SEJARAH HASAN TIRO (makalah)
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hasan Di Tiro
Teungku
Hasan Muhammad di Tiro (lahir di Pidie, Aceh, 25 September 1925-meninggal di
Banda Aceh, 3 Juni 2010 pada umur 84 tahun) adalah seorang tokoh pendiri
Gerakan Aceh Merdeka, sebuah gerakan yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan
Aceh dari Indonesia. Gerakan tersebut resmi berdamai lewat perjanjian Helsinki
pada 2005 dan melucuti senjata mereka. Hasan dianggap "wali", karena
dia adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro, pahlawan
nasional Indonesia yang berperang melawan Belanda pada 1890an.
Berasal
dari sebuah keluarga terpadang, dari desa Tiro di Kabupaten Pidie, di Tiro
belajar di Yogyakarta dan melawan Belanda saat Revolusi Nasional Indonesia. Ia
kemudian melanjutkan belajar di Amerika Serikat dan bekerja paruh waktu di Misi
Indonesia untuk PBB. Saat belajar di New York pada 1953, ia mendeklarasikan
dirinya sebagai "menteri luar negeri" untuk gerakan pemberontak Darul
Islam, yang di Aceh dipimpin Daud Beureueh. Karena aksi ini, ia dicabut
kewarganegaraan Indonesia, menyebabkan dia dipenjara di Penjara Ellis Island
sebagai warga asing ilegal, Pemberontakan Darul Islam di Aceh sendiri berakhir
dengan perjanjian damai pada 1962. Dibawah perjanjian damai, Aceh diberikan
status otonomi.
Hasan
Di Tiro kembali muncul di Aceh pada tahun 1974, di mana ia mengajukan tawaran
untuk kontrak pipa di pabrik gas baru Mobil Oil yang akan dibangun di daerah
Lhokseumawe. Dia dikalahkan oleh Bechtel, dalam proses tender di mana Hasan di
Tiro berpikir pemerintah pusat memiliki terlalu banyak kontrol terhadap gas di
Aceh. Ada klaim yang menyatakan bahwa, sebagai akibat dari kerugian dan
kematian saudaranya karena apa yang ia dianggap sebagai kelalaian yang
disengaja oleh dokter dari etnis Jawa, di Tiro mulai mengorganisir gerakan
separatis menggunakan kenalan lamanya di Darul Islam.
Dia
menyatakan organisasinya sebagai Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera, lebih
dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976. Di antara
tujuannya adalah kemerdekaan penuh Aceh dari Indonesia. Di Tiro memilih
kemerdekaan sebagai salah satu tujuan GAM, bukan otonomi khusus daerah, karena
fokus pada sejarah Aceh sebelum masa kolonial Belanda sebagai sebuah negara
merdeka. GAM berbeda dari pemberontakan Darul Islam yang berusaha untuk
menggulingkan ideologi Pancasila yang sekuler dan menciptakan negara Islam
Indonesia berdasarkan syariah. Dalam "Deklarasi Kemerdekaan", ia
mempertanyakan hak Indonesia untuk berdiri sebagai negara, karena pada asalnya
itu adalah negara multi-budaya berdasarkan kekaisaran kolonial Belanda dan
terdiri dari negara-negara sebelumnya yang terdiri atas banyak sekali etnis
dengan sedikit kesamaan. Dengan demikian, Hasan di Tiro percaya bahwa rakyat
Aceh harus memulihkan keadaan pra-kolonial Aceh sebagai negara merdeka dan
harus terpisah dari negara Indonesia.
Karena
fokus baru pada sejarah Aceh dan identitas etnik yang berbeda, beberapa
kegiatan GAM melibatkan serangan terhadap para transmigran, terutama mereka
yang bekerja dengan tentara Indonesia, dalam upaya untuk mengembalikan tanah
Aceh untuk masyarakat Aceh. Transmigran etnis Jawa di antara mereka yang paling
sering menjadi target, karena banyak di antara mereka yang berhubungan dekat
mereka dengan tentara Indonesia. Prinsip militer GAM, bagaimanapun, melibatkan
serangan gerilya terhadap tentara dan polisi Indonesia.
Pada
tahun 1977, setelah memimpin serangan GAM di mana salah satu insinyur Amerika
Serikat tewas dan satu insinyur Amerika lain dan satu insinyur Korea Selatan
terluka, Hasan diburu oleh militer Indonesia. Ia ditembak di kaki dalam sebuah
penyergapan militer, dan melarikan diri ke Malaysia.
Dari
tahun 1980, di Tiro tinggal di Stockholm, Swedia dan memiliki kewarganegaraan
Swedia. Selama periode ini Zaini Abdullah, yang menjadi gubernur Aceh pada Juni
2012, adalah salah satu rekan Aceh terdekatnya di Swedia. Setelah tsunami pada
bulan Desember 2004, GAM dan pemerintah Indonesia setuju untuk menandatangani
perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada Agustus 2005.
Menurut ketentuan perjanjian perdamaian, yang diterima oleh pimpinan politik
GAM dan disahkan oleh di Tiro, Aceh mendapat status otonomi yang lebih besar.
Tak lama setelah itu, sebuah Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh disahkan oleh parlemen nasional di Jakarta untuk mendukung
pelaksanaan perjanjian damai. Pada bulan Oktober 2008, setelah 30 tahun
pengasingan, di Tiro kembali ke Aceh.
Selama
konflik, pada tiga kesempatan terpisah pemerintah Indonesia keliru menyatakan
bahwa Hasan di Tiro telah meninggal.
Pada
11 Oktober 2008, setelah 30 tahun, dia kembali ke Banda Aceh. Masalah
kesehatannya membuatnya tak berperan aktif dalam percaturan politik Aceh
selanjutnya. Dia kembali ke Swedia dua pekan berikutnya.
Setahun
kemudian, ia kembali ke Aceh, dan bertahan di sana sampai kematiannya. Pada 2
Juni 2010, Hasan dianugerahi status warga negara oleh pemerintah Indonesia.
Hari berikutnya, ia meninggal di rumah sakit di Banda Aceh.
B. Sejarah Berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan
Tiro
Sejarah
lahirnya Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro lahir pada 4 Desember 1976. Tapi
sebenarnya catatan sejarah Aceh Merdeka atau Gerakan Aceh Merdeka baru
didirikan pada 20 Mei 1977. Hasan Tiro lah yang memilih hari lahir GAM adalah
pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan proklamasi
kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit Cokan,
pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana,
dilakukan di suatu tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan
ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam. Bersamaan
dengan proklamasi kemerdekaan, Hasan Tiro juga mengumumkan struktur
pemerintahan Negara Aceh Sumatera. Akan tetapi, kabinet tersebut belum
berfungsi hingga pertengahan 1977, persoalannya adalah karena para anggota
kabinet pada umumnya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk kampanye dan
persiapan perang gerilya. Kabinet Negara Aceh Sumatera baru dapat melaksanakan
sidang pertamanya pada 15 Agustus 1977. Sedangkan upacara pelantikan dan
pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan pada 30 Oktober 1977 di camp Lhok
Nilam pedalaman Tiro, Pidie. Kabinetnya sendiri pada waktu itu, hanyalah
terdiri dari beberapa orang saja, yaitu: Presiden (Hasan Muhammad Tiro),
Perdana Menteri (Dr.Muchtar Hasbi), Wakil Perdana Menteri (Teungku Ilyas
Leube), Menteri Keuangan (Muhammad Usman), Menteri Pekerjaan Umum (Ir.Asnawi
Ali), Menteri Perhubungan (Amir Ishak BA), Menteri Sosial (Dr.Zubir Mahmud) dan
Menteri Penerangan (M. Tahir Husin).
Sejarah
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini tidak mengkhususkan deskripsi pada peristiwa
detail secara kronologis yang berkaitan pada kejadian disekitar proklamasi ini.
Akan tetapi lebih menarik untuk memaparkan latar belakang kelahiran dan
motif-motif yang melahirkan peristiwa ini. Tidak sama dengan kelahiran manusia
yang bisa dipastikan dari satu sebab tunggal, yakni proses prokreasi, maka
kelahiran GAM sebagai sebuah peristiwa tidak disebabkan faktor yang tunggal
namun multifaktor. Terdapat berbagai pendapat yang telah menjelaskan beberapa
hal yang menjadi kausa peristiwa ini.
Pertama,
sejarah lahirnya Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro bahwa GAM merupakan lanjutan
perjuangan atau setidaknya terkait Sejarah Darul Islam (DI) Aceh yang
sebelumnya pernah meletus pada 1950-an. Tesis ini, didukung oleh Isa Sulaiman
yang menilai keterkaitan GAM dangan DI, karena persoalan DI tidak diselesaikan
secara tuntas. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis
bahwa ada yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh Sukarno
untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII Daud Beureueh. Namun, penulis menilai
tesis ini lemah karena meski memiliki beberapa keterkaitan, tapi bukti bahwa
GAM ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam sebagai dasar perjuangan dan
lebih memilih nasionalisme Aceh sebagai isu polpulisnya merupakan antitesis
yang jelas menggugurkan pendapat ini.
Kedua,
sejarah lahirnya Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro karena faktor ekonomi, yang
berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah.
Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di
kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran
pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional.
Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi
dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di
Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada
1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki
kehidupan sosial ekonomi dan budaya Aceh dan Adat Aceh dalam tatanan
masyarakat.
C. Perjuangan Pembebasan Aceh
Pejuang-pejuang
Aceh masa lampau sudah pun pergi satu persatu dengan meninggalkan banyak hasil
karya dan hasil perjuangannya bagi bangsa ini. Laksamana Malahayati sudah
meninggalkan pasukan Inong Balee yang tangguh, Ali Mughayyatsyah telah
meninggalkan Kerajaan Aceh Darussalam (KAD), Iskandar Muda telah meninggalkan
KAD dengan wilayah luas sampai hampir seluruh Pulau Sumatera dan semenanjung
Malaysia. Al-Qahhar telah meninggalkan diplomasi dan hubungan dua hala sampai
ke Turki dan Eropa, sultanah Safiatuddinsyah telah meninggalkan khazanah
intelektualitas bangsa di masa kerajaan dahulu.
Di
masa perjuangan kemerdekaan; Tgk. Syhik di Tiro Muammad Saman meninggakan
kader-kader militan dan ulama-ulama beken. Teuku Umar meninggalkan tipu
muslihat terhadap Belanda, Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia meninggalkan sikap
istiqamah dan konsekuensi yang paling tinggi. Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh
meninggalkan konsep politik dan pendidikan Islam jitu dan keberanian yang
paling tinggi. Tengku Muhamamd Hasan bin Muhammad Tiro (Hasan Tiro) telah
meninggalkan sikap berani dan kader-kader pejuang nasionalis Aceh yan paling
jitu.
Dalam
konteks perjuangan bangsa Aceh melawan kedhaliman Indonesia, hanya dua tokoh
Aceh terakhir yang menjadi rujukan orang banyak; Daud Beureu-éh dan Hasan Tiro.
Kedua tokoh ini mempunyai konsep perjuangan yang sangat jelas dan memiliki
pengikut yang amat banyak di seluruh Aceh dan juga luar Aceh. Kedua tokoh ini
sudah berhasil menggoyang detak jantung para pemimpin Indonesia pada masanya
masing-masing. Artinya perjuangan yang diterajui keduanya membuat Indonesia
kelabakan dan hilang kestabilannya. Dan keduanya dimuliakan Indonesia di akhir
perjuangannya, hal ini yang jarang terjadi pada pemberontakan lain di dunia
ini. Daud Beureu-éh dijemput di Mardhatillah (tempat tinggalnya di gunung) oleh
pemerintah Indonesia, dan Hasan Tiro diberikan status warga negara Indonesia
satu hari menjelang kemangkatannya.
Lalu
bagaimana perbedaan perjuangan kedua pemimpin dan tokoh kharismatik itu? Daud
Beureu-éh yang lahir di Beureu-éh Meunasah Dayah Kecamatan Mutiara Kaupaten
Pidie 10 Jumadil Akhir 1316 H/1896 M dan meninggal tahun 1987 itu telah
meletakkan batu azas sebuah negara Islam Aceh yang dijulukinya Republik Islam
Aceh (R.I.A). Sementara Hasan Tiro yang lahir 25 September 1925 di gampong
Tanjong Bungong Kecamatan Kota Bakti Kabupaten Pidie dan mangkat Khamis 3 Juni
2010 telah meletakkan azas politik nasional Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM).
Kedua
tokoh itu memiliki kesamaan konsep dalam upaya membebaskan Aceh dari kungkungan
dan aneksasi Indonesia yang dalam masa-masa tertentu selalu menghina dan
menjajah Aceh. Pada masanya Daud Beureu-éh telah berupaya keras lewat jalur
pendidikan yang didirikan di merata tempat seluruh Aceh seperti di Usi, Garot,
Pidie, Blang Paseh Kabupaten Pidie, di Bireuen dan Banda Aceh. Selain itu
beliau juga menggerakkan SDM yang ada untuk berdakwah seluruh Aceh lewat
lembaga Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) sehingga Aceh menyatu dengannya dan
Aceh nyaris dipimpin oleh kader-kader PUSA.
Ketika
Indonesia mengkhianati dan mendiskriminasi Aceh seperti mengadu domba antara
para ulama PUSA dengan ulama tradisional, dengan kaum uleebalang dan dengan
gerakan Said Ali Assagaf cs. Maka benih-benih perlawanan Aceh terhadap jakarta
mulai tumbuh, ia lebih cepat berbenih ketika Jakarta dengan sengaja
memecahbelahkan pemerintahan PUSA dengan cara memindahkan hampir seluruh kader
PUSA dari kalangan tentara, polisi dan pamong praja keluar Aceh dan diganti
dengan orang-orang lain yang mayoritasnya non muslim. Paling puncak klimaks
perlawanan itu muncul ketika Jakarta meleburkan provinsi Aceh dan
menggabungkannya kedalam provinsi Sumatera Utara tahun 1950.
Berawal
dari rangkaian kekejian itulah Teungku Muhammad Daud Beureu-éh mempertimbangkan
desakan rakan-rakan dan mengambil kesimpulan untuk berontak melawan Indonesia
yang disifatkannya sebagai Republik Indonesia Komunis (RIK). Gerakan itu
dimulai dengan mengisytiharkan DI/TII Aceh sebagai patner DI/TII Jawa Barat
pimpinan S. M. Karto Suwiryo tahun 1953. Pada waktu itu pusat perhatian kaum
pemberontak Aceh adalah melawan Indonesia yang dhalim dan mewujudkan Indonesia
yang Islami. Ketika ada beberapa hal yang tidak memungkinkan untuk itu,
kemudian Teungku Muhammad Daud Beureu-éh merubah haluan perjuangan menjadi
Negara Bahagian Aceh Negara Islam Indonesia (NBA NII). Dan terakhir ketika nama
Indonesia tidak mungkin lagi digunakan karena beberapa faktor sangat mendasar,
ulama dan pemimpin kharismatik Aceh tersebut menukarnya dengan Negara Republik
Islam Aceh (NRIA).
Lain
halnya dengan pemberontakan Hasan Tiro yang juga menyerbu Indonesia untuk
mewujudkan Negara Aceh. Perjuangan Hasan Tiro menyerbu Indonesia sejak dari
awal mulai dari Aceh untuk Aceh, berbeda dengan Daud Beureu-éh yang memulai
dari Indonesia untuk Aceh. Hasan Tiro semenjak mendeklarasikan Aceh Merdeka 4
Desember 1976 sampai terjadinya perdamaian yang difasilitasi mantan perdana
menteri Finlandia Martti Ahtisaari 15 Agustus 2005 tetap saja mendobrak Jakarta
agar melepaskan Aceh dari kungkungan Indonesia dan menjadi sebuah negara yang
berdaulat di permukaan bumi. Latarbelakang pemberontakan yang dibangun Hasan
Tiro adalah berdasarkan faktor kedhaliman dan ketidak adilan Indonesia terhadap
Aceh pada masa presiden Soeharto. Selain itu muncul juga desas desus kegagalan
Hasan Tiro untuk mengelola PT. Aron di Lhokseumawe karena pihak Jakarta
mengontrakkannya kepada perusahaan luar negeri lainnya.
Dr.
Munawar Abdul Djalil dalam bukunya; Hasan Tiro berontak antara alasan historis,
yuridis dan realitas sosial, yang diterbitkan Adnin Foundation Publisher Banda
Aceh 2009 menjelaskan dengan detil penyebab-penyebab Hasan Tiro beronta dan
latar belakang pemberontakannya. Kedua tokoh Aceh ini memiliki tujuan yang sama
dalam perjuangan membebaskan Aceh dari Indonesia. Cuma mereka berbeda
latarbelakang dalam mewujudkan sebuah cita-cita. Aktifitas Teungku Hasan
Muhammad di Tiro semasa masih mudah sekitar usia dibawah 15 tahun terlibat
dalam "organisasi kepemudaan pada Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Kecamatan
Lamlo, Pidie. Masuk dalam Gabungan Pelajar Islam daerah Aceh (GAPIDA) yang
berpusat di kota Juang Bireun, dan pernah menjadi Ketua Umumnya. Juga masuk
dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Di Lamlo pula, Hasan
mengibarkan bendera merah putih dan mentabik (memberi penghormatan) dengan rasa
khusyu dan khidmatnya", seperti yang ditulis oleh Teungku Lamkaruna.
Jelas,
bisa dimengerti dan dipahami, mengapa pemuda belasan tahun Teungku Hasan
Muhammad di Tiro terlibat dalam organisasi kepemudaan pada Barisan Pemuda
Indonesia (BPI) Kecamatan Lamlo, mengibarkan bendera merah putih, dan
mentabiknya. Aktif dalam Gabungan Pelajar Islam daerah Aceh (GAPIDA) yang
berpusat di kota Juang Bireun, dan pernah menjadi Ketua Umumnya. Juga aktif
dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Karena memang, pemuda Teungku
Hasan Muhammad di Tiro pada saat itu, tidak memiliki ilmu pengetahuan sejarah perjuangan
Negeri Aceh yang dalam, ditambah minimnya pengetahuan tentang perobahan
ketatanegaraan Negeri Aceh, RI, dan Negara-Negara lainnya di luar RI. Dimana
ilmunya hanya diperoleh dari Madrasah Sa'adah Al-Abadiyah di Blang Paseh yang
dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Ditambah sedikit dari Perguruan
Normal Islam Bireun yang dipimpin oleh Teungku M. Nur El-Ibrahimi. Hasan Tiro
awalnya adalah seorang yang sangat nasionalis. Jauh sebelum mengobarkan perang
total dengan Indonesia. Karena jenius, Hasan Tiro direkomendasikan Teungku Daud
Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara,
untuk kuliah di UII. Hasan Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun
1949. Di universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka UII bersama
Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan
DI/TII bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962).
Setelah
itu, Lulus dari UII, ia kemudian mendapat beasiswa dari pemerintah Indoensia
untuk melanjutkan pendidikanya ke Amerika Serikat pada tahun 1953, dan bekerja
paruh waktu di Misi Indonesia untuk PBB. Saat belajar di New York, ia
memperoleh gelar doktor di bidang hukum internasional dari Colombia University.
Di negeri itu ia menikah dengan Dora seorang wanita Amerika Serikat keturunan
Yahudi. Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan membangun
jaringan bisnis di bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan, dan manufaktur
hingga ke Eropa dan Afrika.
Awal
mula pemikiran politiknya mulai berseberangan dengan pemerintah RI ketika di
masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) menggempur pasukan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Hasan Tiro
menganggap tindakan agresif militer kala itu diluar batas toleransi dengan
membantai ratusan warga sipil. Berangkat dari kekecewaan itu lalu kemudian
Hasan Tiro memutuskan meninggalkan KBRI dan bergabung dengan DI/TII Aceh yang
dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20
September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang didirikan
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Tasikmalaya, 7 Agustus
1949.
Dalam
struktur organisasi DI/TII Aceh, Hasan Tiro menjabat sebagai menteri luar
negeri, dan karena jaringannya yang dianggap luas di Amerika Serikat dia pun
mendapat tugas tambahan sebagai "dutabesar" di PBB. Karena aksi ini,
ia dicabut kewarganegaraan Indonesia, menyebabkan dia dipenjara di Penjara
Ellis Island sebagai warga asing ilegal, tapi kemudian dibebaskan lagi. Di
tahun 1961 Daud Beureuh mengubah Aceh menjadi Republik Islam Aceh (RIA).
Sayangnya, ketika itu gerakan DI/TII mulai melemah setelah SM Kartosoewirjo
dinyatakan tertangkap, sementara Kahar Muzakar selaku tokoh DI/TII Sulawesi
Selatan dikabarkan tewas dalam sebuah pertempuran di sebuah hutan Sulawesi
tahun 1965.
Daud
Beureuh menyadari kondisi pasukannya kala itu sudah tidak bisa diandalkan lagi.
Akhirnya ia menerima bujukan Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin
untuk kembali bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya, tanggal 9 Mei 1962
Daud Beureuh bersama komandan pasukannya yang selama ini setia, Tengku Ilyas
Leube, memutuskan turun gunung. Bulan Desember perdamaian dirumuskan dalam
Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Setelah pemberontakan DI/TII melemah, Hasan
Tiro yang berada di luar negeri ikut melunak.
Pertengahan
1974 dia kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu,
Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor
pembangunan tambang gas di Arun. Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi
permintaan ini. Bechtel Inc, sebuah perusahaan dari California, Amerika
Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai kontraktor
pembangunan pabrik gas Arun. Lagi-lagi, Hasan Tiro kembali harus menelan
kekecewaan. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah
mengelola sumber alam hanya bohong belaka. Sejak saat itu Hasan Tiro mulai lagi
mengorganisir gerakan separatis menggunakan kenalan lamanya di Darul Islam.
Hasan
lalu melompat ke ide yang lebih radikal, dia menggeser pemikirannya ke
nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnya "Masa Depan Politik Dunia
Melayu" menolak ide Republik Indonesia. Menurutnya, Indonesia tak lain
dari proyek "kolonialisme Jawa", dan warisan tak sah perang kolonial
Belanda. Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda
kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan kepada
bangsa-bangsa seperti Aceh atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia
lahir
Pada
4 Desember 1976 Hasan mendeklarasikan organisasinya sebagai Front Pembebasan
Nasional Aceh Sumatera, atau lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
yang tujuannya mendapat kemerdekaan Aceh secara penuh dari Indonesia. Di Tiro
memilih kemerdekaan sebagai salah satu tujuan GAM, berbeda dari pemberontakan
Darul Islam yang berusaha untuk menggulingkan ideologi Pancasila dan mengganti
negara Islam Indonesia berdasarkan syariah.
Genderang
perang pun mulai ditabuh oleh GAM, fokus serangan tentara GAM lebih tertuju
pada etnik transmigran, terutama mereka yang bekerja dengan tentara Indonesia.
Transmigran etnis Jawa yang paling sering menjadi target, karena banyak
diantara mereka yang berhubungan dekat dengan tentara Indonesia. Prinsip militer
GAM melakukan serangan gerilya terhadap tentara dan polisi Indonesia. Pada
tahun 1977, Hasan diburu oleh militer Indonesia dan Aceh diberlakukan Daerah
Operasi Militer (DOM) oleh pemerintah. Dalam sebuah penyergapan militer, Hasan
ditembak di kaki namun berhasil melarikan diri ke Malaysia. Setelah itu Hasan
Tiro tak pernah kembali lagi ke Aceh. Dari tahun 1980, Hasan Tiro memilih
menetap di Stockholm, Swedia dan memiliki kewarganegaraan Swedia.
Perlawanan
Hasan tak berhenti sampai di situ, ia membangun kembali gerakan bersenjatanya
di luar Aceh. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp pelatihan militer.
Selama empat tahun kemudian, dia melatih hampir 800 pemuda Aceh. Tak hanya
ketrampilan militer, tapi juga dan ideologi keAcehan. Selama di Libya, Hasan terlibat
intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama tahun-tahun itu dia ditunjuk
selaku Ketua Komite Politik World Mathabah, satu organisasi revolusioner
berbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan pemimpin Libya Muamar Khadafi, untuk
suatu proyek melawan hegemoni Amerika.
Setelah
tsunami melanda Aceh pada bulan Desember 2004, GAM dan pemerintah Indonesia
setuju untuk menandatangani perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki,
Finlandia pada Agustus 2005. Menurut ketentuan perjanjian perdamaian, yang
diterima oleh pimpinan politik GAM dan disahkan oleh Hasan Tiro, Aceh mendapat
status otonomi yang lebih luas. Tak lama setelah itu, sebuah Undang-Undang baru
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh disahkan oleh parlemen nasional di
Jakarta untuk mendukung pelaksanaan perjanjian damai itu.
Setelah
30 tahun dalam pengasingan, pada bulan Oktober 2008 Hasan Tiro kembali ke Banda
Aceh. Namun, masalah kesehatan yang mulai menurun membuatnya tak lagi berperan
aktif dalam percaturan politik Aceh selanjutnya. Dia kembali ke Swedia dua
pekan berikutnya. Setahun kemudian, pulang lagi ke Aceh, dan menetap di sana
hingga pada Kamis, 3 Juni 2010 sekitar pukul 12.12 Wib, tokoh kharismatik Aceh
Tengku Muhammad Di Tiro menghembuskan nafas terakhirnya di RS Zainal Abidin.
Padahal, sehari sebelumnya pada 2 Juni 2010, Hasan dianugerahi status warga
negara oleh pemerintah Indonesia.Jasadnya dimakamkan di bawah pohon mangga di
pekarangan Masjid Baitul A'la lil Mujahidin di Beureunen. Makam Hasan Tiro
berdampingan dengan makam buyutnya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Æ Hasan
Tiro, harus menjadi inspirasi bagi semua elite politik di Aceh hari ini. Hasan
Tiro, meninggalkan semua kemewahan hanya untuk membawa kemakmuran bagi Aceh.
Sudah seharusnya, anak didikan Hasan Tiro. Turun tangan, dari kehidupannya bak
seorang raja di tengah teman seperjuangan yang masih bercucuran air mata. Untuk
kembali bersatu bersama elite politik, baik muda maupun tua. Semuanya atas nama
Aceh, atas nama niat baik Hasan Tiro. Niat membangun Aceh bersama-sama?
Æ Para
elite politik yang tergabung dalam partai politik lokal maupun nasional.
Harusnya juga, tidak menjadikan anak didik Hasan Tiro untuk kepentingan politk
yang praktis dan jangka pendek. Kita harus menjaga, supaya anak-anak didikan
Hasan Tiro, tidak menjadi pengemis harta, uang, hingga pengemis kekuasaan,
dengan mengabaikan marwah dan menggadaikan harga diri pada kontestan Pilpres
2014. Semoga, politisi kita, tidak lupa ada ucapan Hasan Tiro, turie droe dan tusoe
droe.
DAFTAR
PUSTAKA
Aceh guerrilla leader flies home".
BBC News. 04:46 GMT, Saturday, 11 October 2008 05:46 UK. Diakses tanggal
2008-10-12.
Aceh's Gam separatists". BBC News.
Monday, 24 January 2005, 14:46 GMT. Diakses tanggal 2008-10-11.
Exiled Aceh leader returns".
aljazeera. Saturday, October 11, 2008. Diakses tanggal 2008-10-11.
HEAD
OF STATE OF ACHEH-SUMATRA". asnlf. 2007. Diakses tanggal 2008-10-12.
Buku
The Price of Freedom & Berbagai Sumber
Hasan di Tiro: Acehnese Terrorist".
www.library.ohiou.edu. Wed Dec 19 1990 - 14:17:00 EST. Diakses tanggal
2008-10-12. An American worker was reportedly killed and another one wounded by
stray bullets in the fighting between our forces and the Indonesian colonialist
forces. This was the sort of thing that we have been trying to avoid for months
http://atjehliterature.co.id/2013/05/sejarah-lahirnya-gerakan-aceh-merdeka-hasan-tiro.html
http://jumpueng.com/2010/06/in-memoriam-wali-nanggroe.html
http://aceh.tribunnews.com/2014/06/10/hasan-tiro-dan-pilpres-2014
http://ummahonline.com/2010/07/25/antara-hasan-tiro-dawud-beureu-eh-dua-pejuang-aceh-berbeza-teknis/
Wikipedia.com
Google.com
0 Response to "SEJARAH HASAN TIRO (makalah)"
Post a Comment