-->

PENDIDIKAN, STRATIFIKASI SOSIAL, DAN MOBILITAS SOSIAL (Makalah)

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Era globalisasi telah terjadi pergeseran sosial yang signifikan. Dampak dari ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong akses akulturasi dan asimilasi semakin cepat, berakibat pada ‘runtuhnya’ nilai-nilai sosial yang dianut dalam suatu komunitas. Interaksi social tidak lagi ada gap antar komunitas global dan ranah ruang dan waktu semakin ‘mengecil’ dalam proses sosialisasi antar bangsa. Begitu juga, konsep ideology bangsa semakin mengarah pada Akselerasi teknologi mutakhir, berbagai persoalan dan perubahan sosial (masyarakat) yang unpredictability (ketidakmampuan untuk memperhitungkan apa yang akan terjadi). Era ini menuntut adanya peningkatan sumber daya manusia yang kompetitif dan kualifikatif. Perubahan itu sendiri didorong oleh tiga faktor, yaitu: perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kependudukan, dan faktor ekologi atau lingkungan hidup. Kemudian pendidikan mengambil bagian penting dalam proses perubahan sosial yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Menurut Kuntowijoyo bahwa ada tiga tahapan perubahan masyarakat; Pertama, tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau antara masyarakat dengan Negara. Karena adanya pemilahan ini, maka dapat terjadi Negara tidak memberikan layanan dan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya; Kedua, tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani sudah berhasil dibangun; Ketiga, tahap masyarakat etis (ethical society) yang merupakan tahap akhir dari perkembangan tersebut. Masyarakat etis, yakni masyarakat yang dibentuk oleh kesadaran etis, bukan oleh kepentingan bendawi. Kesadaran etis ini mengimplikasikan keragaman nilai etis yang perlu dicari kompatibilitasnya dalam nilai-nilai universal dan nilai-nilai pancasila.
            H.J. Suyuthi Pulungan mengutip pendapat Alvin Toffler bahwa garis perkembangan peradaban manusia terangkum ke dalam tiga gelombang (third wave), yaitu fase pertanian, fase industri, dan fase informasi. Fase pertanian menggambarkan betapa bidang pertanian telah menjadi basis peradaban manusia. Keberhasilan dan kekuasaan ditentukan oleh tanah dan pertanian. Fase industry mendeskripsikan lantaran industri menjadi poros dan sumber pengaruh dan kekuasaan. Peradaban manusia pun didominasi oleh para penguasa industri yang umumnya terdiri kaum konglomerat dan pemilik modal. Fase informasi menempatkan informasi sebagai primadona dan penentu kesuksesan.
            Melihat ketiga faktor perubahan dan perkembangan peradaban yang telah diramalkan oleh Toffler sejak 1970, kini berada pada fase ketiga, yaitu fase informasi. Indikatornya adalah maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Dunia, sebagai salah satu faktor pendorong perubahan sosial dan peradaban manusia. Dalam fase ini, siapa yang menguasai informasi, baik ilmu pengetahuan dan teknologi, ia akan dapat mengusai Dunia. Hal tersebut dibutuhkan kualitas pendidikan yang dapat menjawab persoalan sosial kontemporer.
B.     Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana analisis pendidikan, stratifikasi sosial, dan mobilitas sosial dalam masyarakat?
2.      Bagaimana Tinjauan pendidikan terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial? Dan
3.      Bagaiamana hubungan pendidikan dengan stratifikasi sosial ?

C.     Tujuan Penulisan
Sebagaimana rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
1.      Memahami analisis pendidikan, stratifikasi sosial, dan mobilitas sosial dalam masyarakat.
2.      Memahami tentang tinjauan pendidikan terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial.
3.      Memahami hubungan pendidikan dengan stratifikasi sosial.




BAB II
PEMBAHASAN
A.     Analisis Pendidikan, Stratifikasi Sosial, Dan Mobilitas Sosial Dalam Masyarakat
1.      Pendidikan Dalam Analisis Sosiologi
Setiap individu, kelompok, komunitas, masyarakat, atau Negara yang menjalankan program pendidikan formal melakukannya dengan sengaja dan untuk alasan tertentu. Alasan itu berasal dari keyakinan umum yang mengikat individu-individu terkait pada situasi pertemuan khusus yang menghendaki adanya keputusan dan tindakan kelompok. Ketika masyarakat yakin bahwa mereka memiliki cara hidup yang tak ternilai harganya, mereka mengupayakan sarana untuk meneruskan cara hidup itu kepada anak turunannya, dan hasrat inilah yang meningkat menjadi pendidikan formal. Pendidikan formal menjadi pusat pelestarian dan pengembangan nilai-nilai, sebuah proses penyiapan peserta didik untuk hidup bermasyarakat. Tugas utama pendidikan, termasuk pendidikan di sekolah, yang paling utama ialah menanamkan nilai-nilai. Internalisasi nilai-nilai tentunya adalah nilai yang positif yang dapat membantu peserta didik untuk hidup bermasyarakat.
Sesuai dengan konteks misi kemanusiaan, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Kegiatan pendidikan sebagai upaya membentuk manusia sebagaimana mestinya agar dapat menjalankan misinya sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan dalam kehidupan manusia senantiasa berjalan dalam berbagai aspek, apakah aspek hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Hal ini menegaskan pendidikan tidak melihat manusia sebagai sosok yang sama, karena manusia memiliki karakteristik yang penuh variatif antara yang satu dengan yang lain. Keanekaragaman manusia dapat dipertemukan dalam konteks pendidikan dan memang pendidikan mestinya perlu memfasilitasi ‘perbedaan’ agar bisa berkembang. Setting social yang efektif di dalam pendidikan akan menumbuhkan interaksi positif dan efektif dalam kehidupan sosial.
Masyarakat yang dinamis dan melangkah maju yang di dalamnya domain pendidikan mendapat apresiasi. Tugas utama pendidikan adalah mengidentifikasi dan memisahkan orang-orang yang terlahir sebagai pemimpin dari orang-orang yang menjadi pengikut, dan menyiapkan masing-masing dari mereka untuk mengemban peran sosial mereka yang sebenarnya. Pemimpin yang lahir dari pendidikan akan mendapatkan kelas sosial yang ilmiah dan mampu melakukan mobilisasi sosial dengan kesadaran yang rasional.
Era sekarang ini, kemajuan suatu masyarakat, intensitas mobilisasi social yang tinggi apabila di dalamnya mutu dan pemerataan pendidikan yang tinggi. Pendidikan menciptakan stratifikasi sosial dalam skala makro yakni munculnya istilah negara maju dan negara berkembang. Negara maju dikonotasikan sebagai komunitas yang terdidik sedang Negara berkembang sebagai komunitas yang rata-rata rendah pendidikannya. Pendidikan yang bermutu di sini dilihat dengan indikator sekolah yang berkualitas, yang di dalamnya dikelola oleh tenaga yang profesional, didukung infrastruktur yang lengkap, dan ditopang oleh dana yang tinggi.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sasaran utamanya membantu peserta didik mengembangkan potensinya dan menjaga dan menginternalisasi nilai-nilai budaya yang positif. Dengan demikian, pendidikan dikembangkan sesuai dengan semangat kebudayaan masyarakat setempat. Kebudayaan masyarakat jika dikaitkan dengan pendidikan maka ditemukan sejumlah konsep pendidikan.
a.       Keberadaan sekolah tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sekitarnya
b.      Perlu dibentuk badan kerjasama antara sekolah dengan tokoh-tokoh masyarakat termasuk wakil orang tua siswa untuk ikut memajukan pendidikan
c.       Proses sosialisasi anak-anak perlu ditingkatkan
d.      Dinamika kelompok dimanfaatkan untuk belajar
e.       Kebudayaan menyangkut seluruh cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan oleh manusia ikut mempengaruhi pendidikan atau perkembangan anak. Sebaliknya pendidikan juga dapat mengubah kebudayaan anak.
Konsep pendidikan yang berbasis masyarakat tentunya dapat menjadi wadah pengembangan kearifan lokal, dan begitu juga kearifan lokal menjadi inspirator dalam mengembangkan pendidikan. Pendidikan diarahkan untuk menjaga stabilitas social pada satu sisi dan mendorong melakukan mobilisasi social pada sisi lain. Stabilitas social dimaksudkan sebagai nilai-nilai social, prilaku social positif, keamanan, dan sebagainya. Kemudian mobilisasi sosial sebagai upaya proses pendidikan untuk melakukan yang terbaik dari yang kurang baik, meningkatkan taraf hidup layak, dinamika komunikasi sosial yang lebih efektif, dan seterusnya. Hal inilah sasaran pendidikan yang cukup mempengaruhi kondisi sosial kemasyarakatan.
2.      Stratifikasi Sosial
Dalam konteks masyarakat, mulai masyarakat feodal sampai masyarakat modern, tetap melekat suatu sistim sosial yang menunjuk pada stratifikasi sosial. Masyarakat yang di dalamnya terdiri dari individu yang variatif, baik dari segi kemampuan intelektual, emosional, spiritual, hereditas, maupun skill. Perbedaan individu ini menjadi ‘embrio’ bagi pembentukan strata sosial di dalam masyarakat. Semakin kompleks variasi perbedaan individu dalam anggota masyarakat maka akan semakin membuka peluang bagi lahirnya strata sosial.
Sistim stratifikasi sosial merupakan suatu keniscayaan di dalam masyarakat. Stratifikasi sosial merupakan kedudukan yang berbeda-beda mengenai manusia yang merangkaikan suatu sistim sosial yang ada dan perlakuannya sebagai hubungan orang atasan (superior) dan orang bawahan (imperior) satu sama lain dalam hal-hal tertentu oleh masyarakat dianggap penting. Stratifikasi sosial ini menunjuk kepada suatu bentuk status sosial yang disandang oleh anggota masyarakat yang saling melengkapi dalam pembentukan struktur sosial yang apik.
Pembentukan stratifikasi sosial dalam masyarakat kontemporer mendeskripsikan masih dipicu oleh faktor hereditas dan ideologi, khususnya dalam masyarakat feodalis. Hal tersebut senada pandangan Max Weber bahwa stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistim sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, hak istimewa, dan prestise. Dalam masyarakat feodalis, kelas sosial ditentukan oleh keturunan (hereditas) atau yang memiliki kesaktian sehingga dapat menjadi penguasa dan sekaligus mendapat hak istimewa. Faktor determinan ini yang menjadi penentu dalam proses sosal, seperti nilai-nilai sosial, prilaku sosial, struktur sosial, strata sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, mobilisasi sosial, dan sebagainya.
Perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat sejak jaman perbudakan sampai revolusi industri hingga sekarang secara mendasar dan menyeluruh telah memperlihatakan pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka diferensiasi sosial yang tidak hanya berarti peningkatan perbedaan status secara horizontal maupun vertikal. Hal ini telah menarik para perintis sosiologi awal untuk memperhatikan diferensiasi sosial, yang termasuk juga stratifikasi sosial. Perbedaan yang terlihat di dalam masyarakat ternyata juga memiliki berbagai macam implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Status yang diperoleh kemudian menjadi kunci akses ke segala macam hak-hak istimewa dalam masyarakat yang pada dasarnya hak istimewa tersebut merupakan hasil dari rampasan dan penguasaan secara paksa oleh yang satu terhadap yang lainya, mendominasi dan didominasi, yang pada akhirnya merupakan sumber dari ketidaksamaan di dalam masyarakat.
Proses sosial yang di dalamnya terjadi pertentangan dan hegemoni berkepanjangan, yang berimplikasi pada lahirnya kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial terdiri dari kelas sosial tinggi (upper class), kelas sosial menengah (middle class), dan kelas sosial rendah (lower class). Kelas sosial tinggi dimiliki oleh para pejabat atau penguasa dan pengusaha kaya, kelas sosial menengah dimiliki oleh kaum intelektual, teknokrat, pengusaha rendah dan menengah, serta pegawai negeri, dan kelas sosial rendah merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat, seperti buruh dan dan pedagang kecil.
Di sisi lain, proses stratifikasi sosial dapat berkembang dengan adanya kesadaran hubungan sosial yang bersifat interdependensi. Proses stratifikasi sosial semakin menkristal dan melembaga apabila proses interaksi semakin intens, permasalahan semakin kompleks, masyarakat semakin luas dan heterogen, sehingga pembagian pekerjaan semakin banyak. Karena proses stratifikasi sosial terjadi karena makin meluasnya masyarakat dan makin banyaknya terjadi spesialisasi dan diversifikasi pekerjaan. Proses stratifikasi sosial ini lebih tampak pada masyarakat ‘modern’ yang lebih demokratis, dapat menduduki kelas-kelas sosial karena prestasi atau skill, bukan prestise.
Stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dilihat dalam struktur sosial, sebagaimana yang dikemukakan Darmansyah sebagai berikut:
a.       Masyarakat terbagi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki strata tertentu.
b.      Strata itu terbentuk berdasarkan latar belakang kemajuan kebudayaan yang diaktualisasikan dalam bentuk kualitas individu dan kelompok.
c.       Kemudian lahirlah kelompok-kelompok yang dipandang inferior dan superior
d.      Adanya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh kaum superior.
Stratifikasi sosial merupakan hukum sosial yang harus adanya, justru meniadakan stratifikasi sosial akan membawa kepada ‘kemandegan’ dan ‘kerapuhan’ masyarakat. Adanya kelas sosial superior menjadi ‘sandaran’ kelompok inferior terhadap ancaman dari luar dan dari dalam. Kelas superior menjadi icon pemersatu dari keragaman kelompok inferior. Akibat adanya sistim stratifikasi sosial, berimplikasi pada pembentukan mentalitas masyarakat yang diaktualisasikan dalam bentuk sistim nilai-nilai, pola berpikir, sikap (attitude), pola tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, dan sistim kaedah atau norma dalam mengaktualisasikan diri. Implikasi negatif stratifikasi sosial yang seringkali nilai keadilan dan kemanusiaan diletakkan tidak pada proporsinya.
Dari sudut pandang sosialisme, kriteria fundamental yang membedakan kelas-kelas adalah posisi yang mereka duduki dalam produksi sosial, dan kosekuensinya menentukan relasi mereka terhadap alat-alat produksi. Ukuran stratifikasi sosial lebih menonjol pada kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh individu atau kelompok masyarakat. Hal tersebut membawa pada masyarakat yang ‘terpecah’, menjadi dua kelompok yaitu kelompok borjuis dan kelompok proletar. Kelompok borjuis sebagai kelompok kecil namun superior memiliki kekuasaan dan hak istimewa terhadap kelompok proletar sebagai kelompok inferior atau kelompok yang kuantitasnya besar. Kelompok borjuis menguasai alat-alat produksi dan monopoli ekonomi, sedangkan kelompok proletar menjadi ‘berhala’ bagi borjuis.
Kemunculan kelas-kelas sosial ini terjadi akibat dari pembagian kerja secara sosial, disaat kepemilikan pribadi atas alat produksi menjadi sebuah kenyataan. Marx melakukan stratifikasi terhadap masyarakat berdasarkan dimensi ekonomi, dimana hal yang paling pokok menurut ia adalah kepemilikan atas alat produksi. Seperti yang selalu ia katakan dalam berbagai tulisannya, pembagian kerja yang merupakan sumber ketidakadilan sosial timbul saat memudarnya masyarakat komunal primitif.
Salah satu dari pra kondisi yang paling general dari kehadiran masyarakat yang terbagi atas kelas adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif. Dalam perjalanan panjangnya, proses ini menimbulkan tingkat produksi yang bergerak jauh lebih tinggi dari yang dibutuhkan orang untuk melanjutkan hidupnya. Jadi surplus produk memberikan kepada umat manusia lebih dari yang dibutuhkannya, dan sebagai konsekuensinya, ketidakadilan sosial secara bertahap tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat, Teori surplus ini menilai stratifikasi sosial lebih mengarah pada akselerasi sains dan teknologi yang berimplikasi pada peningkatan produktivitas ekonomi dalam rangka pencapaian surplus ekonomi melalui perjuangan social, dan hal inilah menjadi pemicu lahirnya stratifikasi sosial.
Dalam analisis fungsional, masyarakat terbagi ke dalam beberapa kelompok sosial yang masing-masing dibedakan sesuai karakteristik dan motifnya. John L. Gillin membagi kelompok atas dasar fungsionalnya, sebagai berikut:
a.       Kelompok persamaan darah (blood group), misalnya keluarga, clan, dan kasta.
b.      Kelompok berdasarkan karakteristik jasmaniah atau mental, sama jenis seksnya, sama umur, sama rasnya.
c.       Kelompok proximitas, crowds, mobs, communitu, kelompok-kelompok territorial.
d.      Kelompok berdasarkan interest kulturil, yaitu congenialitas, ekonomi, teknologi, agama, asthetik, intelektuil, pendidikan, politik, rekreasi, dan sebagainya.
Perbedaan kelompok-kelompok dalam masyarakat menjadi sebuah indikator bagi klasifikasi dalam stratifikasi sosial. Stratifikasi social dapat terjadi dari sudut pandang blood group, karakteristik jasmaniah atau mental, proximitas, dan interes kultural. Analisis fungsional terhadap varian kelompok tersebut saling melengkapi dalam struktur sosial masyarakat kompleks. Sistim sosial dalam hal kekuasaan biasanya ditentukan oleh kelompok bloop group, atau interest cultural, dan lain-lain.
Dalam konteks agama, stratifikasi social mendapat apresiasi yang tinggi. Weber cenderung mereduksi keyakinan agama menjadi kepentingan kelas-kelas masyarakat. Agama disorot dalam konteks sosiologi terdapat legitimasi kuat terhadap stratifikasi social. Weber telah mengembangkan suatu model teoritis di mana stratifikasi sosial dapat secara langsung dihubungkan dengan kandungan agama. Dikotomi antara teologi kelas yang diistimewakan (privileged class) dengan teologi kelas yang tidak diistimewakan (non-privileged class) mendominasi visinya tentang agama. Sementara strata yang diistimewakan, baik kaum birokrat maupun pasukan perang cenderung memandang agama sebagai sumber penjaminan psikologis untuk kesucian legitimasi atas nasib baik mereka, kelompok-kelompok yang non-privileged ditarik kepada agama guna penyembuhan dan pelapisan diri mereka dari penderitaan.
Sifat dari sistim stratifikasi sosial dalam masyarakat ada yang tertutup dan ada yang terbuka. Sistim bersifat tertutup tidak memungkinkan terjadinya perpindahan seseorang dari lapisan social yang satu ke yang lain, baik ke bawah maupun ke atas. Keanggotaan dari suatu lapisan tertutup, diperoleh melalui kelahiran atau suatu ideologi. Sistim stratifikasi sosial tertutup dapat dilihat pada masyarakat berkasta, pada masyarakat feudal, pada masyarakat rasial, dan sebagainya. Kemudian pada masyarakat yang sistim stratifikasi sosialnya terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan skill dan kecakapannya untuk meningkatkan stratifikasi sosial atau turun ke lapisan sosial di bawahnya.
3.      Mobilitas Sosial
Setiap masyarakat senantiasa terjadi proses dinamika atau transformasi, baik yang bersifat individu maupun kelompok. Dinamika sosial terjadi akibat adanya faktor-faktor tertentu sebagai pendorong melakukan dinamika, dan dinamika inilah biasanya disebut mobilitas sosial. Mobilitas sosial diartikan sebagai gerak dalam struktur sosial (social structure). Mobilitas social menunjuk pada pergerakan masyarakat dalam struktur-strukrur sosial, seperti pendidikan, ekonomi, pertanian, agama, dan sebagainya.
Mobilitas mempunyai arti yang bermacam-macam, pertama, mo­bilitas fisik (mobilitas geografis) yaitu perpindahan tempat tinggal (menetap/sementara) dari suatu tempat ke tempat yang lain. Kedua, mobilitas sosial yaitu suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial ini terdiri dari dua tipe, yaitu mobilitas sosial horisontal dan vertikal. Mobilitas sosial horisontal diartikan sebagai gerak perpindahan dari suatu status lain tanpa perubahan kedudukan. Jadi dalam mobilitas sosial horisontal ini, tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang. Sedangkan mobilitas sosial vertikal yaitu suatu gerak perpindahan dari suatu status sosial ke status sosial lainnya, yang tidak sederajat. Mobilitas sosial vertikai ini jika dilihat dari arahnya, maka dapat dirinci atas dua jenis, yaitu gerak perpindahan status sosial yang naik (social climbing) dan gerak perpindahan status yang menurun (social sinking).
Pengertian mobilitas sosial ini mencakup baik mobilitas kelompok maupun individu. Misalnya keberhasiian keluarga Pak A merupakan bukti dari mobilitas individu; sedang arus perpindahan penduduk secara bersama-sama dari daerah kantong-kantong kemiskinan di Pulau Jawa ke daerah yang lebih subur sehingga tingkat kesejahteraan mereka relatif lebih baik dibanding di daerah asal, merupakan contoh mobilitas kelompok. Ketiga, Mobilitas psikis, yaitu merupakan aspek-aspek sosial-psikologis sebagai akibat dari perubahan sosial. Dalam hal ini adalah mereka yang bersangkutan mengalami perubahan sikap yang disertai tentunya dengan goncangan jiwa.
Konsep mobilitas tersebut dalam prakteknya akan saling berkaitan satu sama lain, dan sulit untuk menentukan mana sebagai akibat dan penyebabnya. Sebagai contoh untuk terjadinya perubahan status sosial, seseorang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena ketiadaan lapangan kerja, atau sebaliknya mobilitas sosial seringkali mengakibatkan adanya mobilitas geografi yang disertai dengan segala kerugian yang menyakitkan, yakni lenyapnya ikatan sosial yang sudah demikian lama terjalin. Demikian halnya mobilitas geografis akan mempengaruhi terha­dap mobilitas sosial yang climbing maupun sinking, bahkan sekaligus mempengaruhi mobilitas mental atau psikis dari individu maupun masyarakat.
Dalam konteks mobilitas sosial, seringkali dimotori oleh suatu ideologi tertentu. Sebuah mobilitas sosial yang terarah dan jelas kausalitasnya apabila jelas semangat ideologi yang memicunya. George Rude menyatakan bahwa sejauh gerakan sosial apapun harus memiliki sebuah ideologi agar sanggup melakukan mobilisasi sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, gerakan Islam radikal yang diusung oleh kelompok-kelompok tertentu, lebih didorong oleh kepentingan untuk memperoleh legitimasi moral dan agama sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi sosial secara vertikal dari kelompok akar sosial non agama. Mobilisasi sosial yang didasari ideologi agama seringkali melegitimasi pola dan dampak mobilisasi tersebut, sehingga cenderung membawa dampak sosial yang besar atau terjadi konflik sosial. Legitimasi agama inilah sehingga mobilitas sosial sering kali dipaksakan dan bersifat revolusioner.
Namun demikian, mobilisasi sosial akibat kesadaran sosial akan melahirkan proses sosial yang dinamis dan evolutif. Sebagai contoh, orang-orang Kalimantan (Suku Dayak) yang masuk agama Islam atau orang Melayu, sering menyangkali leluhurnya sebagai orang Dayak. Lebih dari itu, orang Dayak tersebut mengokohkan dirinya dalam identitas orang Melayu sejati, pada umumnya orang Dayak menganggap dirinya sudah memperoleh “mobilisasi sosial” dari status sosial yang rendah meningkat menjadi orang Melayu dengan status sosial yang tinggi. Mobilitas sosial dengan landasan agama hanyalah bentuk sebuah status diri dengan Tuhan, bukan untuk kelas sosial.
Dalam mobilisasi sosial, terdapat lembaga-lembaga sosial yang dapat menyalurkan gerakan sosial yang bersifat vertikal. Saluran-saluran dalam gerak sosial vertikal, yaitu angkatan bersenjata, lembaga-lembaga keagamaan, sekolah-sekolah, organisasi-organisasi politik, ekonomi, dan keahlian. Institusi sosial menjadi sentral bagi suatu gerak sosial di masyarakat yang bersifat vertikal. Masyarakat dapat bergerak ke atas melalui jenjang karier atau kepangkatan, skala wewenang dalam bidang tertentu, dan sebagainya.
B.     Tinjauan Pendidikan Terhadap Stratifikasi dan Mobilitas Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial selalu ingin hidup dan eksis dalam masyarakat. Salah satu institusi sosial yang dapat membantu eksistensi manusia dalam masyarakat adalah institusi pendidikan. Sebagai sistem sosial, lembaga pendidikan harus memiliki fungsi dan peran dalam perubahan masyarakat menuju ke arah perbaikan dalam segala lini. Dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki dua karakter secara umum. Pertama, melaksanakan peranan fungsi dan harapan untuk mencapai tujuan dari sebuah sitem. Kedua, mengenali individu yang berbeda-beda dalam peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan. Kedua karakter umum lembaga pendidikan tersebut menunjukkan bahwa intitusi pendidikan juga sebagai institusi sosial.
Dalam pendidikan, dikenal tripusat lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan pendidikan keluarga (informal), lingkungan sekolah (formal), dan lingkungan masyarakat (nonformal). Ketiga klasifikasi tersebut dalam pergumulanya di masyarakat memiliki peran yang berbeda-beda, lembaga pendidikan pertama, yaitu informal atau keluarga, ranah garapanya adalah lebih banyak diarahkan dalam pembentukan karakter atau keyakinan dan norma.  Lembaga pendidikan formal atau sekolah, peran besarnya lebih banyak di arahkan pada pengembangan penalaran peserta didik, dan lembaga pendidikan ketiga, yaitu masyarakat, peranya lebih banyak pada pembentukan karakter sosial. Ketiga lingkungan pendidikan tersebut mestinya sinergi dalam upaya penguatan sistim social secara universal.
Pedagogik tradisional memandang lembaga pendidikan sebagai salah satu dari struktur sosial dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itru, lembaga pendidikan seperti sekolah perlu disiapkan agar lembaga tersebut berfungsi sesuai dengan perubahan sosial yang terjadi. Apabila lembaga sekolah tidak dapat mengikuti perubahan sosial maka dia kehilangan fungsinya dan kemungkinan besar dia ditinggalkan masyarakat. Olehnya itu, fungsi sosial sekolah tetap menjadi elan vital bagi proses dinamika sosial menuju cita-cita yang ideal yaitu masyarakat equilibrium.
Pendidikan yang berbasis masyarakat akan dapat menjadi faktor pendorong pemicu solusi bagi problem masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai laboratorium di mana anak belajar, menyelidiki dan turut serta dalam usaha-usaha masyarakat yang mengandung unsur pendidikan. Sekolah mengikutsertakan orang banyak dalam proses pendidikan dalam mempelajari problem-problem sosial. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah telah menetapkan arah baru pendidikan nasional, yaitu kesetaraan sektor pendidikan dengan sektor lain, pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial, pendidikan dalam rangka pemberdayaan social, pemberdayaan infrastuktur sosial untuk kemajuan pendidikan nasional, pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk kemajuan pendidikan, penciptaan iklim kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan consensus dalam kemajemukan, perencanaan terpadu secara horizontal dan vertical, pendidikan berorientasi peserta didik, pendidikan multicultural, dan pendidikan dengan perfektif global.
Sebagai lembagai lembaga sosial, maka proses belajar di dalam sekolah haruslah disesuaikan pula dengan fungsi dan peranan lembaga pendidikan. Fungsi sekolah ialah mentransmisikan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat dan kebudayaan pada saat itu. Di dalam pedagogik tradisional, tempat individu adalah sebagai obyek perubahan sosial. Individu tersebut mempelajari peranan yang baru di dalam kehidupan sosial yang berubah. Sekolah adalah tempat yang memperoleh legitimasinya dari kehidupan masyarakat atau pemerintah yang mempunyainya. Karena legitimasi dari masyarakat dan pemerintah, maka sekolah seyogyanya berfungsi untuk memperkuat institusi sokial, melestarikan dan memperbaiki nilai-nilai social, mendorong mobilisasi vertikal yang efektif, dan seterusnya.
Sekolah mempersiapkan individu-individu untuk hidup dalam konteks sosial kemasyarakatan. Individu tidak dapat berkembang apabila diisolasikan dari dunia sosial budaya di mana di mana dia hidup. Hal ini berarti adanya suatu pengakuan peran aktif partisipatif dari individu yang menjadi dalam tatanan kehidupan sosial dan budayanya. Individu bukanlah sekedar menerima nilai-nilai tersebut hanya dapat dimilikinya melalui peranannya yang aktif partisipatif di dalam aktivitas sosial budaya dalam lingkungannya. Jadi, berbeda dengan pandangan pedagogik tradisional yang melihat individu sebagai suatu makhluk yang pasif reaktif, yang hanya berkembang karena pengaruh-pengaruh dari luar, termasuk pengaruh dari perubahan sosial yang terjadi dalam lingkungannya. Kondisi ini menjadikan masyarakat menjadi pengikut tanpa ada inisiasi untuk melakukan dinamika sosial.
Konteks pendidikan yang transformative mempersiapkan individu-individu yang peka dengan lingkungannya, inisiatif, dan terdorong untuk melakukan dinamika. Pedagogik transformatif terhadap individu bukanlah sebagai suatu entity yang telah jadi, tetapi yang sedang menjadi. Individu mempunyai peran emansipasif di dalam kehidupan sosial budaya, termasuk melalui proses pendidikan dalam lingkungan keluarga dan sekolah. Di dalamnya peranannya yang emansipatif tersebut maka individu bukan hanya sebagai obyek dari perubahan sosial, tetapi sekaligus pula berperan sebagai faktor dari pengubah dan pengarah dari perubahan social, atau agen of change (individu-individu pengubah).
Sekolah sebagai insitusi sosial diharapkan dapat melahirkan luaran yang mampu melakukan rekayasa sosial. Sebelum melakukan dinamika dan perjuangan social, maka harus dimulai dari sendiri. Terminology diri sebagai lokomotif perjuangan social akan dapat mendorong masyarakat untuk ikut dalam perjuangan tersebut. Olehnya itu, di sekolah dituntut para pendidiknya mampu bersikap secara professional dalam mengarahkan peserta didik tersebut. Dengan demikian, para pendidik perlu menjadi fasilitator agar dorongan dan bimbingan dapat terwujud dalam perubahan perilaku peserta didik. Tugas berat pendidik ini tetap menjadi sebuah harapan dari masyarakat dan pemerintah.
Secara filosofis, setiap manusia wajib belajar untuk sebuah kemandirian dan eksistensi dalam kehidupan social. Kewajiban belajar telah merupakan keputusan bersama umat manusia dan tuntutan tersebut bukan hanya tuntutan formal tetapi juga menuntut perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut. Bahkan berbagai perubahan dunia dipelopori dari perubahan lingkungan pendidikan formal, seperti pemberontakan mahasiswa Perancis tahun 1968 yang mengubah kehidupan politik, sosial, bahkan kebudayaan dari masyarakat Perancis.
Bukti sejarah ini mempertegas bahwa pendidikan memiliki elan vital bagi sebuah dinamika social, memperkokoh struktur social, stratifikasi social, mobilitas social, perubahan social, dan seterusnya. Tampaknya pendidikan dapat mereduksi stratifikasi sosial atas dasar prestise tetapi memperkuat stratifikasi sosial atas dasar prestasi. Begitu juga mobilitas sosial lebih cepat terjadi secara vertikal karena dorongan institusi pendidikan yang efektif.
C.     Hubungan Antara Pendidikan Dengan Stratifikasi Sosial
1.      Golongan Sosial dan Tingkat Pendidikan
Menurut penelitian, terdapat korelasi yang tinggi antara kedudukan sosial seseorang dengan tingkat pendidikan yang ditempuhnya. Meskipun tingkat pendidikan sosial seseorang tidak bisa sepenuhnya diramalkan melalui kedudukan sosialnya, namun pendidikan sosial yang tinggi sejalan dengan kedudukan sosial yang tinggi pula.
Anak dari golongan rendah kebanyakan tidak melanjutkan studinya hingga ke perguruan tinggi. Sedangkan orang golongan tinggi cenderung menginginkan anaknya untuk menyelesaikan  pendidikan  tinggi. Hal tersebut terjadi karena faktor biaya pendidikan yang tergolong mahal.
2.      Golongan Sosial dan Jenis Pendidikan
Golongan sosial juga menentukan jenis pendidikan yang dipilih oleh orang tua siswa. Umumnya, anak-anak yang orang tuanya mampu, cenderung menyekolahkan anaknya di sekolah menengah umum sebagai persiapan studi di universitas. Sedangkan orang tua yang memiliki keterbatasan keuangan, cenderung memilih sekolah kejuruan bagi anaknya. Dapat diduga bahwa sekolah kejuruan lebih banyak menampung siswa golongan rendah daripada golongan tinggi. Karena itulah dapat timbul pendapat bahwasanya status sekolah umum lebih tinggi daripada sekolah kejuruan. Siswa sendiri cenderung lebih memilih sekolah menengah umum daripada sekolah kejuruan. Sekalipun sekolah kejuruan dapat memberikan jaminan yang lebih baik untuk langsung terjun di lapangan pekerjaan.














BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpualan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat di ambil beberapa kesimpulan, yaitu :
Æ  Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Stratifikasi sosial merupakan kedudukan yang berbeda-beda mengenai manusia yang merangkaikan suatu sistim sosial yang ada dan perlakuannya sebagai hubungan orang atasan (superior) dan orang bawahan (imperior) satu sama lain dalam hal-hal tertentu oleh masyarakat dianggap penting. Mobilitas sosial merupakan gerak dalam struktur social, baik bersifat horizontal (fisik) dan vertisal.
Æ  Pendidikan sebagai sistim terencana yang memanusiakan manusia agar dapat eksis dalam masyarakat. Pendidikan dapat memperkokoh stratifikasi sosial dalam masyarakat, dan dapat mendorong mobilitas sosial yang utama yaitu vertical. Pendidikan berfungsi untuk menyiapkan peserta didik untuk beradaptasi dalam konteks sosial, dan generasi ini akan membawa pada stratifikasi dan mobilitas sosial di dalam masyarakat.
Æ  Terdapat hubungan timbal balik antara pendidikan dengan stratifikasi sosial, dimana tingkatan sosial menentukan sejauh mana jenis pendidikan dan tingkat pendidikan mampu di tempuh.








DAFTAR PUSTAKA
-----------, & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (cet.II, Jakarta: Rumka cipta, 2002)
------------, Kekuasaan dan Pendidikan, (Jakarta: Indonesia Tera, 2003)
Ahmadi, H. Abu. Sosiologi Pendidikan, (Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta, 2007)
Azis, Abdul. Esai-esai Sosiologi Agama, (t.t.p.: Diva Pustaka, t.th.)
Cohen, Bruce J., “Theory and Problems of Introduction to Sociology”, diterjemahkan oleh Sahat Simamora dengan judul Sosiologi–Suatu Pengantar, (Cet. I, Jakarta: Bina Aksara, 1983)
Ghillin and Ghillin, An Introduction to Sociology, (New York: The Macmillan Company, 1948)
Hamalik, Oemar, Perencanaan Pegajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (cet V, Jakarta: Bumi Aksara, 2005)
Idi, Abdullah., dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
Iman, Muis Sad., Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004)
Jalal, Faisal., dan Dedi Supriadi (ed.), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001)
Latif, Yudi, Inteligensia Muslim dan Kuasa–Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005)
Lenin, V.I., Vulgar Socialism and Narodism as Resurrected by the Socialist Revolusioneries, Kumpulan Tulisan, vol 6, 1977
Maryati, Kun., dan Juju Suryawati, Sosiologi, Jilid II, (Jakarta, Esis, 2006)
Pidarta, Made, Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000)
Salim, Agus. Stratifikasi Etnik. Semarang; FIP UNNES dan Tiara Wacana. 2006
Sarwono, Sarlito. Psikologi Sosial – Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan, (Cet. II, Jakarta: Balai Pustaka, 2001)
Setiadi, Elly M dan Kolip Usman. Pengantar Sosiologi. Jakarta; Kencana. 2011
Soekanto Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers : Jakarta
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, (Cet. VII, Jakarta: UI Press, 1981)
Suharto. Stratifikasi Sosial. Yogyakarta; Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga. 1986
Suhartono, Suparlan, FIlsafat Pendidikan, (Cet. IV, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009)
Susanto, A. Budi, Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2003)
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2005)
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006)
Thut, I.N., dan Don Adams, “Educational Pattern in Contemporary Societies”, diterjemahkan oleh SPA Teamwork dengan judul Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer – Seri Pendidikan Perbandingan, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik untuk Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2002)
Turner, Bryan S. Religion and Sosial Theory, (London: Heinemann Educational Books, 1983)
Yermakova, Antonina dan Ratnikov, Valentine, Kelas dan Perjuangan Kelas, (Cet. I, Yogyakarta: Sumbu, 2002)
Yulaelawati, Ella, Kurikulum dan Pembelajaran. Filosofi, Teori, dan Aplikasi, (Bandung: Pakar Raya, 2004)

Zastrow, Ng., Al-, Gerakan Islam Simbolik–Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta: LKis, 2006)

0 Response to "PENDIDIKAN, STRATIFIKASI SOSIAL, DAN MOBILITAS SOSIAL (Makalah)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel