ARABASTA
Untuk menulis ini Kekasih, aku telah berteman dengan sekian malam,
singgah di sekian tempat, mencerna kekerasan, mendustai kehidupan, atau kadang
aku di kejai dunia. Betapa sedihnya, bertahun-tahun lamanya aku bersahabat
dengan kata-kata, berkarip dengan cerita-cerita, namun malam ini ketika kuajak
mereka bertemu, bercengkrama, bersuka ria, datang padaku selaksa gemuruh badai
yang mengamuk di padang sahara, kata per-kata tiba-tiba menjadi pengecut,
menolak datang beralaskan lupa, meski telah kupuji-puja, atau mereka telah
terluka hatinya sebab aku telah memutuskan untuk lebih mencintaimu, mungkin
mereka cemburu.
Percayalah kasih, hampir seutuh waktu yang kian menua, aku terbuai
di jendela, resah memikirkan keajaiban yang tak kunjung benderang, seolah
rembulan yang menghilang di telan hujan, ada memang, tapi susah benar untuk
kujabarkan adanya. Aku memikirkanmu dan ingin sekali kurangkai elokmu, tapi apa
daya, tiba-tiba saja kata berkhianat, cemburuh, memilih lupa, lalu aku bisa apa
?
Jika boleh kutamsilkan, hatimu laksana mutiara dalamnya lautan, dan
aku hanya selongsor cahaya yang menembus jernihnya air, melawan desiran
beriyak, hingga kala cahayaku bertemu dengan mutiaramu, maka berhamburlah
kesilauan yang tak mampu di jabarkan alam. Meski masih ada satu cahaya yang tak
akan mampu kita kalahkan, cahaya kegaiban Tuhan, keabadian, jangan pernah
tanyakan kemestian-kemestian Tuhan yang tidak perlu kita persoalkan, Tuhan
tidak membutuhkan Pembenaran.
Senyummu, kulaksanakan kemera-merahan senja, keindahan yang tidak
akan mampu kunafikan, seberapa-pun sebentarnya itu, senyummu membekas di
sekelibat asa dan cita, bayang-bayang keelokan dalam kemustahilan kupalingkan
hingga dewi malam menjemput, dalam lelap kalang kabut mimpiku masih senjamu.
Cintamu, selaksa mekarnya mawar dalam keindahan, membuka kelopak
pelan-pelan, itu sebabnya cintamu tak datang buru-buru untukku? Sebab tidak ada
kebaikan dalam keburu-buruan, kecuali menguburkan. Kelabu tidak akan mendekat
pada kehati-hatian, senada keingingan kita pada nelangsa keistiqamahan cinta,
pelan saja sayang, kita akan memastikan kepastian.
Maka segalanya pelan-pelan, seamsal kerinduan yang di hantarkan
hujan, sejuk, menenangkan, menuaikan kesyahduan, andai-pun hujan pergi, aroma
tanah geliat semakin memuntahkan kerinduan, hal yang tak mampu diabaikan
kesepian. Atau seumpama siul-siul angin yang melenakan senja, meski di negeri
pasir tak bertepi “Arabasta” sahara yang tak mungkin di dustai cakrawala.
Hingga pelan-pelan mengetuk pintu kepastian dalam “Aku mengetuk
pintu hatimu”, kali ini bukan sebagai bajingan, keparat, melainkan sebagai
pencinta kepastian yang mampu membuktikan keistiqamahan, yang tak akan
berpaling meski itu keharusan, sebab mencintaimu kupastikan sebagai kewajiban,
dan kelak ketika engkau membukakannya untukku, disana aku berdiam hingga
akhirnya aku bersemanyam, di hatimu yang tak mampu lagi engkau gantikan.
Bireuen, 29 Nov 2016
0 Response to "ARABASTA"
Post a Comment