MAKALAH ASAL USUL KABUPATEN BIREUEN
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Bireuen
Kabupaten
Bireuen adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Kabupaten ini menjadi
wilayah otonom sejak tahun 1999/2000 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten
Aceh Utara. Kabupaten ini terkenal dengan julukan kota juangnya, namun sempat
menjadi salah satu basis utama Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Semenjak
diberlakukannya darurat militer sejak bulan Mei 2003, situasi di kabupaten ini
berangsur-angsur mulai kembali normal, meski belum sepenuhnya. Kabupaten
Bireuen juga terkenal di bidang kulinernya diantaranya Mie Kocok Geurugok,
Rujak Manis dan Bakso Gatok (Kuta Blang) Sate Matang (Peusangan) Bu Sie Itek
dan Nagasari (Kota Juang/Bireuen).
Bireuen
itu berasal dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan, dan
yang memberikan nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di
Aceh. Ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu, Kakek Sarong yang terlihat
masih bugar dengan lancar menceritakan sejarah Aceh pada umumnya dan Bireuen
khususnya. Tgk Sarong pernah menjadi komandan pertempuran Medan Area tahun
1946, yang saat itu diberi gelar Kowera (Komandan Perang Medan Area). Ayah tiga
anak dan sejumlah cucu ini, pernah
ditawarkan menjadi guru ngaji di Arab Saudi, ketika dirinya bersama istri
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pada tahun 60-an. Namun, tawaran itu
ditolaknya karena sayang pada sang istri yang harus pulang ke Aceh tanpa
pendamping. “Itu romansa masa lalu. Tapi, di sini (Aceh-red) saya juga menjadi
guru ngaji” katanya sambil terkekeh
Menurut
pelaku sejarah yang lancar berbahasa Arab dan Inggis ini, “Bireuen itu berasal
dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan, dan yang
memberikan nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di Aceh.
Kala itu, orang Arab yang berada di Aceh mengadakan kenduri di Meuligoe Bupati
sekarang. Saat itu, orang Arab pindahan dari Desa Pante Gajah, Peusangan, lalu
mereka mengadakan kenduri. Kenduri itu merupakan kebajikan saat menjamu pasukan
Belanda. Orang Arab menyebut kenduri itu Birrun. Sejak saat itulah nama Bireuen
mulai dikenal,” kata pria berkulit sawo matang yang mengaku pernah jadi guru
Bahasa Arab di sebuah sekolah di Aceh tempoe doeloe.
Dengan penuh semangat, Tgk Sarong Sulaiman
menceritakan, sebelum Bireuen jadi nama Kota Bireuen yang sekarang ini, dulu
namanya Cot Hagu. Setelah peristiwa itulah, nama Cot Hagu menjadi nama Bireuen.
“Jadi Bireuen itu bukan asal katanya dari bi reuweueng (memberi ruang/ lowong
atau celah), tetapi, Birrun itulah asal kata nama Kota Bireuen sekarang,” kata
pria yang mengaku pernah berhasil memukul mundur pasukan Kolonial Belanda, saat
bertempur melawan penjajahan dulu.
B. Asal Usul Kota Juang
Adapun
mengenai Bireuen dijuluki sebagai Kota Juang, menurut keterangan para orang
tua-tua di Bireuen, Bireuen pernah menjadi
ibukota RI yang ketiga selama seminggu,
setelah Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah dalam agresi Belanda.
“Meuligoe Bupati Bireuen yang sekarang ini pernah menjadi tempat pengasingan
presiden Soekarno,” kata almarhum purnawirawan Letnan Yusuf Ahmad (80), atau
yang lebih dikenal dengan panggilan
Letnan Yusuf Tank, yang berdomisili di
Desa Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Narit berkunjung ke
kediamannya sebelum almarhum dipanggil Yang Maha Kuasa.
Bahkan
katanya, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen khususnya, dalam mempertahankan kemerdekaan
Republik ini, begitu besar jasanya. “Perjalanan sejarah telah membuktikannya.
Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh
pernah dipusatkan di Bireuen.” Saat itu, dibawah Divisi X Komandemen Sumatera
Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef yang
berkedudukan di Meuligoe Bupati yang
sekarang, pernah menjadi kantor Divisi X dan rumah kediaman Panglima Kolonel
Hussein Joesoef. “Waktu itu Bireuen dijadikan
sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu
pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai Kota Juang.”
Presiden
Soekarno, juga pernah mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel
Hussein Joesoef, yang bermarkas di Kantor Divisi X di Meuligo Bupati Bireuen
yang sekarang. “Bireuen pernah menjadi
ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta Ibukota RI yang kedua, kembali
dikuasai Belanda. Kebetulan Presiden Soekarno juga berada di sana saat itu, menjadi
kalang kabut. Akhirnya Soekarno
memutuskan mengasingkan diri ke Bireuen pada Juni 1948, dengan pesawat udara
khusus Dakota.yang dipiloti Teuku Iskandar. Pesawat itu turun di lapangan Cot
Gapu.”
Saat
itu Soekarno disambut para tokoh Aceh diantaranya, Gubernur Militer Aceh,
Teungku Daud Beureu’eh, Panglima Divisi
X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para
tokoh masyarakat bahkan ratusan pelajar Sekolah Rakyat (SR) dan malam harinya
diselenggarakan leising (rapat umum) akbar. Dalam rapat itu Soekarno yang
dikenal singa podium Asia dalam pidatonya membakar semangat juang rakyat di
Keresidenan Bireuen apalagi pada saat itu mengatakan bahwa Belanda telah
menguasai kembali Sumatera Timur (Sumatera Utara).
Setelah
itu Kemiliteran Aceh, dari Banda Aceh dipindahkan ke Juli Keude Dua di bawah
Komando Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef dengan membawahi Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo.
“Dipilihnya Bireuen sebagai pusat kemiliteran Aceh, lantaran Bireuen letaknya
sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan
Belanda di Medan Area yang telah
menguasai Sumatera Timur (sekarang Sumut).”
Lalu
Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera silih berganti dikirim ke Medan
Area. Termasuk diantaranya pasukan tank di bawah pimpinan Yusuf Tank, yang
memiliki puluhan unit mobil tank hasil rampasan dari tentara Jepang. Dengan
tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area dan
juga di zaman Revolusi 1945, Pendidikan
Perwira Militer (Vandrecht), pernah dipusatkan di Juli Keude Dua sekarang
ini. “Aceh yang tak pernah mampu dikuasai Belanda dan Aceh juga adalah daerah
modal Indonesia.”
Setelah
seminggu berada di Bireuen, kemudian Soekarno bersama Gubernur Militer Aceh Abu
Daud Beureueh berangkat ke Kutaradja (Banda Aceh) untuk mengadakan pertemuan
dengan para saudagar Aceh di Hotel Atjeh, di sebelah selatan masjid Raya
Baiturrahman. Dalam pertemuan itu Soekarno ‘merengek’ kepada masyarakat Aceh
untuk menyumbang dua pesawat terbang untuk negara. Siang itu Presiden Soekarno
sempat tidak mau makan sebelum menadapat jawaban dari Tgk Daud Beureu’eh.
Setelah berembug lagi para saudagar Aceh lalu diputuskan bersedia menyumbang
dua pesawat terbang sebagaimana diminta Soekarno, lalu masyarakat Aceh dengan
cepat mengumpulkan uang yang akhirnya mampu dibeli dua peswat yaitu Seulawah I
dan Seulawah II.
Dua
peswat itu juga merupakan cikal bakal lahirnya pesawat Garuda Indonesia Airways
dan Radio Rimba Raya di Kawasan Kabupaten Bener Meriah. Radio Rimba Raya yang
mengudara ke seluruh penjuru dunia, dengan menggunakan beberapa bahasa asing
juga merupakan cikal bakal RRI sekarang ini. “Dan itu juga bagian dari radio
perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.”
C. Letak Geografis
Kabupaten
Bireuen adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Menjadi kabupaten otonom sejak tahun 2000 sebagai hasil pemekaran
dari kabupaten Aceh Utara. Kabupaten ini terkenal dengan julukan kota juangnya,
namun sempat menjadi salah satu basis
utama Gerakan Aceh Merdeka. Semenjak diberlakukannya Darurat Militer sejak
bulan Mei 2003, situasi di kabupaten ini berangsur-angsur mulai kembali normal,
meski belum sepenuhnya.
Letak geografis
Kabupaten Bireuen terletak antara
960 19’ BT – 960 54’ BT dan 40 53’ LU – 50 16’ LU. Luas
wilayah Kabupaten Bireuen
seluas 190.120 Ha dengan
pemanfaatan lahan terbesar
37.994 oleh perkebunan rakyat dan lahan kering seluas
34.013 Ha. Pola pemukiman
mengikuti jaringan jalan nasional.
Sekitar pemukiman didominasi oleh sawah, yang menjadi sektor andalan selain
peternakan dan perdagangan.
Salah
satu permasalahan penting dalam pembangunan adalah masalah kepundudukan. Jumlah
penduduk yang banyak merupakan modal untuk melaksanakan pembangunan apabila
diimbangi oleh kualitas yang baik namun sebaliknya apabila kualitasnya
rendah, maka akan menjadi beban bagi
pemerintah. Jumlah penduduk Kabupaten Bireuen pada Tahun 2006 mencapai 354,763
jiwa yang terdiri dari 174.258 jiwa laki-laki dan 180.505 jiwa perempuan.
Sedangkan pada tahun 2005 jumlah penduduk 351.835 jiwa yang terdiri dari
169.365 jiwa laki-laki 182.470 jiwa perempuan. Ini artinya penduduk Kabupaten
Bireuen mengalami kenaikan sebesar 0.83%.
Jika
dibandingkan dengan tahun 2005 angka pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bireuen
mengalami kenaikan sebesar 0,49%. Besarnya angka pertumbuhan penduduk ini disebabkan oleh beberapa faktor di
antaranya semakin membaiknya
tingkat perrtumbuhan ekonomi,
adanya migrasi dan
juga angka kelahiran
yang semakin meningkat.
Sejak
berdirinya Kabupaten Bireuen berdasarkan Undang-undang No.48 tahun 1999 telah
terjadi perkembangan yang cukup signifikan dalam bidang pemerintahan, dimana
pada awalnya terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan, namun sampai dengan akhir tahun
2006 telah dimekarkan menjadi 17 Kecamatan. Jumlah Rumah Tangga di Kabupaten
Bireuen pada tahun 2006 tercatat sebanyak 77.257 rumah tangga dengan rata-rata
5 jiwa per rumah tangga. Penyebaran
penduduk di Kabupaten Bireuen pada tahun 2006 sebagian besar terkonsentrasi di
Kecamatan Kota Juang dengan tingkat kepadatan penduduk 1.3390.4 jiwa/km dan 356.5
jiwa/km untuk Kecamatan Peusangan. Serta diikuti oleh Kecamatan Jeumpa dengan
kepadatan 404 jiwa/km. Sedangkan untuk kecamatan yang paling sedikit jumlah
penduduknya adalah Kecamatan Pandrah dengan
jumlah penduduk sebanyak 7420 jiwa dengan tingkat kepadatan
83 jiwa/km. Mata pencarian penduduk Kabupaten Bireuen masih dikategorikan ke
dalam wilayah agraris. Hal ini bisa diamati dari jumlah penduduk yang sebagian
besarnya masih berprofesi sebagai petani. Di samping itu mata pencaharian
penduduk lainnya di Perdagangan, Perikanan, Swasta, Wiraswasta, PNS, TNI/POLRI,
buruh dan jasa.
D. Bireuen Dalam Sejarah
Kabupaten
Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa
merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar
Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di Desa Blang Seupeung, Kecamatan
Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Kerajaan-kerjaan kecil di Aceh tempo dulu termasuk
Jeumpa mengalami pasang surut. Apalagi setelah kehadiran Portugis ke Malaka
pada tahun 1511 M yang disusul dengan kedatangan Belanda. Secara de facto
Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki
benteng Kuta Glee di Batee Iliek, di bagian barat Kabupaten Bireuen.
Kemudian
dengan Surat Keputusan Vander Guevernement General Van Nederland Indie tanggal
7 September 1934, Aceh dibagi menjadi enam Afdeeling (kabupaten) yang dipimpin
oleh seorang Asisten Residen. Salah satunya adalah Afdeeling Noord Kust van
Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang dibagi dalam tiga Onder Afdeeling (kewedanan).
Kewedanan dikepalai oleh seorang Countroleur (wedana) yaitu: Onder Afdeeling
Bireuen (kini Kabupaten Bireuen), Onder Afdeeling Lhokseumawe (Kini Kota
Lhokseumawe) dan Onder Afdeeling Lhoksukon (Kini jadi Ibu Kota Aceh Utara).
Selain Onder Afdeeling tersebut, terdapat juga beberapa daerah Ulee Balang
(Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya,
yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa dan Peusangan yang diketuai oleh
Ampon Chik.
Pada
masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling
diganti dengan Gun, Zelf Bestuur disebut Sun. Sedangkan mukim disebut Kun dan
gampong disebut Kumi. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Aceh Utara
disebut Luhak, yang dikepalai oleh Kepala Luhak sampai tahun 1949. Kemudian,
setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar
pada 27 Desember 1949, dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
dengan beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera
Timur, Aceh dan Sumatera Utara tergabung didalamnya dalam Provinsi Sumatera
Utara.
Kemudian
melalui Undang-Undang Darurat nomor 7 tahun 1956 tentang pembentukan daerah
otonom setingkat kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, maka dibentuklah Daerah
Tingkat II Aceh Utara. Keberadaan Aceh dibawah Provinsi Sumatera Utara
menimbulkan rasa tidak puas masyarakat Aceh. Para tokoh Aceh menuntut agar Aceh
berdiri sendiri sebagai sebuah provinsi. Hal ini juga yang kemudian memicu
terjadinya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada
tahun 1953.
Pemberontakan
ini baru padam setelah keluarnya Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
Nomor 1/Missi/1957 tentang pembentukan Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Aceh
Utara sebagai salah satu daerah Tingkat dua, Bireuen masuk dalam wilayah
Kabupaten Aceh Utara. Baru pada tahun 1999 Bireuen menjadi Kabupaten tersendiri
setelah lepas dari Aceh Utara selaku Kabupaten induk, pada 12 Oktober 1999,
melalui Undang Undang Nomor 48 tahun 1999.
Kabupaten
Bireuen terletak pada jalur Banda Aceh – Medan yang di apit oleh tiga (3)
kabupaten, yaitu Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Pidiy Jaya dan Kabupaten
Aceh Utara yang membuat Bireuen sebagai daerah transit yang maju. Daerah
tingkat dua pecahan Aceh Utara ini termasuk Wilayah agraris. Sebanyak 52,2
persen wilayah Bireuen adalah wilayah pertanian. Kondisi itu pula yang membuat
33,05 persen penduduknya bekerja di sektor agraris. Sisanya tersebar di
berbagai lapangan usaha seperti jasa perdagangan dan industri. Dari lima
kegiatan pada lapangan usaha pertanian, tanaman pangan memberi kontribusi
terbesar untuk pendapatan Kabupaten Bireuen. Produk andalan bidang ini adalah
padi dan kedelai dengan luas tanaman sekitar 29.814 hektar. Sentra produksi
padi terdapat di Kecamatan Samalangan, Peusangan, dan Gandapura. Untuk
pengairan sawah, kabupaten ini memanfaatkan tujuh sungai yang semua bermuara ke
Selat Malaka. Salah satunya, irigasi Pante Lhong, yang memanfaatkan air Krueng
Peusangan. Padi dan kedelai merupakan komoditas utama di kabupaten ini.
Bireuen
juga dikenal sebagai daerah penghasil pisang. Paling banyak terdapat di
Kecamatan Jeumpa. Pisang itu diolah jadi keripik. Karena itu pula Bireuen
dikenal sebagai daerah penghasil keripik pisang. Komoditas khas lainnya adalah
giri matang, sejenis jeruk bali. Buah ini hanya terdapat di Matang
Geulumpangdua. Potensi kelautan juga sangat menjanjikan. Untuk menopang hal itu
di Kecamatan Peudada dibangun Pusat Pendaratan Ikan (PPI). Selain itu ada juga
budi daya udang windu. Sementara untuk pengembangan industri, Pemerintah
Kabupaten Bireuen menggunakan kawasan Gle Geulungku sebagai areal pengembangan.
Untuk kawasan rekreasi, Bireuen menawarkan pesona Krueng Simpo dan Batee Iliek.
Dua sungai yang menyajikan panorama indah. Daerah pecahan Aceh Utara ini juga
dikenal sebagai kota juang. Beragam kisah heroik terekam dalam catatan sejarah.
Benteng pertahanan di Batee Iliek merupakan daerah terakhir yang diserang
Belanda yang menyisakan kisah kepahlawan pejuang Aceh dalam menghadapi Belanda.
Kisah
heroik lainnya, ada di kubu syahid lapan di Kecamatan Simpang Mamplam. Pelintas
jalan Medan-Banda Aceh, sering menyinggahi tempat ini untuk ziarah. Di kuburan
itu, delapan syuhada dikuburkan. Mereka wafat pada tahun 1902 saat melawan
pasukan Marsose, Belanda. Kala itu delapan syuhada tersebut berhasil menewaskan
pasukan Marsose yang berjumlah 24 orang. Namun, ketika mereka mengumpulkan
senjata dari tentara Belanda yang tewas itu, mereka diserang oleh pasukan
Belanda lainnya yang datang dari arah Jeunieb.
Kedelapan
pejuang itu pun syahid. Mereka adalah : Tgk Panglima Prang Rayeuk Djurong
Bindje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Bale Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu
Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Sjech Lantjok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane,
serta Nyak Ben Matang Salem Blang Teumeuleuk. Makan delapan syuhada ini
terletak di pinggir jalan Medan – Banda Aceh, kawasan Tambue, Kecamatan Simpang
Mamplam. Makam itu dikenal sebagai kubu syuhada lapan.
Salah
satu Peninggalan Situs Sejarah Kabupaten Bireuen yaitu :
Ø Istana
Tun Sri Lanang (Rumoh Krueng)
Istana
Tun Sri Lanang atau yang dikenal dengan nama Rumoh Krueng adalah sebuah
bangunan tempat tinggal Tun Sri Lanang tahun 1613-1659. Yang terletak di Mukim
Kuta Blang Kecamatan Samalanga. Istana
Tun Sri Lanang terbuat dari kayu beratap rumbia yang menghadap ke arah selatan dengan denah persegi panjang yang
berukuran 18 x 12,17 meter. Istana ini memilki bentuk atau ciri khas bangunan
tradisional Aceh : berbentuk rumah panggung, mempunyai atap tampung lima,
memunyai dua serambi atau seramoe keue dan seramo likoet yang berfungsi seramoe
keue (serambi depan) untuk tempat bertamu kaum laki-laki dan seramoe likoet
atau serambi belakang untuk tamu-tamu kaum perempuan. Kemudian pada bagian
tengah ada kamar tidur dalam bahasa Aceh disebut Juree. Secara umum bangunan
atau Istana Tun Sri lanang ini didominasi oleh warna putih dengn pemakaian
warna hijau sebagai penegasan bentuk elemen bangunan.
Ø Makam
Tun Srilanang (Raja pertama samalanga)
Di
daerah Samalanga terdapat makam Tun Sri Lanang, Makam Tun Seri Lanang masih
dapat dijumpai di Desa Meunasah Lueng, Kec. Samalanga, Kabupaten Bireuen. Tidak
jauh dari kawasan makam terdapat masjid dan dayah Kota Blang yang telah menjana
ramai tokoh alim-ulama. Apa yang menarik, bentuk masjid tidak sama dengan
masjid-masjid yang ada di Aceh. Dengan kata lain, sangat kental dengan nuansa
Melayu. Tun Sri Lanang adalah raja pertama kerajaan Samalanga. Sebenarnya dia
seorang Bendahara di Kerajaan Johor. Nama aslinya adalah Tun Muhammad. Dia
diangkat menjadi raja Samalanga pada tahun 1615.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ø Kabupaten
Bireuen adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Kabupaten ini menjadi
wilayah otonom sejak tahun 1999/2000 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten
Aceh Utara.
Ø Kabupaten
Bireuen Pernah Menjadi Ibukota Indonesia yang ketiga.
Ø Presiden
Pertama indonesia pernah menetap di pendopo Bireuen.
A. Saran
Dengan
mengetahui sejarah Bireuen, mudah-mudahan ini menjadi pelajaran bahwa
sebenarnya Bireuen khususnya dan Aceh pada Umumnya turut ambil peran dalam
kemerdekaan Indonesia dan juga terbentuknya PT Garuda. Dan jangan sampai kita
di khianati dan dilupakan untuk kesekian kalinya.
0 Response to "MAKALAH ASAL USUL KABUPATEN BIREUEN"
Post a Comment