MAKALAH EPISTEMOLOGI ILMU (FILSAFAT ILMU)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berbicara tentang filsafat ilmu, pasti
akan menjumpai istilah epistimologi, sebab manusia tidak hanya memerlukan
kebutuhan pokok saja, Akan tetapi manusia juga memerlukan informasi untuk
mengetahui keadaan di lingkungan sekitar mereka. Dalam upaya untuk memperoleh
informasi, manusia seringkali melakukan komunikasi ataupun cara-cara lain yang
bisa digunakan. Salah satu informasi yang didapat dari komunikasi adalah
pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dapat
memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan. Dalam mencari pengetahuan,
tak jarang manusia harus mempelajari Epistemologi. Epistemologi disebut juga
sebagai teori pengetahuan karena mengkaji seluruh tolak ukur ilmu-ilmu manusia,
termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan
dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan.
Dari sebab itu, dalam kesempatan ini
kami akan membahas tentang “Epistemologi Ilmu” secara ringkas, dengan harapan
agar mudah di pahami dan dimengerti.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Apa
pengertian Epitemologi.
2. Apa
saja sumber Epistimologi.
3. Bagaimana
Instumen Epistimologi.
C.
Tujuan
Penulisan
1. Memahami
arti dari Epistemologi.
2. Mengetahui
sumber-sumber Epistemologi ilmu.
3. Dana
memahami instumen dari Epistemologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Epistemologi
Epistemologi
berasal dari Bahasa Yunani Episteme dan Logos. Episteme biasa
diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan Logos diartikan pikiran, kata, atau
teori. Secara etimologi Epistemologi dapat diartikan, teori pengetahuan yang
benar, dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa
Inggrisnya menjadi Theory of Knowledge.
Epistemologi (ma’rifah) dalam bahasa Arab mempunyai banyak penggunaan, tetapi lazimnya berarti pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan informasi. Adakalanya digunakan dalam arti pencerahan khusus (idrak juz’i/ particular perception), kadang-kadang juga dipakai dalam arti ilmu yang sesuai dengan kenyataan dan melahirkan kepastian dan keyakinan. Pengetahuan yang menjadi pokok bahasan epistemologi boleh jadi mempunyai salah satu pengertian tersebut atau pengertian lainnya. Pembahasan mengenai epistemologis tidak terbatas pada satu jenis pengetahuan. Konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan nyata (badihi/ self-evident). Epistemologis dapat didefinisikan sebagai “bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenaran.”
Teori epistemologi bertalian erat dengan persoalan idea. Menurut Plato pengetahuan (ma’rifah) tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya apabila pancaindera kita berhadapan dengan sesuatu, maka teringatlah kita akan contoh-contohya (mutsul), dan muncullah kembali pengetahuan yang kita peroleh sewaktu kita masih hidup dalam suatu alam, dimana kita dapat melihat ide yang azali dengan jalan pengabstrakan terhadap gambaran-gambaran dari wujud-wujud inderawi.
Epistemologi (ma’rifah) dalam bahasa Arab mempunyai banyak penggunaan, tetapi lazimnya berarti pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan informasi. Adakalanya digunakan dalam arti pencerahan khusus (idrak juz’i/ particular perception), kadang-kadang juga dipakai dalam arti ilmu yang sesuai dengan kenyataan dan melahirkan kepastian dan keyakinan. Pengetahuan yang menjadi pokok bahasan epistemologi boleh jadi mempunyai salah satu pengertian tersebut atau pengertian lainnya. Pembahasan mengenai epistemologis tidak terbatas pada satu jenis pengetahuan. Konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan nyata (badihi/ self-evident). Epistemologis dapat didefinisikan sebagai “bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenaran.”
Teori epistemologi bertalian erat dengan persoalan idea. Menurut Plato pengetahuan (ma’rifah) tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya apabila pancaindera kita berhadapan dengan sesuatu, maka teringatlah kita akan contoh-contohya (mutsul), dan muncullah kembali pengetahuan yang kita peroleh sewaktu kita masih hidup dalam suatu alam, dimana kita dapat melihat ide yang azali dengan jalan pengabstrakan terhadap gambaran-gambaran dari wujud-wujud inderawi.
Dan
karena epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan Tentang “bagaimana
kita mendapatkan pengetahuan?” sehingga untuk memperoleh jawabannya, kita harus
terlebih dahulu mengetahui sumber pengetahuannya dan tentang terjadinya
pengetahuan maupun asal mulanya pengetahuan. Dan harus menggunakan metode
ilmiah sehingga pengetahuan itu dapat dipastikan kebenarannya.
B.
Sumber-sumber
Epitemologi
Teori
pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan tentang sumber-sumber
pengetahuan tempat bahan-bahannya diperoleh. Sumber-sumber itu menurut filosof,
tidak lain adalah indra, akal dan hati. Ada juga yang berpendapat bahwa
sumber-sumber epistemologi itu antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Alam
Adalah Sumber Epistemologi
Salah
satu sumber epistemologi adalah alam semesta ini. Yang dimaksud dengan alam,
adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan, alam yang sekarang kita
tengah hidup didalamnya, dan kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan
menggunakan berbagai alat indera kita. sedikit sekali fakultas yang menolak
alam sebagai sumber epistemologi, tetapi baik pada masa dahulu dan juga pada
masa sekarang ini ada beberapa ilmuan yang tidak mengakui alam sebagai suatu
sumber epistemologi. Plato tidak mengakui alam sebagai suatu sumber epistemologi,
karena hubungan manusia dengan alam adalah dengan perantaraan alat indera, dan
sifatnya partikular (juz’i), karena ia meyakini bahwa partikular bukanlah suatu
hakikat. Pada dasarnya ia hanya meyakini rasio sebagai sumber epistemologi, dan
dengan menggunakan suatu metode argumentasi, dimana Plato menamakan metode dan
cara tersebut dengan “dialektika”.
Bahkan
Descartes yang merupakan salah seorang dari dua filosof ( Descartes dan Francis
Bacon) yang menempatkan ilmu pengetahuan pada jalur yang baru, meskipun ia
seorang filosof yang cenderung pada alam, meskipun ia selalu menyampaikan
ajakan untuk meneliti dan mengkaji alam, ia tidak mengakui alam sebagai sumber
epistemologi dan tidak mengakui indera sebagai alat epistemologi. Descartes
mengatakan, “Alam mesti dikaji dan dipelajari dengan menggunakan indera, tetapi
hal ini tidak akan mengantarkan kita pada suatu hakikat. Pengetahuan ilmiah
hanya bermafaat bagi aktivitas kita, dan kita tidak memiliki suatu keyakinan
bahwa apakah sesuatu yang kita ketahui itu, realitasnya adalah persis
sebagaimana yang kita ketahui. Alam memiliki nilai praktis (‘amali) dan bukan
nilai teoritis (nazhari) serta ilmiah (‘ilmi).”
Tetapi
diantara para ilmuwan dunia, sedikit sekali yang memiliki pandangan semacam
itu. Sebagian besar dari mereka adalah meyakini bahwa alam ini adalah sumber
epistemologi.
Sekarang, apakah ilmu pengetahuan modern yang ada ini, ketika manusia melihat bidang industri dan teknologi telah mngalami kemajuan dan perkembangan yang menakjubkan sesuai dengan epistemologi yang betul? Yakni apakah (pengetahuan itu) menunjukkan kepada kita mengenai hakikat, realitas dan obyektifitas alam ini? ataukah yang benar adalah ucapan Descartes, “Memberi kekuatan dan tenaga pada kita, memiliki nilai praktis, tetapi kita tidak dapat merasa yakin bahwa ilmu pengetahuan manusia pada masa sekarang ini, mampu menunjukkan realitas yang ada.”
Sekarang, apakah ilmu pengetahuan modern yang ada ini, ketika manusia melihat bidang industri dan teknologi telah mngalami kemajuan dan perkembangan yang menakjubkan sesuai dengan epistemologi yang betul? Yakni apakah (pengetahuan itu) menunjukkan kepada kita mengenai hakikat, realitas dan obyektifitas alam ini? ataukah yang benar adalah ucapan Descartes, “Memberi kekuatan dan tenaga pada kita, memiliki nilai praktis, tetapi kita tidak dapat merasa yakin bahwa ilmu pengetahuan manusia pada masa sekarang ini, mampu menunjukkan realitas yang ada.”
Sungguh
amat mengherankan, hari demi hari nilai praktis ilmu pengetahuan semakin
bertambah, dan ilmu ini juga semakin memberi kekuatan dan tenaga kepada manusia
dalam upaya menguasai alam, tetapi begitu juga hari demi hari nilai teoretis,
ilmiah dan obyektifitas alam yang ditunjukkan oleh ilmu itu, semakin berkurang,
sampai-sampai suatu perkara yang paling jelas pun, yang menurut pandangan para ilmuwan
kuno dan masyarakat awam adalah sesuatu yang pasti, tetapi menurut pandangan
ahli fisika sekarang ini, perkara itu adalah suatu perkara yang masih
diragukan.
Jika
timbul pertanyaan dengan menggunakan bahasa ilmiah, apa hakikat alam ini?
Apakah di dalamnya terdapat sebuah sistem? Jawabnya mungkin tidak diketahui.
Karena, dalam alam ini ada beberapa poin yang sifatnya global, dan ada pula
berbagai bencana di alam ini yang tidak beraturan, tidak berlandaskan pada
suatu sistem, ketentuan, dasar dan asas. Ilmu pengetahuan modern, tidak dapat
memberikan kepastian pada perkara apapun, dan semua pengetahuan itu sifatnya
hanya dugaan (hipotesa).
Walaupun
para filosof materialis, di antaranya adalah Russel, telah digoncang oleh
bentuk filosofis ini. Tetapi perlu ditegaskan bahwa filosof adalah seorang yang
memiliki bentuk pemikiran bebas dan terbuka, dan pemikirannya bukan berasal
dari dikte. Ia akan mengatakan sesuatu yang ia ketahui dan pahami sekalipun hal
itu bertentangan dengan dasar pemikiran dan fakultasnya.
Sekarang
hipotesa yang ada adalah bahwa alam ini merupakan salah satu sumber
epistemologi. Alhasil, jika epistemologi itu diartikan secara lebih umum, yakni
epistemologi ialah sesuatu yang dapat memberikan kepada kita suatu kekuatan dan
tenaga praktis, ataupun sesuatu yang dapat menunjukkan suatu hakikat, tentu
tidak ada lagi keraguan padanya (epistemologi itu).
2.
Rasio
Dan Hati
Rasio
dana hati adalah Dua Sumber Lain Epistemologi Sumber yang lain yang masih perlu
dibahas adalah masalah kekuatan rasio dan pikiran manusia. Setelah kita
mengetahui bahwa alam ini merupakan “sumber luar” bagi epistemologi, lalu
apakah manusia juga memiliki “sumber dalam” bagi epistemologi ataukah tidak
memiliki? Hal ini tentunya berkaitan erat dengan masalah rasio, berbagai perkara
yang rasional, berbagai perkara yang sifatnya fitrah. Ada beberapa fakultas
yang menyatakan bahwa kita memiliki (“sumber dalam” itu), sementara sebagian
yang lain menafikan keberadaannya. Ada sebagian fakultas yang meyakini
keterlepasan rasio dari indera, dan sebagian lain tidak mayakini keterlepasan
rasio dari indera.
Selanjutnya
sumber selanjutnya adalah hati (jiwa). Semestinya kita tidak menyebutnya dengan
“alat”, tetapi kita harus menyebutnya dengan “sumber”. Tidak ada satu pun dari
fakultas materialisme yang mengakui keberadaan sumber ini. Karena jika meyakini
hati sebagai satu sumber, sedangkan manusia pada awal dilahirkan tidak memiliki
suatu pengetahuan apapun, dan di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu apapun,
dan juga meyakini bahwa hati dapat menerima berbagai ilham (dan wahyu merupakan
peringkat ilham yang paling sempurna), maka sama halnya dengan mengakui adanya
suatu alam yang ada di balik alam materi ini, karena materi tidak dapat
memberikan berbagai ilham semacam itu kepada manusia. Unsur ilham adalah unsur
metafisika.
Alat-alat
epistemologi antara lain:
1)
Indera, yang merupakan alat untuk alam
materi. Dengan alat ini manusia memperoleh epistemologi dari alam materi.
2)
Berbagai argumen Logika, argumen yang
rasional yang dalam ilmu logika disebut dengan qiyas (silogisme) atau burhan
(demonstrasi), yang ini adalah suatu bentuk praktik yang dilakukan oleh rasio
manusia. Alat ini (rasio) dapat diberlakukan, jika diyakini sebagai suatu
sumber epistemologi. Jika membatasi sumber epistemologi pada alam materi saja,
dan membatasi alat epistemologi hanya indera saja, menolak rasio sebagai sumber
epistemologi, dan juga menolak nilai alat silogisme dan demonstrasi. Selama
tidak mengakui rasio sebagai sumber epistemologi, maka tidak dapat bersandar pada
alat silogisme dan demonstrasi. Yakni tidak dapat mengakuinya sebagai suatu
alat epistemologi.
Alat untuk sumber epistemologi ini (hati atau jiwa), adalah penyucian hati atau jiwa (tazkiyah an-nafs). Hati manusia ibarat satu sumber dan manusia dapat mengambil manfaat sumber itu dengan menggunakan alat “penyucian hati”(tazkiyah an-nafs).
Di antara para ilmuwan yang ada pada masa sekarang ini, para ilmuwan yang memiliki pola pikir materialis, menolak sumber dan alat ini. Sedangkan para ilmuan yang mamiliki pola pikir ilahi (meyakini keberadaan Tuhan), mereka amat percaya dan yakin terhadap sumber dan alat ini. Misalnya Bergson, atau yang biasa disebut William James. Ia adalah seorang filosof terkenal berkebangsaan Amerika, dan banyak lagi para ilmuwan lainnya yang percaya dan yakin terhadap sumber dan alat ini.
Hal-hal
yang berhubungan dengan hati sebagai sumber epistemologi:
a. Pandangan
Al-Qur’an terhadap hati sebagai sumber Epistemologi
Berbagai pertanyaan yang muncul mengenai pandangan Al-Qur’an yang berkenaan dengan berbagai perkara yang ada di alam ini. Dan pada kenyataanya terdapat keraguan, bahwa apakah Al-Qur’an benar-benar mengakui sumber dan alat itu (hati dan penyucian jiwa), ataukah Al-Qur’an benar-benar cenderung pada alam semesta. Dan semua itu (Hati dan penyucian jiwa) adalah suatu bentuk pemikiran yang telah menyebar di tengah masyarakat sebelum kedatangan Al-Qur’an, dan pada dasarnya tujuan utama Al-Qur’an adalah semata-mata untuk melenyapkan bentuk pemikiran tersebut yang biasa disebut dengan “cenderung pada hal-hal yang di dalam” atau menurut istilah yang sangat keliru “cenderung pada takhayul” dan diubah menjadi cenderung pada realitas, cenderung pada alam.
Berbagai pertanyaan yang muncul mengenai pandangan Al-Qur’an yang berkenaan dengan berbagai perkara yang ada di alam ini. Dan pada kenyataanya terdapat keraguan, bahwa apakah Al-Qur’an benar-benar mengakui sumber dan alat itu (hati dan penyucian jiwa), ataukah Al-Qur’an benar-benar cenderung pada alam semesta. Dan semua itu (Hati dan penyucian jiwa) adalah suatu bentuk pemikiran yang telah menyebar di tengah masyarakat sebelum kedatangan Al-Qur’an, dan pada dasarnya tujuan utama Al-Qur’an adalah semata-mata untuk melenyapkan bentuk pemikiran tersebut yang biasa disebut dengan “cenderung pada hal-hal yang di dalam” atau menurut istilah yang sangat keliru “cenderung pada takhayul” dan diubah menjadi cenderung pada realitas, cenderung pada alam.
Al-Qur’an
bukan hanya satu, dua atau sepuluh ayat saja dalam mengingatkan manusia agar
memperhatikan alam, memperhatikan sejarah dan berbagai sistem sosial,
memperhatikan jiwa dan bagian dalam diri yang merupakan salah satu dari alam
ini, hal ini cukup jelas. Tetapi hal itu bukan berarti pengalihan dari berbagai
bentuk maknawiah, segala yang ada di dalam, dan yang batin. Al-Qur’an menaruh
perhatian terhadap hal-hal yang lahir, dengan tanpa menafikan hal-hal yang
batin. Ungkapan bahwa Al-Qur’an hanya menaruh perhatian pada hal-hal yang
sifatnya lahir, inderawi, adalah suatu ungkapan yang salah. Karena perhatian
Al-Qur’an terhadap alam dan sejarah merupakan suatu penafian atas berbagai
perkara yang sifatnya metafisika, batin, gaib, dan maknawiah.
b. Al-Qur’an
dan tidak terpisahnya antara “Cenderung ke Dalam” dan “Cenderung ke Luar” Islam
dengan jelas mengatakan, seperti yang terdapat dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Bahwa bertakwalah agar memperoleh suatu alat pembeda dalam hati. Sucikanlah
jiwa, agar jiwa kita senantiasa bersih, dan Allah Yang Mahatinggi akan
memberikan cahaya dalam hati kita, akan memberi suatu alat yang dapat
membedakan antara hak dan batil. Barang siapa yang menerima hidayah, maka Allah
akan menambah hidayah kepadanya. Jika kita berjalan selangkah menuju Allah,
maka Allah akan berjalan dengan langkah yang lebih besar menuju kita, untuk
menambah petunjuk kepada kita.
Sebagaimana
Al-Qur’an berbicara tentang kisah Ashabul Kahfi (para pemuda), bagaimanakah
dalam menyatukan antara maknawi dan materi yang menurut istilah disebut dengan
“dalam” dan “luar”. Yakni dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Dimana dalam ayat tersebut menceritakan tentang sebuah kisah nyata dan bukan sebuah dongeng, bahwa terdapat orang-orang pemberani yang beriman kepada Tuhannya dan tunduk serta patuh kepada Tuhannya, sehingga bertambahlah hidayah maknawi mereka. Mereka mendapat kecerahan hati dan ketabahan hati, yang pada ayat yang lain Al-Qur’an menyebutnya dengan Inzal as-sakinah (menurunkan ketenangan). Seperti yang disebutkan dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Dimana dalam ayat tersebut menjelaskan mengenai orang mukmin. Mereka hidup dalam pemerintahan yang penuh dengan perbuatan syirik, lalu mereka bangkit dan berjuang melawan pemerintahan itu. Dan berdasarkan pada keimanan dan dan keyakinan, sehingga mereka mendapat pandangan yang tajam, ketabahan hati, keberanian dan semangat dalam jiwa. Karena semua itu merupakan pahala bagi mereka. Lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi,” Tuhan yang harus kita tunduk di hadapan-Nya, suatu kekuatan yang kita harus tunduk pada kekuatan itu yang tidak lain hanyalah Tuhan pemilik langit dan bumi, dan tidak akan beriman selain kepada-Nya. Sungguh sangat keliru dan sesat jika memilih sesembahan yang lain, selain Tuhan Yang Maha Mengetahui. Semua itu menunjukan kesatuan antara keduanya, yaitu sisi dalam dan sisi luar (maknawi dan materi).
Sebagian besar manusia berada pada posisi ifrath (terlalu berlebihan) ataupun tafrith (terlalu kurang) dan sedikit sekali yang berada pada posisi di tengah-tengah. Selama berabad-abad, manusia tenggelam dalam badai “kecenderungan sisi dalam” dan menentang “kecenderungan sisi luar”, dan terasa bahwa sedikit demi sedikit mulai mengarah pada “kecenderungan sisi luar” dan menentang “sisi dalam”, dan itu dengan alasan Islam tidak menjelaskan masalah ini.
Dimana dalam ayat tersebut menceritakan tentang sebuah kisah nyata dan bukan sebuah dongeng, bahwa terdapat orang-orang pemberani yang beriman kepada Tuhannya dan tunduk serta patuh kepada Tuhannya, sehingga bertambahlah hidayah maknawi mereka. Mereka mendapat kecerahan hati dan ketabahan hati, yang pada ayat yang lain Al-Qur’an menyebutnya dengan Inzal as-sakinah (menurunkan ketenangan). Seperti yang disebutkan dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Dimana dalam ayat tersebut menjelaskan mengenai orang mukmin. Mereka hidup dalam pemerintahan yang penuh dengan perbuatan syirik, lalu mereka bangkit dan berjuang melawan pemerintahan itu. Dan berdasarkan pada keimanan dan dan keyakinan, sehingga mereka mendapat pandangan yang tajam, ketabahan hati, keberanian dan semangat dalam jiwa. Karena semua itu merupakan pahala bagi mereka. Lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi,” Tuhan yang harus kita tunduk di hadapan-Nya, suatu kekuatan yang kita harus tunduk pada kekuatan itu yang tidak lain hanyalah Tuhan pemilik langit dan bumi, dan tidak akan beriman selain kepada-Nya. Sungguh sangat keliru dan sesat jika memilih sesembahan yang lain, selain Tuhan Yang Maha Mengetahui. Semua itu menunjukan kesatuan antara keduanya, yaitu sisi dalam dan sisi luar (maknawi dan materi).
Sebagian besar manusia berada pada posisi ifrath (terlalu berlebihan) ataupun tafrith (terlalu kurang) dan sedikit sekali yang berada pada posisi di tengah-tengah. Selama berabad-abad, manusia tenggelam dalam badai “kecenderungan sisi dalam” dan menentang “kecenderungan sisi luar”, dan terasa bahwa sedikit demi sedikit mulai mengarah pada “kecenderungan sisi luar” dan menentang “sisi dalam”, dan itu dengan alasan Islam tidak menjelaskan masalah ini.
c. Ali
Bin Abi Thalib ra dalam menyifati Orang Arif Najh al-Balaghah adalah jenis
sebuah buku yang dimuliakan dan dihormati oleh para pemuda. Dan apakah buku
tersebut adalah sebuah buku yang “cenderung terhadap dalam” ataukah “cenderung
terhadap luar”? dan mengetahui sebatas mana buku tersebut “cenderung terhadap
luar”, tetapi apakah dalam buku tersebut kita mengetahui berbagai sisi
“cenderung terhadap dalam”? kecenderungan terhadap dalam yang paling tinggi,
paling indah dan paling rinci adalah yang termaktub dalam buku tersebut.
Nahj
al-Balaghah menyifati seorang arif telah melakukan penyucian jiwa (tazkiyah
an-nafs); ia menghidupkan rasionya, mematikan nafsu amarahnya, mempertipis
kesalahan-kesalahannya, baik kesalahan jasmani maupun kesalahan rohani (seorang
yang sepanjang hidupnya ia habiskan untuk makan dan minum, dan tubuhnya
dipenuhi dengan lemak, sama sekali tidak akan dapat menjadi manusia sejati), ia
menyucikan diri dari berbagai kesalahan ini, dengan menggunakan latihan-latihan
maknawinya. Menyucikan diri dari pengaruh bebagai kesenangan dan kenikmatan
yang membekas pada dirinya. Ia membersihkan berbagai kesalahan yang melekat
pada rohnya dan menguruskan tubuhnya, “sampai badannya menjadi kurus, tubuhnya
menjadi ringan.” Secercah cahaya yang terang benderang memancar dalam jiwanya.
“dan suatu sinar cahaya dari kecerahan yang luar biasa bersinar darinya.”
Cahaya yang terang itu menyinari jalannya untuk masuk ke suatu pintu, dan
(cahaya itu pula) membimbingnya memasuki pintu yang satu ke pintu yang lain,
sehingga sampai di pintu yang terakhir; pintu istana Ilahi dan istana
ketuhanan.
Inilah
Ali bin Abi Thalib as yang ada di medan laga, ia yang pedangnya berlumuran
darah di medan pertempuran, ia yang pada malam hari bangun dari tidurnya dan
keluar menuju rumah anak-anak yatim dan para janda, ia yang tidak kuat
membendung air mata ketika berhadapan dengan seorang anak yatim. Ia adalah
seorang yang pada masanya dikenal dengan menangis tersedu-sedu dan tertawa
terbahak-bahak. Ketika berhadapan dengan musuh di medan pertempuran, wajahnya
tampak berseri-seri dan tersenyum gembira, sedangkan ketika beribadah di
mihrab, dalam memohon dan berdoa kepada Tuhannya ia merintih dan menangis
tersedu-sedu.
Karena
sungguh, Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi telah membuat ingatan kepada-Nya,
cahaya bagi hati yang mendengar dengan pertolongan-Nya walaupun tuli, melihat
dengan pertolongan-Nya walaupun buta, dan menjadi patuh dengan pertolongan-Nya
walaupun ada kerusuhan. Inilah pandangan Al-Qur’an, inilah pandangan Islam,
inilah pandangan Rasul saw dan Ali bin Abi Thalib ra. Rasul saw bersabda, “Barangsiapa
yang memurnikan niatnya untuk Allah selama empat puluh hari, maka akan mengalir
sumber-sumber hikmah dari hati menuju lisannya. ”Dari hadis tersebut dapat
disimpulkan bahwa seseorang yang memurnikan niatnya semata-mata untuk Allah,
tidak ada sesuatu yang selain Allah. Maka berbagai sumber hikmah (kata-kata
yang benar) yang ada dalam hatinya akan mengalir melalui lisannya.
Dengan
demikian, maka Islam tergolong kelompok yang mengakui hati sebagai suatu sumber
epistemologi dan alatnya adalah “penyucian jiwa” (tazkiyah an-nafs).
3.
Sejarah
Merupakan Sumber Lain Epistemologi
Sejarah
adalah sumber lain epistemologi yang sekarang ini dianggap sebagai suatu sumber
yang sangat penting. Al-Qur’an juga sangat mementingkan sumber ini. Karena
menurut Al-Qur’an, selain alam, rasio dan hati, masih ada satu sumber lain
yaitu, sejarah.
Jika kita mengatakan bahwa alam adalah sumber epistemologi, maka di dalamnya juga berisi sejarah. Al-Qur’an secara jelas dan tegas menyatakan bahwa sejarah merupakan bahan kajian. Dengan demikian, maka sejarah itu merupakan salah satu sumber epistemologi. Seperti disebutkan dalam suatu ayat.
Jika kita mengatakan bahwa alam adalah sumber epistemologi, maka di dalamnya juga berisi sejarah. Al-Qur’an secara jelas dan tegas menyatakan bahwa sejarah merupakan bahan kajian. Dengan demikian, maka sejarah itu merupakan salah satu sumber epistemologi. Seperti disebutkan dalam suatu ayat.
Dalam
salah satu ayat tersebut timbul pertanyaan, kenapa mereka tidak mengelilingi
bumi? Yakni pergi dan perhatikanlah berbagai peninggalan sejarah, kemudian
perhatikanlah perubahan sejarah yang terdapat dalam kehidupan dan sosial
manusia. Inilah yang menurut pandangan Al-Qur’an dan berbagai riwayat bahwa
sejarah itu sendiri merupakan sumber epistemologi.
4.
Pengalaman
Indra (Sense Experience)
Orang sering merasa bahwa pengindraan adalah alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Memang dalam hidup manusia tampaknya pengindraan adalah satu-satunya alat untuk mencerap segala objek yang ada di luar diri manusia. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut realisme. Realisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui hanya kenyataan. Jadi, pengetahuan berawal dari kenyataan yang dapat diindrai. Tokoh pemula dari pandangan ini adalah Aristoteles, yang berpendapat bahwa pengetahuan terjadi bila subjek diubah di bawah pengaruh objek, artinya bentuk dari dunia luar meninggalkan bekas dalam kehidupan batin. Objek masuk dalam diri subjek melalui persepsi indra (sensasi). Yang demikian ini ditegaskan pula oleh Aristoteles yang berkembang pada abad pertengahan adalah Thomas Aquinas yang mengemukakan bahwa tiada sesuatu dapat masuk lewat ke dalam akal yang ditangkap oleh indra.
5.
Nalar
(Reason)
Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini tentang asas-asas pemikiran, yaitu sebagai berikut:
a) Principium
Identitas yaitu sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri (A=A). Asas ini biasa
disebut asas kesamaan.
b) Principium
contradictioad yaitu apabila dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin
kedua-duanya benar dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain pada subjek
yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu
waktu. Asas ini biasa disebut asas pertentangan.
c) Principium
tertii exclusi yaitu apabila dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin
keduanya benar dan tidak mugkin keduanya salah. Kebenaran hanya terdapat satu
diantara kedua itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Asas ini biasa
disebut asas tidak adanya kemungkinan ketiga.
6.
Otoritas
(Authority)
Otoritas
adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui kelompoknya.
Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya memiliki
pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi
karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa pengetahuan karena adanya otoritas terjadi melalui wibawa seseorang sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa pengetahuan karena adanya otoritas terjadi melalui wibawa seseorang sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.
7.
Intuisi
(Intuition)
Intuisi
adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia melalui proses kejiwaan tanpa
suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa
pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan
seketika atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya
pengetahuan lebih dahulu. Dengan demikian, peran intuisi sebagai sumber
pengetahuan adalah adanya kemampuan dalam diri manusia yang dapat melahirkan
pernyataan-pernyataan berupa pengetahuan.
8.
Wahyu
(Revelation)
Wahyu
adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan
umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan
tentang sesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan
melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat
dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu
dengan melalui kepercayaan kita.
9.
Keyakinan
(Faith)
Keyakinan
adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan.
Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan ini sangat
sukar untuk dibedakan secara jelas, karena keduanya menetapkan bahwa alat lain
yang dipergunakannya adalah kepercayaan. Perbedaannya barangkali jika keyakinan
terhadap wahyu yang secara dogmatik diikutinya adalah peraturan yang berupa
agama. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan
(maturation) dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamik mampu
menyesuaikan dengan keadaan yang sedang terjadi. Sedangkan keyakinan itu sangat
statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok buat kepercayaannya.
C.
BEBERAPA
PANDANGAN EPISTEMOLOGI
1.
Aliran
Filsafat dan Epistemologi Science Modern
a.
Empirisme
Secara
radikal empirisme berpendirian bahwa sebenarnya kita hanya bisa memperoleh pengetahuan
melalui pengalaman dengan menggunakan indra ilmiah. Thomas Hobbes, salah seorang
penganut empirisme mengemukakan bahwa empiris (pengalaman) adalah awal dari
segala pengetahuan. Karena itu semua diturunkan dari pengalaman. Tokoh empiris
lain adalah John Locke. Ia terkenal dengan teori Tabula Rasanya. Menurut Locke,
rasio manusia pada mulanya sebagai lembaran kertas putih (as white paper). Apa
yang kemudian mengisinya, seluruhnya berasal dari pengalaman, baik pengalaman
lahiriah (sensation) maupun pengalaman batiniah (reflection). George Barkeley
adalah tokoh lain empiris yang mengemukakan teori immaterialisme atas dasar
prinsip empirisisme. Menurutnya sama sekali tidak ada substansi yang bersifat
material. Yang ada hanyalah ciri-ciri yang dapat diamati, atau dengan kata
lain, yang ada hanyalah pengalaman dalam jiwa saja (being is being perceived). David
Hume tidak menerima konsep mengenai substansi, sebab menurutnya, apa yang
dialami manusia hanyalah kesan-kesan tentang beberapa ciri yang selalu terdapat
bersama-sama
b. Rasionalisme
Penganut
rasionalisme berpandangan bahwa ia dapat dicapai dengan menggunakan akal budi
(intellect) sebagai sumber utama. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa pada
dasarnya pengetahuan adalah suatu sistem dedukatif yang dapat dipahami secara
rasioanal dengan ukuran kebenaran adalah konsistensi logis. Penganut
rasionalisme meyakini bahwa metode rasional yang dedukatif, rasional, matematis
dan inferensial dapat digunakan untuk mencapai pengetahuan.
c. Kritisisme
Kritisisme
adalah suatu aliran filsafati, yang dalam epistemologi berupaya menunjukkan
jalan untuk mencapai pengetahuan tanpa harus terjebak dalam ekstrimitas
empirisme dan rasionalisme. Menurut Kant, memang benar bahwa kita punya
pengalaman inderawi, tapi sama benarnya juga bahwa kita mempunyai pengetahuan
yang menghubungkan hal-hal, yang untuk mencapainya, kita harus keluar menembus
pengalaman. Bagi Kant, pengetahuan manusia pada dasarnya terjadi alas
unsur-unsur aposteriori (sesudah pengalaman) dan apriori (mendahului
pengalaman)
2.
Landasan
Al Quran dan Epistemologi Islami
a.
Pemikiran dedukatif sederhana
mengenai epistemologi Qurani adalah sebagai berikut :
Ø Sumber
ilmu satu-satunya hanya Allah. Karena pada hakikatnya hanya Dia yang mengetahui
baik alam nyata maupun alam gaib, dan Dia Maha Pengasih dan Penyayang (Al Hasyr
22).
Ø Manusia
tidak lahir dalam kedaan berpengetahuan, namun pada dirinya terkandung potensi
internal berpengatuhan yang dikaruniakan Allah padanya (An Nahl 78).
Ø Allah
Yang Maha Pengasih menciptakan manusia mengajarkannyaAl Quran, dan
mengajarkannya Al Bayaan (penjelasan-penjelasan) (Ar Rahman 1-4).
Ø Manusia
diperintahkanNya membaca dengan menjadikan petunjukNya sebagai petunjuk utama
sebagai proses manusia diajarkan ilmu olehNya (Al’Alaq 3-5).
Ø Bayan
atau kejelasan-kejelasan ayat-ayat Allah potensi diperoleh manusia apabila ia
memanfaatkan potensi akalnya (Ali Imran 118).
Ø Yang
memiliki potensi berakal adalah qalb (hati) demikian pula yang memiliki potensi
mengindera secara non-fisik (Al Haj 46).
Ø Alam
semesta dan diri manusia adalah ayat-ayat Allah yang padanya terkandung potensi
pengetahuan yang perlu diperhatikan (Az Zariat 21).
Ø Alam
semesta diperlihatkan oleh Allah kepada manusia hingga jelas bagi mereka
kebenaran yang terkandung dalam Al Quran. Artinya ada hubungan antara kebenaran
yang dinyatakan dalam Al Quran dengan kebenaran yang dinyatakan dalam alam
semesta serta diri manusia (Fushshilat 53).
Ø Dalam
rangka memperoleh pengetahuan, Allah mengakui keberadaan orang-orang yang telah
memperoleh pengetahuan, yang pengetahuannya dapat dijadikan acuan untuk
pengembangan lebih lanjut (Al Anbiya 7).
Ø Manusia
diperintahkan agar membaca segala obyek bacaan dengan berlandaskan Isim
RububiyahNya, sehingga setiap fenomena yang dibaca dapat dimaknai menurut
hukum-hukum yang diturunkan dari sifat RububiyahNya itu (Al Alaq 1-3)
b. Epistemologi
Qurani
Merujuk
pada AL Quran untuk membangun suatu pandangan epistemologi adalah merupakan
konsistensi pandangan filsafati mengenai sumber pengetahuan, yakni Allah adalah
Sumber Pengetahuan. Al Quran adalah petunjuk dari Sumber Pengetahuan yang
ditujukan pada manusia untuk berilmu. Allah dengan kemahapemurahanNya,
mengajarkan pengetahuan kepada manusia dengan perantaraan qalam (Q.S Al Alaq
1-5). Secara epistemologis hal ini dapat dipahami bahwa manusia potensial
memperoleh pengetahuan karena kepemurahan Allah. Al Quran mempertegas adanya
fuad sebagai indra batiniah ini, misalnya melaui, ayat 11 Surah An Najm yang
artinya “Tiadalah berdusta fuad (hati) terhadap apa yang dilihatnya.” Ayat
tersebut menegaskan kebenaran penginderaan fuad Nabi Muhammad SAW ketika
mengindera dengan cara “melihat” berbagai fenomenal dari realitas alam gaib,
yaitu malaikat Jibril, Sidratul Muntaha dan Jannatul Ma’wa.
Ø Penginderaan
fuad dan penginderaan indera fisik sebagai berikut :
Indera
lahiriah mempersepsi fenomena alam sebagai fenomena fisik, misalnya benda,
unsur, warna dan sebagainya. Fuad sebagai indera qalbu mempersepsi terwujudnya
kualitas dari sifat-sifat Allah “pada obyek alam fisik tersebut.
Ø Peranan
Akal adalah sebagai berikut :
Akal
mengarahkan perhatian untuk memahami suatu obyek pemahaman Pengarahan akal
tersebut diterima oleh sistem saraf pusat yang kemudian mementahkan indera
fisik melakukan tindak mempersepsi.
Hasil
persepsi indera fisik diterima kembali oleh sistem saraf pusat atas pengarahan
akal dan mensistematisirnya dalam kerangka kemungkinan penalaran untuk kemudia
dibuat hubungan-hubungan logisnya.
Pemahaman
yang terjadi dari hubungan-hubungan logis dilakukan oleh akal. Artinya, pada
tingkat kerja akal (aql, qalb) itulah sesungguhnya pemahaman itu difinalkan
sebagai suatu pengetahuan logis, yaitu pengetahuan yang menjelaskan seluk-beluk
hubungan satuan-satuan konsep pembentuk pengetahuan.
Dari
penjelasan tersebut terlihat betapa perbedaan pengertian mengenai akal dalam filsafat
science modern dengan filsafat ilmu islami. Jika dalam filsafat science modern akal
diidentikkan dengan otak, maka dalam filsafat ilmu islami akal adalah qalb
(hati) yang khusus untuk fungsi pengakalannya disebut aql, dimana otak dipandang
sebagai pengkonstruksi satuan-satuan pemahaman.
Ø Potensialitas
berpengatuhan manusia menurut landasan Al Quran adalah sebagai berikut :
o
Tuhan sebagai Sumber Pengetahuan
o
Al Quran sebagai Otoritas Utama
o
Indera-Indera Lahir sebagai Alat
o
Qalb sebagai Alat dengan 3 potensi :
§ Fuad
sebagai “alat” yang bersifat tidak lahiriah, dengan potensi
penginderaannya mengindera dan
mempersepsi realitas non-lahiriah.
§ Aql
sebagai alat yang bersifat tidak lahiriah dengan potensi untuk melakukan
penalaran terhadap hasil persepsi
indera-indera lahir dan fuad.
§ Lubb
sebagai alat yang bersifat tidak lahiriah, dengan potensi pemahaman untuk
memahami dan menghayati makna dalam totalitas pandangan ontologis,
epistemologis dan aksiologis.
3.
Perbandingan
Epistemologi
Secara
sangat jelas epistemologi science modern meletakkan pandangan bahwa pencapaian
pengetahuan ilmiah semata-mata merupakan fungsi dari bekerjanya indera dan akal
manusia. Hal ini ditunjukkan oleh filsafat rasionalisme dan empirisme secara
sendiri-sendiri, maupun oleh kritisisme secara bersama-sama. Filsafat science
modern hanya meletakkan pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan sains) secara
sempit dalam wilayah keterjangkauan indera lahiriah dan/atau kemampuan rasional
manusia. Pandangan epistemologi Islami sebenarnya juga meletakkan pandangan
bahwa pengetahuan ilmiah dapat dicapai antara lain dengan indera dan akal. Akan
tetapi penggunaan indera dan akal tidak ditetapkan secara mutlak berlaku untuk
seluruh obyek pengetahuan, dan indera serta akal itu sendiri mempunyai
pengertiannya yang berbeda secara mendasar dengan pandangan epistemologi
science modern.
Pertama
mengenai indera. Dalam hal ini epistemologi Islami meletakkan pandangan adanya
dua kategori indra yaitu indera lahiriah dan indera batiniah (indera kalbu) atau
fuad. Indera batiniah (fuad) inilah yang tidak dikenal dalam epistemologi
science modern. Padahal dalam rangka berpengatahuan, peranan indera batiniah
ini sangat jelas, yaitu untuk mempersepsi realitas non fisik.
Selanjutnya
mengenai akal. Filsafat science modern mengenai akal identik dengan otak pada
manusia dengan keseluruhan fungsi sistem sarafnya. Apa yang dipahami science
modern sebagai yang masuk akal atau rasional adalah hubungan-hubungan logis
(dedukatif maupun induktif) yang kemudian dikembangkan pemahamannya.
Dalam
Konsep epistemologi Islami yang telah dikemukakan di atas, akal adalah sekedar
sebuah benda secara terminologis yang sesungguhnya menunjuk pada qalb (hati).
4.
Pengujian
Kebenaran Ilmiah
Dalam
dunia ilmu dikenal tiga pandangan mengenai pengujian kebenaran ilmiah sebagai
berikut :
1) Teori
Koresponden (Uji Persamaan dengan Fakta)
Menurut teori ini, suatu pernyataan
pengetahuan (sepertinya yang dinyatakan dalam hipotesis) bisa diterima
kebenarannya secara ilmiah apabila ia dapat dibuktikan bersesuaian kebenarannya
dengan obyek empirik yang dinyatakannya.
2) Teori
Koherensi (Uji Konsistensi)
Teori
ini menyatakan suatu pernyataan pengetahuan dapat diterima kebenarannya secara
ilmiah apabila pernyataan pengetahuan tersebut menunjukkan koheren dengan
teori-teori ilmiah yang kebenarannya telah diterima sebelumnya.
3) Teori
Pragmatik (Uji Kemanfaatan)
Teori ini menilai kebenaran suatu
pernyataan pengetahuan secara ilmiah apabila pernyataan pengetahuan
tersebut memang potensial digunakan
untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupan secara berguna.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian mengenai sumber-sumber epistemologi tersebut maka dapat disimpulkan,
bahwa epistemologi adalah teori pengetahuan yang merupakan cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian
dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai
pengetahuan yang dimiliki. Dengan adanya penjelasan mengenai epistemologi, maka
akan diketahui asal mulanya pengetahuan, terjadinya pengetahuan, dan
sumber-sumber pengetahuan. Sehingga kita mengetahui dengan jelas dari mana kita
mendapatkan pengetahuan dan cara memperolehnya.
Sumber-sumber pengetahuan tersebut antara lain adalah alam, akal, hati, pengalaman indera, sejarah, intuisi, keyakinan, dan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indra, dan sumber-sumber tersebut mempunyai metode tersendiri dalam pengetahuan tersebut. Dan tanpa sumber-sumber tersebut maka kita tidak tahu darimana pengetahuan itu berasal.
Sumber-sumber pengetahuan tersebut antara lain adalah alam, akal, hati, pengalaman indera, sejarah, intuisi, keyakinan, dan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indra, dan sumber-sumber tersebut mempunyai metode tersendiri dalam pengetahuan tersebut. Dan tanpa sumber-sumber tersebut maka kita tidak tahu darimana pengetahuan itu berasal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Hanafi, M.A. Pengantar Filsafat Islam, cet.V. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991.
Amsal
Bakhtiar. Filsafat Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Bakhtiar,
Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Jujun
S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, cet.18.
Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003
Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003
Muhammad
Baqir Ash-Shadr. Falsafatuna. Cet.VI. Bandung: Mizan, 1998
Muthahhari, Murtadha. Mengenal Epistemologi: Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing Dan Kokohnya Pemikiran Islam. Jakarta: Lentera, 2001.
Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya di Indonesia: SuatuPengantar.ed.I,cet.3. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Yazdi,M.Taqi Mishbah. Buku Daras Filsafat Islam, cet.1. Bandung: Mizan, 2003.
www.google.co.id
sangat bermanfaat, terimakasih
ReplyDeleteVery usefull!
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteboleh minta kontaknya?
ReplyDeleteWhats app