DI NEGERI TAK BERTUHAN
Akan ku temui
kebenaran yang selama ini membuatku bimbang, bersembunyi di balik gelapnya
kesesatan, meski aku terus bertanya pada ayahku, beliau adalah pembesar dari
kalangan kami, beliau adalah petua, beliau juga yang menjadi panutan golongan
kami, tapi setiap kali aku bertanya , tak ada satupun jawaban yang memberikan
keyakinan dalam hatiku. Padahal aku juga seorang guru, aku mengajari banyak hal
kepada mereka murid-muridku, bahkan hal yang aku sendiri masih bimbang dan selalu terpikir di
fikiranku, apakah itu cahaya atau kegelapan, namun hal itu di percayai oleh
golongan kami, maka dengan terpaksa aku harus mengajari apa yang di yakini
meski aku sendiri dalam kebimbangan yang nyata.
Hari-hari terus
saja berganti, gelap dan cahaya terus saja menghatui buah fikiranku, selalu
saja saat aku yakin itu cahaya, kegelapan kembali menerpa, kehidupanku sunggu
tak tenang, aku ingin pergi, namun aku tak tau kemana jua aku berjalan, aku
belum mendapatkan kepastian, aku juga telah mendapatkan tanggung jawab untuk
mengajari mereka, generasi dari golongan kami. Kami adalah golongan yang lebih
mengutamakan pemikiran dari pada takdir, kami bermain logika bukan yang telah
di bukukan, kami percaya bahwa logika pemikiran dapat mengalahkan segalanya,
jika kamu melakukan sesuatu berarti itu kekuatan dari logika kami, bukan takdir
yang menentukan. Inilah I’tikad dari golongan kami, golongan yang aku di didik
di bawah petua golongan, maski itu hanya ayah tiriku, tapi dia mendidikku
laksana mendidik anaknya sendiri, makanya sekarang aku telah menjadi pendidik
atau di beri tanggung jawab untuk mendidik generasi golongan ini, golongin
logika di puncak tertinggi.
Namun pada suatu
malam, dalam nyenyaknya tidurku, dalam mimpiku datang seorang pemuda dengan
pakaian serba putih, wajahnya begitu bercahaya, elok parasnya tiada bandingan,
pemuda yang memakai baju serba putih tersebut tersenyum padaku, dan dalam
tercengangku, pemuda itu berkata “engkau dalam kesesatan yg nyata”, seketika
akupun terbangun dari tidurku, aku terduduk di atas ranjangku, berfikir siapa
gerangan pemuda yang bercahaya itu, dan apa arti dari kata yang iya sampaikan
padaku. Aku terus saja menyendiri dalam kamarku setelah mimpi itu, aku bahkan
tidak keluar untuk mengajar anak-anak itu, aku terus saja berfikir keras, jalanku
seakan serasa berat, semua seakan memendam di fikiranku, terus saja teringat
kata-kata itu. Di malam selanjutnya akau kembali mendapati mimpi yang sama
lagi, mimpi itu ku dapati hampir setiap malam, dan akhirnya aku memutuskan
pergi meninggalkan golongan ini, aku akan mesafir, hijrah mencari cahaya
keyakinan hatiku, bukan hanya bermodalkan logika sahaja.
Aku akan pergi,
tapi aku belum berani mengatakannya pada ayah tiriku, aku berfikir bagaimana
cara aku mengatakannya, di kala kebingungan itu, aku di suruh untuk berkhutbah,
maka moment inilah yang aku putuskan untuk mengatkannya, dalam sela-sela
khutbahku, aku membuka bajuku, lalu ku campakkan ke tanah, dan aku berkata “sebagaimana
aku melepaskan bajuku, maka begitu pula aku melepaskan golonganku”. Kala itu
semua tercengang, dan aku langsung turun dan beranjak pergi untuk hijrah ke
tempat ilmu, hingga ku dapatkan cahaya sejati, cahaya kebenaran abadi, cahaya
yang murni dari Sang Ilahi.
Sejak saat itu aku
terus saja musafir, berjalan dari satu jalan ke jalan yang lain, menetap di
satu tempat dan berpindah ke tempat lain, aku terus saja berguru dari satu guru
ke guru lain, aku ingin mendapatkan kebenaran yang belum ku temukan, aku ingin
menemukan I’tikad yang shahih, bukan I’tikad yang lebih mengutamakan logika
daripada takdir atau ketentuan Tuhan. Hingga akhirnya ku temukan satu I’tikad
yang aku yakin kebenarannya, yaitu satu I’tikad yang mengikuti rasul dan
sahabat-sahabatnya rasul, “ahli sunnah wal jamaah”.
Kisah ini adalah
kisah “Imam Islam” Abu Hasan Al A’syari, beliau hidup dan besar di bawah asuhan
ayah tirinya dari golongan muktazilah, akhirnya beliau hijrah dan bergemalah
nama Ahli Sunnah Wal Jamaah di muka bumi ini.
0 Response to "DI NEGERI TAK BERTUHAN"
Post a Comment