-->

HADIST EKONOMI PENGGADAIAN ; Makalah

   BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan penomena ketidak percayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha pergadaian baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya gadai menggadai ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.
B.     Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian gadai ?
2.      Bagaimana Konsep Gadai itu sendiri di dalam Islam?
3.      Bagaimana Dasar Hukum Praktek Gadai yang Benar?

C.     Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1.      Memahami pengertian gadai.
2.      Mengetahui konsep gadai dalam islam.
3.      Memahami dasar hukum praktek gadai yang benar.
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Gadai
Transaksi hukum gadai dalam fiqih islam disebut Ar-Rahn. Ar-Rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.
Pengertian Ar-rahn dalam bahasa Arab adalah Ats-Tsubut Wa Ad Dawam yang berarti “tetap” dan “kekal” seperti,  dalam kalimat maun rahin yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38 sebagai berikut:
كُلُّ نَفْسِ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ
Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah di perbuatnya”.
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata Al-Habsu yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materi. karena itu, secara bahasa kata Ar-Rahn berarti “menjadikan  suatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat  utang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti di ungkapkan diatas adalah tetap, kekal dan jaminan; sedangkan pengertian secara istilah adalah menyandera sujumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun,pengertian gadai yang terungkap dalam pasal 1150 kitab undang-undang hukum perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak tersebut diserahkan kepada yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atauorang lain atas nama orang yang berpiutang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut barang jaminan, anggunan, dan rungguhan. Sedangkan hokum gadai(rahn) dalam hukum islam adalah:
جَعْلُ عَيْنَ لَهُا قِيْمَةٌ فِي نَظْرِالشًّرْعِ وَثِيْقَةٌ بِدَيْنِ بِحَيْثُ يُمْكِنُ اَخْذُ ذُلِكَ الدِّ يْنُ
 أَوْاَخْذُ بَعْضَهُ مِنْ تِلْكَ اْلعَيْنَ
Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh
atau sebagian utang dari barang tersebut”.
Selain pengertian diatas beberapa pengertian gadai(rahn) menurut ahli hokum islam sebagai berikut.
1.      Ulama Syafi’iyah mendefenisikan sebagai berikut.
حَعْلُ عَيْنَ يَجُوْزُبَيْعُهَا وَثِيْقَةُ بِدَ يْنِ يَسْتَوْفِي مِنْهَا عِنْدَ تَعَذّرُوفَانِهِ.
Menjadikan suatubarang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya”.
2.      Ulama hanabilah mengunkapkan sebagai berikut.
الْمَالُ الَّذِي يَجْعَلُ وَثِيْقَةُ بِدَ يْنِ يَسْتَوْفِي مِنّْ ثَمَنِهِ أَنْ تَعَذَّرَ إِسْتِيْفَا ئِهِ مِمَّنْ هُوَ عَلَييْهِ.
Suatu benda yang dijadikan suatu kepercayaan utang, untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang tak sanggup membayar utangnya”.
3.      Ulama malikiyah mendepenisikan sebagai berikut.
شَيْئٌ مُتَمَوَّلٌ يُؤْخَذُ مِنْ مَالِكِهِ تُوَ ثَّقَا بِهِ فِي دَيْنٍ لَا زِمٍ.
Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya yang diambil pengikat atas utang yang tetap (mengikat)”
4.      Ahmad Azhar Basyir.
Rahn adalah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diteriman”
5.      Muhammad Syafi’i Antonio.
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utan/pinjaman (marhunbih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomi. Dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapatmengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.”


B.     Dasar Hukum (Addilat Al’ahkam) Praktek Gadai
Islam dengan ajarannya yang komit dan luas membenarkan adanya praktek utang piutang yang menjadi inti praktek lembaga pegadaian. Praktek ini secara normatif dapat digali dalam surat Al Baqarah ayat:282 yang mengajarkan perjanjian hutang piutang yang perlu diperkuat dengan catatan dan melibatkan saksi-saksi. Dalam ayat 282 surat Al Baqarah ditegaskan:
يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلٰى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًاۗ فَإِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا أَوْ ضَعِيْفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ أَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَإِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَأَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدٰهُمَا الْأُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوْاۗ وَلَا تَسْأَمُوْا أَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا أَوْ كَبِيْرًا إِلٰى أَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنٰى أَلَّا تَرْتَابُوْا إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَأَشْهِدُوْا إِذَا تَبَايَعْتُمْۖ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ.ۗ وَإِنْ تَفْعَلُوْا فَإِنَّهٗ فُسُوْقٌ بِكُمْۗ وَاتَّقُوا اللَّهَۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kafasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
(QS. Al-Baqarah 282)
Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 283 secara tegas diperbolehkan meminta jaminan barang atau hutang :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌۗ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهٗ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَۗ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهٗ اٰثِمٌ قَلْبُهٗۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ ؑ
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allag, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(QS. Al-Baqarah 283)
Ayat-ayat tersebut oleh komisi Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk menetapkan fatwa yang membolehkan praktek rahn (gadai). Dalam dasar pertimbangan Dewan Fatwa dikemukakan beberapa butir, yaitu:
1.      Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang
2.      Lembaga keuangan syari’ah perlu merespons kebutuhan masyarakat dalam berbagai produknya
3.      Agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Rahn merupakan salah satu cara untuk menahan barang sebagai jaminan atas utang.
Selain ayat-ayat di atas, beberapa praktek utang piutang yang dilakukan oleh Nabi juga dijadikan sebagai dasar hukum praktek gadai (rahn). Di antara hadits Nabi yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang mengabarkan bahwa:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”.
Dalam sejumlah riwayat lain juga ditemukan landasan hukum yang menjustifikasi praktek gadai. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:
“Tidak pernah terlepas dari kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”.
Nabi juga mengatakan bahwa:
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki (dikendarai) dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”.
Selain dua landasan tersebut, praktek gadai juga didasarkan pada konsensus atau ijma’ ulama yang menetapkan hukumnya mubah (boleh) melakukan perjanjian gadai. Ijtihad para ulama ini terutama sekali menyangkut segi-segi teknis, seperti ketentuan tentang siapa yang harus menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin dan tata cara penentuan biaya dan sebagainya.
C.     Menggadaikan Barang Di Perbolehkan
1.      Anas ibn malik menerangkan:
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: رَهَنَ الَّنِيَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ دِرْعًالَهُ، عِنْدَ يَهُوْدِى بِالْمَدِيْنَةِ؛ وَأَخَذَمِنْهُ شَعِيْرًا لِأَهْلِهِ. رواه أحمدوالبخرى والنسأىى، وابن ماجه.
Rasulullah saw, menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi madinah, sebagai jaminan mengambil syair untuk keluarganya”.
(H.R. Ahmad, Al-Bukhary, An-Nasa-y dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa II:360)
2.      Aisyah r.a menerangkan:
وَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّ الَّنِيَّ صلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْ دِ يٍّ،، الى أجل وَرَهَنَهُ دِرْعًامِنْ حَدِ يْدٍ
Bahwasanya rasullah mengambil makanan dari seorang yahudi yang harganya akan dibayarkan dalam satu jangkawaktu tertentu. Sebagai jaminan nabi menggadaikan baju besi beliau”.
(H.R. Al-Bukhary, Muslim; Al-Muntaqa II:360)
3.      Aisyah r.a menerangkan:
و فى لفظ: تُوُ فًىَ وَدِرْ عُهُ مَرْ هُوْنَةٌ عِنْدَ يَهُوْ دِيٍّ، بِثَلَا ثِيْنَ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ. أخر جا هما
Bahwasanya saat wafat saat wafatnya nabi masih menggadaikan baju besinya kepada seseorang yahudi sebagai jaminan pengambilan tiga puluh gatan syair”
(H.R. Al-Bukhary, Muslim; Al-Muntaqa II:360)
1)      Adapun yang dapat disimpulkan dari ke tiga Hadis diatas:
a.         Hadist pertama menyatakan bahwa menggadaikanharta, adalah dibenarkan. Dan mengatakan bahwa kita boleh mengadakan muamalah (perjanjian) dengan orang kafir, boleh menggadaikan alat perang (baju besi) kepada orang simmi (orang kafir yang mendapat perlindungan), dan boleh membeli sesusuatu dengan menggunakan pembayaran.
b.        Hadist kedua menyatakan bahwasanya nabi pernah membeli sesuatu pada orang yahudi, dan menggadaikan baju besinya sebagai  agunan (jaminan)
c.         Hadist ketiga menyatakan bahwa nabi pernah menggadaikan barang miliknya kepada seseorang yahudi untuk mendapatkan tigah puluh gating syair. Fakta ini, menunjukkan bahwa kita boleh menggadaikan barang milikpada saat di kampung, dan boleh bermuamalah dengan orang zimmi.
2)      Jumhur Ulama Menetapkan bahwa kita boleh menggadaikan barang milik kita, tidak saja dalam safar , boleh dilakukan dalam kampung. Mujahid dan Adh-Dhahhak berpendapat, bahwa menggadaikan brang hanya dibolehkan pada saat kita berada dalam safar, disaat tak ada saksi ataupun orang yang menulis surat gadai. Demikianlah pendapat daud dan Ahludh Dhahir.
3)      Seluruh ulamah menetapkan bahwa menggadaikan barang dibolehkan, sebagaimana perbuatan hokum iniboleh dilakukan dikampung. Mengaitkan masalah gadai ini dengan perjalan safar sesuai bunyi  ayat, karena perbuatan itu lazim dilakukan dilakukan seseorang pada saat bersafar, dan tidak dapat dijadikan dalil dalam dalam melarang perbuatan itu dilakukan dikampung halaman. Hadist ini juga menegaskan bahwa kita boleh bermuamalah dengan orang kafir terhadapbenda-benda yang tidaak di haramkan. Kita juga boleh menggadaikan perlengkapan perang kepada ahluzzimmah, tetapi tidak boleh dengan musuh (ahlu harb). Hikmah nabi bermuamalah dengan orang yahudi adalah untuk menunjukkan bahwa dalam bidang bisnis, kita dapat berhubungan dengn siapa saja.

D.    Boleh Memberi Tanggungan Atas Pinjaman
Didalam buku T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, 2002 Mutiara Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, t.th . tentang Gadai, 1036. ‘Aisyah r. a. Menerangkan :
(١٠٣٦) اَنَّ النَّبِيِّ ص م اِشتَرَى طَعَا مًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًامِنْ حَدِ يْدٍ.
Bahwasanya Nabi s.a.w. membeli gandum pada orang Yahudi dengan menangguhkan pembayaran harganya, dan sebagai borgnya Nabi menyerahkan baju besinya”.

Al bukhary 34 : 14, Muslim 22 : 24, Al Lu’lu-u wal Majan 2 : 18
Uraian
1.      ANNAN NABIYYA S.A.W ISYTARA THA’AMAN MIN YAHU DIYYINILA AJALIN WA RAHNAHU DIR’AN MIN HADIDIN
bahwasanya Nabi s.a.w. membeli gandum pada seorang Yahudi dengan menanguhkan pembayaran harganya dan sebagai borgnya Nabi menyerahkan baju besinya”.
Yakni: Nabi s.a.w. membeli makanan, menurut riwayat, sebanyak 30 gantang dari seorang Yahudi yang bernama Abu Syahmi, sedang harganya ditangguhkan, akan dibayar pada waktu ketika nanti, dan sebagai borgnya Nabi menyerahkan baju besinya.
Perbuatan Nabi ini menyatakan, bahwa kita boleh menjual sesuatu secara tangguh dan membolehkan kita bermu’amalah dengan orang Yahudi, walaupun mereka memakan harta riba, sebagaimana kita boleh bermu’amalah dengan orang-orang yang menurut persangkaan kita, bahwa yang kita beli itu hartanya adalah haram, selama kita tidak yakin, bahwa kebanyakan dari barang yang haram. Juga membolehkan kita menggadaikan barang di waktu kita berada di kampung, walaupun Al Qur’an menerangkan, bahwa penggadaian itu dilakukan di dalam safar. Nabi sengaja membeli barang pada orang Yahudi dan menggadaikan bajunya kepada mereka, adalah untuk memberi pengertian, bahwa kita boleh bermu’amalah dengan orang kafir.
Dalam pada itu semua ulama sependapat mengatakan, bahwa kita boleh menjual senjata kepada kafir harbi.
Kesimpulan
Hadits ini menyatakan, bahwa kita boleh menggadaikan barang walaupun kita berada di kampung, sebagaimana menyatakan, bahwa kita boleh bermu’amalah dengan orang kafir.
a.       Didalam buku Drs. Muslich Shabir, MA. Terjemahan Riyadhus Shalihin, Semarang. Tentang Keutamaan bermurah hati dalam berjual-beli, berhutang piutang, bersikap jujur dalam menimbang dan keutamaan meringankan  atau membebaskan hutang orang miskin.
٠٧ وَعَنْ اَبِيْ هُرَةَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ اَنْظَرَمُعسِرًااَوْوَضَعَ لَهُ اَظَلَّهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ تَحْتَ ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَل لَا ظِلَّ اِلَّا ظِلُّهُ، رَوَاهُ التُّرْمُذِيُّ، وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Dari Abu Huraira r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda : Barang siapa yang menagguhkan hutang orang yang belum bisa membayarnya atau membebaskannya maka nanti pada hari kiamat Allah memberi naungan di bawah naungan ‘Arasy yang waktu itu tidak ada naungan kecuali naungannya”
(Riwayat At Tirmidzy)
b.      Didalam buku Ahmad bin Ali Hajar al-Aqanlaniy. Bulugh al-Maram, Dar al-Fikr,t.th. Tentang Barangsiapa memberi pinjaman, hendaklah meminjamkan pada takran yang diketahui, dan hingga tempo yang diketahui.
(٨٧٤) عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنُهُمَا قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِ يْنَةَ وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ فِي اثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: "مَنْ أَسْلَفَ فِيْ تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ."
Bersumber dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata, Nabi saw. Datang di Madinah dan penduduknya sudah biasa meberi pinjaman berupa buah buahan dalam jangka waktu setahun atau dua tahun. Kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi pinjaman berupa buah buahan, hendaklah ia memberi dalam takaran, timbangan dan waktu tertentu.”
BAB III
KESIMPULAN
A.     Kesimpulan
1.      Menggadaikan barang itu diperbolehkan dalam Islam, sebagaimana
a.       Anas ibn malik menerangkan:
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: رَهَنَ الَّنِيَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ دِرْعًالَهُ، عِنْدَ يَهُوْدِى بِالْمَدِيْنَةِ؛ وَأَخَذَمِنْهُ شَعِيْرًا لِأَهْلِهِ. رواه أحمدوالبخرى والنسأىى، وابن ماجه.
Rasulullah saw, menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi madinah, sebagai jaminan mengambil syair untuk keluarganya”. (H.R. Ahmad, Al-Bukhary, An-Nasa-y dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa II:360)
2.      Pengertian Gadai secara istilah adalah menyandera sujumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Sedangkan Pengertian Gadai secara Bahasa ialah “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata Al-Habsu yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materi. karena itu, secara bahasa kata Ar-Rahn berarti “menjadikan  suatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat  utang”.
3.      Dasar Hukum (Addilat Al’Ahkam) Praktek Gadai: Islam dengan ajarannya yang komit dan luas membenarkan adanya praktek utang piutang yang menjadi inti praktek lembaga pegadaian. Praktek ini secara normatif dapat digali dalam surat Al Baqarah ayat:282 yang mengajarkan perjanjian hutang piutang yang perlu diperkuat dengan catatan dan melibatkan saksi-saksi.
Ayat-ayat tersebut oleh komisi Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk menetapkan fatwa yang membolehkan praktek rahn (gadai).
Selain ayat-ayat di atas, beberapa praktek utang piutang yang dilakukan oleh Nabi juga dijadikan sebagai dasar hukum praktek gadai (rahn). Di antara hadits Nabi yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang mengabarkan bahwa:
Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”.
Dalam sejumlah riwayat lain juga ditemukan landasan hukum yang menjustifikasi praktek gadai. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:
Tidak pernah terlepas dari kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”.
Nabi juga mengatakan bahwa:
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki (dikendarai) dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”.
Selain dua landasan tersebut, praktek gadai juga didasarkan pada konsensus atau ijma’ ulama yang menetapkan hukumnya mubah (boleh) melakukan perjanjian gadai. Ijtihad para ulama ini terutama sekali menyangkut segi-segi teknis, seperti ketentuan tentang siapa yang harus menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin dan tata cara penentuan biaya dan sebagainya.



















DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam., Syariah Hasdits Pilihan Bukhari-Muslim.
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalaniy., Bulugh Al-Maram, Dar Al-Fikr,t.th.
Drs. Muslich Shabir, MA., Terjemah Riyadhus Shalihin jilid 2, Semarang:PT.Karya Tona Putra.
Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi., Al-Lu’lu’ Wal Marjan Jilid 2, Terjemahan: H. Salim Bahreisy.
Muhammad., Lembaga Ekonomi Syari’ah, Yogyakarta:Graha ilmu.
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy., 2002 Mutiara Hadis, Jakarta:Bulan Bintang,t.th.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy., Koleksi Hadis-hadis Hukum Jilid 7, Pustaka Rizki Putra

0 Response to "HADIST EKONOMI PENGGADAIAN ; Makalah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel