya. Dalam
perkelahian, ia juga sering dikeroyok, tetapi ia tidak takut. Berkat keberanian
dan keunggulan di antara teman-temannya, Umar pernah diangkat sebagai Kepala
Kelompok anak-anak di kampungnya. Dengan adanya penghargaan itu, maka Umar semakin
disegani dan ditakuti oleh kawan dan lawannya bermain. Ia juga memiliki sifat
yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar
tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi
seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani. Setelah berumur 10 tahun, ia
memisahkan diri dari kehidupan orang tuanya, mengembara di rimba Aceh dan
bertualang dari daerah satu ke daerah lain sambil mencari pengalaman hidup dan
berguru. Setelah menginjak masa remaja, sifat Umar mulai berubah. la pandai dan
gemar bergaul dengan rakyat tanpa membedakan kedudukan orang itu dalam
masyarakat.
Jiwa
kerakyatan telah timbul dan ia mempunyai cita-cita dan rasa kemerdekaan yang
meresap sampai ke tulang sumsumnya. Ketika Perang Aceh meletus pada tahun 1873,
Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal
Teuku Umar baru berumur 19 tahun. la belum ikut pada perang ini, karena umurnya
masih sangat muda dan jiwanya belum mantap, kendatipun waktu itu la sudah
diangkat menjadi Keuchik (kepala desa)
di daerah Daya Meulaboh.
Pernikahan
Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika berumur 20 tahun, Umar menikah dengan
Nyak Sopiah, anak Uleebalang Glumpang. la semakin dihormati dan disegani karena
mempunyai sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menyelesaikan setiap
persoalan hidup. Untuk lebih menaikkan derajatnya, Umar menikah lagi dengan Cut
Nyak Malighai seorang putri dari Panglima Sagi XXV Mukim Sejak saat itu Umar
memakai gelar Teuku dan bercita-cita untuk membebaskan daerahnya dari kekuasaan
Belanda. Dari pernikahan ini, Teuku Umar dikaruniai dua orang anak yaitu Teuku
Raja Sulaiman dan Cut Mariyam.
Teuku
Raja Sulaiman punya keturunan juga diberi nama Teuku Umar yang merupakan orang
tua Teuku Usman Basyah yang sekarang menjabat Asisten I Setdakab Aceh Barat.
Cut Mariyam bersuamikan Teuku Ali Baet. Namun, sumber Belanda yang ditulis
dalam buku Helden Seire, Ded VIII yang berjudul Teukoe Oema yang diterbitkan
oleh Populaire Witgave Van Heet Atjechsch Leger Meseum 1940 menyatakan bahwa
dengan Cut Meuligoe ini, Umar memiliki
tidak hanya dua anak tetapi lebih yaitu Teuku Sapeh, Teuku Raja Sulaiman, Cut
Mariyam, Cut Sjak, Cut Teungoh dan Teuku Bidin.
Pada
tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya.
Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi
telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle
Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar.
Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos
Belanda di Krueng. Hasil Pernikahannya dengan Cut Nyak Dien, Teuku Umar
memiliki anak perempuan yang bernama Tjut Gambang. Tjut Gambang menjadi istri
Teungku Majet di Tiro dan anak laki-laki, Teuku Raja Batak yang meninggal di
Beutong, Pante Ceureumen dalam pertempuran yang sudah dipimpin Cut Nyak Dhien,
namun ada sumber lainnya yang mengatakan bahwa Teuku Raja Batak ini adalah
kemenakan dari Cut Nyak Dien. Menurut sejarah, Cut Nyak Dien merupakan istri
yang paling mempengaruhi kehidupan Teuku Umar. Pengaruh isterinya, Cut Nya’ Din
yang tebal imannya tentulah besar sekali atas dirinya. Wanita itulah yang
menggosoknya supaya “berkhianat” pada tahun 1896 ketika dia masih bergelar
Johan Pahlawan, bekerja pada Belanda.
B. Pendidikan dan Guru Teuku Umar
Teuku
Umar tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah (formal) seperti
pemimpin-pemimpin lainnya. Di masa kecilnya, ia tak pernah mendapat pendidikan
yang teratur. Oleh karena itu, sejak kecil ia sudah terbiasa hidup bebas.
Layaknya seorang anak laki-laki pada umumnya, Umar suka berkelahi dan memiliki
kemauan yang sukar ditundukkan. Sejak usianya masih muda belia, yaitu pada umur
10 tahun ia sudah hidup berkelana. Tetapi dia dapat menjadi seorang pemimpin
yang cakap, disiplin dan mempunyai kemauan yang keras. Pengetahuannya diperoleh
dari pengalaman hidup yang diperoleh dari pengembaraannya dari daerah satu ke
daerah lain dan berguru pada orang-orang yang dianggapnya cakap. Di samping
memiliki bakat memimpin, dan mempunyai otak yang cerdas, pengetahuan yang
dimiliki ia peroleh dari petualangannya.
Untuk
mencapai cita-cita membebaskan Aceh dari cengkraman bangsa asing (Belanda),
Aceh harus mempunyai tentara yang kuat dan terlatih. Berkat ketekunan dan
kewibawaan serta kecakapannya, akhirnya Umar berhasil membentuk pasukan.
Orang-orang yang berani dan tangkas oleh Umar dilatih dan direkrut menjadi
pasukan yang siap tempur. Meletusnya perang Aceh dengan Belanda pada tahun 1873
membuat hatinya terpanggil untuk ikut membantu perjuangan pejuang-pejuang Aceh
lainnya. Padahal usianya kala itu baru genap 19 tahun. Dalam berjuang, ia
mempunyai cara sendiri yang terkadang tak dapat dipahami oleh pejuang-pejuang
lain.
C. Perjuangan Teuku Umar
Awalnya,
perjuangan dilakukan dengan mempertahankan kampung halamannya sendiri dari
Belanda. Namun dalam perkembangannya, meluas hingga daerah Meulaboh. Karena
keberaniannya itu, ia kemudian diangkat menjadi kepala kampung. Ia juga
didukung oleh teman-teman seperjuangan yang tak kalah beraninya.
Perjuangan
mereka memerangi Belanda (kafir) adalah kelanjutan dari satu rangkaian perang
Aceh yang dimulai dari April 1873 ketika Belanda melakukan agresi pertama ke
Aceh, namun dapat dipukul mundur oleh rakyat Aceh. Selanjutnya Belanda terus
melakukan agresi, sampai berhasil menguasai istana Aceh (31 Januari 1874).
Sejak Aceh diduduki Belanda ini lah, semangat perang sabil (jihad fi
sabilillah) dikumandangkan oleh ulama Aceh di mesanah-mesanah (pesantren) dan
masjid-masjid. Adalah Teungku Chik Pante Kulo tokoh pertama yang menuliskan
HIKAYAT PERANG SABIL atas permintaan Tengku Chik di Tiro (Panglima Perang
Sabil) untuk menyemangati rakyat dalam perang melawan kafir Belanda.
Gagasan
menciptakan hikayat yang dapat menaikkan semangat perlawanan rakyat ini mungkin
sekali berpedoman pada kegiatan perang di zaman Rasulullah. Para penyair lisan
menciptakan sajak-sajak heroic untuk maksud tersebut. Rasulullah memandang
sajak-sajak itu lebih berbahaya daripada pedang atau panah bagi kaum kafir.
Kini (pada masa itu) Tengku Chik di Tiro memanfaatkan genre hikayat untuk
maksud yang sama, ialah untuk menggerakkan semangat perlawanan rakyat. Pada
saat Van Swieten memproklamirkan kemenangan karena dengan menduduki Keranton
dan menguasai sebagian kecil Aceh Besar, dikiranya seluruh wilayah Aceh akan
menyerah. Ternyata perlawanan rakyat makin meningkat, ulama yang kebanyakan
pemimpin dayah (pesantren) ikut berpartisipasi bersama santri-santri mereka.
Kesumat
permusuhan itu dipertegas lagi oleh surat pernyataan Tuanku Hasyim Bangta Muda,
Mangkubumi Kerajaan Aceh, bersama para pemimpin Sagi di Aceh Besar. Surat
tersebut ditulis pada 18 April 1874 ditujukan kepada Teuku Imam Chik Lotan,
raja Geudong, Pasai. Inti terpenting dari pernyataan tersebut ialah tekad dan
semangat untuk melawan serta bertahan, walau negeri Aceh tinggal sebesar
‘nyiru’ (alat penampi beras) saja lagi. Disini terungkap pula keterlibatan
seuruh ulama dan dayah yang mereka pimpin beserta santri-santrinya. Perang
mempertahankan agama islam, syari’at Muhammad menjadi fardhu ‘ain bagi setiap
umat Islam karena negeri dikuasai kafir. Tekad untuk bertahan dibuktikan dalam
perang yang berkelanjutan sampai menjelang datangnya pasukan pendudukan Jepang
ke Indonesia. Semangat inilah yang juga membuat seorang Teuku Umar berani
berperang melawan Belanda dan mengusir penjajahan Belanda yang dia mulai
berawal dari kampong halamannya.
Pada
tahun 1878, Belanda berhasil menguasai Kampung Darat yang pada waktu itu
dijadikan Teuku Umar beserta pasukannya sebagai markas kediaman mereka. Ia pun
mundur ke daerah Aceh Besar sambil menyusun kekuatan dan melancarkan perang
gerilya. Di bulan Agustus 1883, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana
dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku
Umar berpura-pura tunduk pada Belanda dengan menyatakan sumpah setia kepada
Gubernur yang merangkap sebagai panglima Belanda di Aceh. Istrinya, Cut Nyak
Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu.
Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai
cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Dengan sumpahnya itu, dia pun diterima
dalam dinas militer Belanda dan dianugerahi gelar Teuku Johan Pahlawan. Tapi
perdamaian itu tak berlangsung lama. Perseteruan kembali terjadi setahun
kemudian pada tahun 1884.
Pada
tahun 1884, sebuah kapal dagang Inggris, Nissero, terdampar di pantai Teunom.
Raja Teunom kemudian mengambil tindakan dengan menawan semua awaknya serta
menyita isi kapal. Mengetahui hal tersebut, Pemerintah Inggris mendesak
Pemerintah Belanda agar membebaskan para awak kapal yang ditawan Raja Teunom.
Pemerintah kolonial Belanda pun mengirimkan Teuku Umar ke Teunom dengan 32
orang tentara untuk menumpas pasukan Raja Teunom dan menyita kapal Inggris.
Namun di tengah perjalanan pulang, seluruh tentara itu dibunuh dan senjatanya
dirampas. Peristiwa Nisero ini termasuk di antara yang paling menarik dalam
sejarah konflik Aceh-Belanda. Liku-likunya membuat kasus ini tidak sekedar
antara kampong Teunom dengan Belanda saja, melainkan suatu peristiwa
internasional. Ia menjadi topik hari-hari baik dalam pers maupun di parlemen
Belanda dan Inggris sejak Nisero kandas (November 1883) sampai berlayar kembali
pada 10 September tahun berikutnya.
Dalam
sejarah perjuangannya, Teuku Umar juga pernah menyerang kapal Hok Canton dan
menawan anak buah kapal tersebut. Belanda pun terpaksa bekerja sama dengan
membayar uang tebusan untuk membebaskan para tawanan. Sejak peristiwa Hok
Canton, gengsi Teuku Umar semakin naik. Dia di takuti oleh Belanda, lebih-lebih
sesudah terdengar dia sudah berada di Aceh Besar. Mungkin saja karena fakta - fakta
yang sudah terbukti itu, pihak Belanda sendiri pun turut mengakui
kesatriaannya. Seorang Mayor Belanda, L.W.A. Kessier, tanpa ragu-ragu menilai
Teuku Umar dengan menyatakan : bahwa dia seorang “intellegente en zeer
beschaafde Atjeher” (“Orang Aceh yang cerdas dan paling sopan”).
Pada
tahun 1893 Teuku Umar kembali berdamai dengan Belanda. Ia kemudian diizinkan
untuk membentuk sebuah legiun berkekuatan 250 orang yang diberi persenjataan
lengkap. Mereka bertugas untuk mengamankan daerah Aceh Besar dan sekitarnya
dari gangguan para pejuang. Dengan kekuatan tersebut, ia mulai memerangi
pejuang-pejuang Aceh yang belum menyerah kepada Belanda. Tetapi lagi-lagi perang
itu hanya perang pura-pura yang sengaja dilakukan Umar sebagai bagian dari
strateginya dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Saat bergabung dengan
Belanda, Teuu Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh.
Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan
120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya
dikabulkanoleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.
Sebelum
serangan ia lancarkan, ia terlebih dahulu memberitahu para pejuang Aceh.
Belanda yang tidak mengetahui strategi tersebut tetap berkeyakinan bahwa Teuku
Umar dapat mengamankan seluruh daerah Aceh. Karena keyakinan tersebut bantuan
senjata dan perlengkapan pun terus didatangkan untuk mendukung 'perjuangan'
Teuku Umar.
Kelak
persenjataan dan perlengkapan hasil 'pemberian' Belanda itu justru digunakannya
untuk berbalik melawan Belanda. Pada 29 Maret 1896, ia pun kembali berjuang
untuk kepentingan bangsanya dengan membawa serta 800.000 dollar, 800 pucuk
senjata, 25.000 butir peluru serta peralatan lain. Ia kembali menemui teman - teman
seperjuangannya seperti Panglima Polim, ulama di Tiro, Teuku Hasan, Teuku
Mahmud dan Teuku Cut Muhammad.
Atas
kejadian itu, Pemerintah Belanda yang baru belakangan menyadari telah ditipu
mentah-mentah oleh Teuku Umar, segera mengerahkan kekuatan yang besar di bawah
komando panglima tentara Hindia Belanda, Jenderal van Heutsz untuk menagkapnya
dalam keadaan hidup atau mati.
D. Gugurnya Teuku Umar
Pada
bulan Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh dengan tanpa
pengawalan yang ketat sebagaimana biasanya. Keadaan ini diketahui oleh Teuku
Umar dari mata-matanya yang bertugas di sana. Untuk menangkap dan mencegat
Jenderal Belanda tersebut, Teuku Umar bersama sejumlah pasukannya datang ke
Meulaboh. Tetapi malang bagi Umar karena sebelum rencananya berhasil
dilaksanakan, gerak-gerik Umar justru telah diketahui oleh Belanda Setelah
mendengar laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh,
Jenderal Van Heutsz segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat
diperbatasan kota Meulaboh untuk mencegat Teuku Umar. Pada malam menjelang
tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya telah berada di
pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika mengetahui pasukan Van
Heutsz telah mencegatnya. Posisi pasukannya sudah tidak menguntungkan dan tidak
mungkin lagi untuk mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya
adalah bertempur. Serangan secara mendadak ke daerah Meulaboh menyebabkan Teuku
Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman
Meulaboh pada tanggal 10 Februari 1899.
Dalam
pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
Seorang tangan kanannya yang sangat setia bernama Pang Laot begitu melihat
Teuku Umar rebah terkena tembakan peluru Belanda segera melarikan jenazah Teuku
Umar agar tidak jatuh ke tangan musuh. Kemudian jenazahnya dimakamkan di Mesjid
Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya ini,
Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir.
Justru dengan gugurnya suaminya tersebut Cut Nyak Dhien bertekad untuk
meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Untuk itu ia kemudian
mengambil alih pimpinan perlawanan yang tadinya dipegang oleh suaminya.
E. Aktifitas Keagamaan Teuku Umar
Menurut
yang saya pelajari tentang seorang Teuku Umar ini, beliau tidak mempunyai
aktifitas agama seperti ulama-ulama terkemuka pada umunya. Akan tetapi semangat
beliau dalam melawan Belanda merupakan semangat perjuangan Islam yang dilakukan
beserta para ulama-ulama di wilayah Aceh pada waktu itu untuk mengusir
penjajahan Belanda (kafir) dari bumi Aceh. Hal ini menurut saya adalah
aktifitas sosial yang sangat kental dengan nilai-nilai agama karena dilakukan
semata-mata untuk mempertahankan Indonesia, khusunya wilayah Aceh dari kaum
Belanda (kafir).
Semangat
Teuku Umar dalam melawan Belanda ditandai dengan perang mempertahankan
wilayahnya dari Belanda (kafir), merupakan semangat mempertahankan agama Islam
karena perang Aceh pada waktu itu tidak lain adalah semangat perang sabil
(perang fii sabilillah) dengan para ulama-ulama Aceh lainnya pada masa itu.
F. Pemikiran dan Karyanya
Sejak
kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh
teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit
dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang
berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran
dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar
tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik
dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial
Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar
memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk
mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran
kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme
yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam
menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam
itu.
Karya
Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai
contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok
Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar.
Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda
dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat
dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku
Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya
terhadap Belanda.
G. Peninggalan dari Teuku Umar
Atas
pengabdian dan perjuangan serta semangat juang rela berkorban melawan penjajah
Belanda dan berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973,
Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Selain itu, nama Teuku Umar
juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah
satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Tidak hanya
itu, namanya pun juga diabadikan sebagai
nama sebuah Universitas yaitu Universitas Teuku Umar serta diabadikan sebagai
nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat. Ada pula salah satu kapal perang
TNI AL yang dinamakan KRI Teuku Umar.
Semangat
melawan Belanda yang ditunjukkan oleh Teuku Umar pada masa itu merupakan salah
saatu peninggalan sejarah yang perlu kita teladani. Peran ulama dan sikap
fanatic pada agama, ikatan spiritual guru-santri, dan kehancuran kehidupan
karena perang yang berkepanjangan dan tidak jelas pihak yang akan keluar
sebagai pemenang, menyebabkan orang nekad memilih jalan jalan syahid bagi
penyelesaian penderitaan di dunia dan memilih imbalan surge di alam sana, dan
hal ituah yang juga dilakukan oleh seorang Teuku Umar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Æ Teuku
Umar merupakan salah seorang pahlawan nasional yang berasal dari Aceh, tepatnya
daerah Meulaboh. Ia merupakan putra dari Achmad Mahmud, beliau ini merupakan
keturunan dari Datuk Nachudum Sakti dari Minangkabau. Sejak kecil Teuku Umar
memiliki kepribadian yang sangat kuat, berani dan nakal. Akan tetapi beliau
merupakan bocah yang cerdas. Saat kecil ia sering berkelahi dan bertengkar
dengan teman-teman sebayanya. Dia tidak pernah takut dengan siapapun, meskipun
dia sering dikeroyok oleh kelompok-kelompok lain. Keberanian dan kekuatan yang
dimilikinya saat itu membuatnya diangkat sebagai kepala kelompok anak-anak
dikampungnya.
Æ Saat
masih kecil Teuku Umar tidak pernah mengenyam pendidikan formal seperti para
pemimpin-pemimpin lainnya. Dia sering berkelana atau merantau keluar dari
kampung halamnnya untuk berguru kepada siapapun yang dia anggap cakap. Di
samping memiliki bakat memimpin, dan mempunyai otak yang cerdas, pengetahuan
yang dimiliki ia peroleh dari petualangannya tersebut.
B. Saran
Æ Tokoh-tokoh
di Indonesia sebenarnya banyak yang harus kita pelajari sejarah dan
perjuangnnya untuk bangsa ini. Salah satu tokoh yang patut untuk dipelajari dan
bisa kita jadikan teladan adalah Teuku Umar ini. Beliau merupakan salah seorang
pahlawan nasional di daerah Aceh. Untuk itu kita sebagai anak-anak bangsa calon
penerus harus banyak mempelajari kisah-kisah hidup dan perjalanan para
tokoh-tokoh terdahulu untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme kita. Karena dengan
mempelajari itu nantinya kita akan mengetahui apa saja sih yang telah diberikan
para tokoh-tokoh terdahulu untuk Negara Indonesia dan akhirnya kita bisa
mencontoh perjuangan beliau-beliau itu.
Æ Dalam
buku Aceh Sepanjang Abad karya H. Mohammad Said banyak diceritakan peristiwa
mengenai perang di Aceh. Salah satu tokoh yang terlibat dalam perjalanan perang
Aceh adalah Teuku Umar. Maka dari itu kita sebagai pelajar juga harus
mempelajari sejarah para tokoh yang berpengaruh di Indonesia dan salah satunya
Teuku Umar ini yang merupakan pahlawan Nasional. Semangat yang ditunjukkan oleh
Teuku Umar dan para ulama pada masa itu dalam memeranngi Belanda perlu kita
teladani dan kita warisi semangat tersebut. Bara semangat tersebut
mudah-mudahan belum padam dan dapat mengilhami rakyat Indonesia dan Aceh secara
khusus dengan dorongan spiritual kegamaan yang kuat pula.
DAFTAR
PUSTAKA
http://kabarnet.wordpress.com/2010/03/01/biografi-teuku-umar/
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/2577_pp110600018.pdf,
HIKAYAT PERANG SABI SATU BENTUK KARYA SASTRA PERLAWANAN
http://rindamiskandarmuda.mil.id/teuku-umar/
http://www.panglimaulung.com/2011/05/res1.html
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/949-panglima-perang-aceh
Said,
H. Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, jilid II. 2007. Medan: Harian WASPADA
Www.google.com
0 Response to "SEJARAH TEUKU UMAR (makalah)"
Post a Comment