-->

MAKALAH EPISTEMOLOGI ILMU (FILSAFAT ILMU)

BAB I
PENDAHULUAN

   A.    Latar Belakang
Berbicara tentang filsafat ilmu, pasti akan menjumpai istilah epistimologi, sebab manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja, Akan tetapi manusia juga memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan di lingkungan sekitar mereka. Dalam upaya untuk memperoleh informasi, manusia seringkali melakukan komunikasi ataupun cara-cara lain yang bisa digunakan. Salah satu informasi yang didapat dari komunikasi adalah pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan. Dalam mencari pengetahuan, tak jarang manusia harus mempelajari Epistemologi. Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan karena mengkaji seluruh tolak ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan.
Dari sebab itu, dalam kesempatan ini kami akan membahas tentang “Epistemologi Ilmu” secara ringkas, dengan harapan agar mudah di pahami dan dimengerti.
   B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian Epitemologi.
2.      Apa saja sumber Epistimologi.
3.      Bagaimana Instumen Epistimologi.

   C.    Tujuan Penulisan
1.      Memahami arti dari Epistemologi.
2.      Mengetahui sumber-sumber Epistemologi ilmu.
3.      Dana memahami instumen dari Epistemologi.


BAB II
PEMBAHASAN


   A.    Pengertian Epistemologi

            Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani Episteme dan Logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan Logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Secara etimologi Epistemologi dapat diartikan, teori pengetahuan yang benar, dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi Theory of Knowledge.
Epistemologi (ma’rifah) dalam bahasa Arab mempunyai banyak penggunaan, tetapi lazimnya berarti pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan informasi. Adakalanya digunakan dalam arti pencerahan khusus (idrak juz’i/ particular perception), kadang-kadang juga dipakai dalam arti ilmu yang sesuai dengan kenyataan dan melahirkan kepastian dan keyakinan. Pengetahuan yang menjadi pokok bahasan epistemologi boleh jadi mempunyai salah satu pengertian tersebut atau pengertian lainnya. Pembahasan mengenai epistemologis tidak terbatas pada satu jenis pengetahuan. Konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan nyata (badihi/ self-evident). Epistemologis dapat didefinisikan sebagai “bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenaran.”
            Teori epistemologi bertalian erat dengan persoalan idea. Menurut Plato pengetahuan (ma’rifah) tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya apabila pancaindera kita berhadapan dengan sesuatu, maka teringatlah kita akan contoh-contohya (mutsul), dan muncullah kembali pengetahuan yang kita peroleh sewaktu kita masih hidup dalam suatu alam, dimana kita dapat melihat ide yang azali dengan jalan pengabstrakan terhadap gambaran-gambaran dari wujud-wujud inderawi.
Dan karena epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan Tentang “bagaimana kita mendapatkan pengetahuan?” sehingga untuk memperoleh jawabannya, kita harus terlebih dahulu mengetahui sumber pengetahuannya dan tentang terjadinya pengetahuan maupun asal mulanya pengetahuan. Dan harus menggunakan metode ilmiah sehingga pengetahuan itu dapat dipastikan kebenarannya.


   B.     Sumber-sumber Epitemologi

Teori pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan tentang sumber-sumber pengetahuan tempat bahan-bahannya diperoleh. Sumber-sumber itu menurut filosof, tidak lain adalah indra, akal dan hati. Ada juga yang berpendapat bahwa sumber-sumber epistemologi itu antara lain adalah sebagai berikut:

1.      Alam Adalah Sumber Epistemologi

Salah satu sumber epistemologi adalah alam semesta ini. Yang dimaksud dengan alam, adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan, alam yang sekarang kita tengah hidup didalamnya, dan kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan berbagai alat indera kita. sedikit sekali fakultas yang menolak alam sebagai sumber epistemologi, tetapi baik pada masa dahulu dan juga pada masa sekarang ini ada beberapa ilmuan yang tidak mengakui alam sebagai suatu sumber epistemologi. Plato tidak mengakui alam sebagai suatu sumber epistemologi, karena hubungan manusia dengan alam adalah dengan perantaraan alat indera, dan sifatnya partikular (juz’i), karena ia meyakini bahwa partikular bukanlah suatu hakikat. Pada dasarnya ia hanya meyakini rasio sebagai sumber epistemologi, dan dengan menggunakan suatu metode argumentasi, dimana Plato menamakan metode dan cara tersebut dengan “dialektika”.
Bahkan Descartes yang merupakan salah seorang dari dua filosof ( Descartes dan Francis Bacon) yang menempatkan ilmu pengetahuan pada jalur yang baru, meskipun ia seorang filosof yang cenderung pada alam, meskipun ia selalu menyampaikan ajakan untuk meneliti dan mengkaji alam, ia tidak mengakui alam sebagai sumber epistemologi dan tidak mengakui indera sebagai alat epistemologi. Descartes mengatakan, “Alam mesti dikaji dan dipelajari dengan menggunakan indera, tetapi hal ini tidak akan mengantarkan kita pada suatu hakikat. Pengetahuan ilmiah hanya bermafaat bagi aktivitas kita, dan kita tidak memiliki suatu keyakinan bahwa apakah sesuatu yang kita ketahui itu, realitasnya adalah persis sebagaimana yang kita ketahui. Alam memiliki nilai praktis (‘amali) dan bukan nilai teoritis (nazhari) serta ilmiah (‘ilmi).”
Tetapi diantara para ilmuwan dunia, sedikit sekali yang memiliki pandangan semacam itu. Sebagian besar dari mereka adalah meyakini bahwa alam ini adalah sumber epistemologi.
Sekarang, apakah ilmu pengetahuan modern yang ada ini, ketika manusia melihat bidang industri dan teknologi telah mngalami kemajuan dan perkembangan yang menakjubkan sesuai dengan epistemologi yang betul? Yakni apakah (pengetahuan itu) menunjukkan kepada kita mengenai hakikat, realitas dan obyektifitas alam ini? ataukah yang benar adalah ucapan Descartes, “Memberi kekuatan dan tenaga pada kita, memiliki nilai praktis, tetapi kita tidak dapat merasa yakin bahwa ilmu pengetahuan manusia pada masa sekarang ini, mampu menunjukkan realitas yang ada.”
Sungguh amat mengherankan, hari demi hari nilai praktis ilmu pengetahuan semakin bertambah, dan ilmu ini juga semakin memberi kekuatan dan tenaga kepada manusia dalam upaya menguasai alam, tetapi begitu juga hari demi hari nilai teoretis, ilmiah dan obyektifitas alam yang ditunjukkan oleh ilmu itu, semakin berkurang, sampai-sampai suatu perkara yang paling jelas pun, yang menurut pandangan para ilmuwan kuno dan masyarakat awam adalah sesuatu yang pasti, tetapi menurut pandangan ahli fisika sekarang ini, perkara itu adalah suatu perkara yang masih diragukan.
Jika timbul pertanyaan dengan menggunakan bahasa ilmiah, apa hakikat alam ini? Apakah di dalamnya terdapat sebuah sistem? Jawabnya mungkin tidak diketahui. Karena, dalam alam ini ada beberapa poin yang sifatnya global, dan ada pula berbagai bencana di alam ini yang tidak beraturan, tidak berlandaskan pada suatu sistem, ketentuan, dasar dan asas. Ilmu pengetahuan modern, tidak dapat memberikan kepastian pada perkara apapun, dan semua pengetahuan itu sifatnya hanya dugaan (hipotesa).
Walaupun para filosof materialis, di antaranya adalah Russel, telah digoncang oleh bentuk filosofis ini. Tetapi perlu ditegaskan bahwa filosof adalah seorang yang memiliki bentuk pemikiran bebas dan terbuka, dan pemikirannya bukan berasal dari dikte. Ia akan mengatakan sesuatu yang ia ketahui dan pahami sekalipun hal itu bertentangan dengan dasar pemikiran dan fakultasnya.
Sekarang hipotesa yang ada adalah bahwa alam ini merupakan salah satu sumber epistemologi. Alhasil, jika epistemologi itu diartikan secara lebih umum, yakni epistemologi ialah sesuatu yang dapat memberikan kepada kita suatu kekuatan dan tenaga praktis, ataupun sesuatu yang dapat menunjukkan suatu hakikat, tentu tidak ada lagi keraguan padanya (epistemologi itu).

2.      Rasio Dan Hati

Rasio dana hati adalah Dua Sumber Lain Epistemologi Sumber yang lain yang masih perlu dibahas adalah masalah kekuatan rasio dan pikiran manusia. Setelah kita mengetahui bahwa alam ini merupakan “sumber luar” bagi epistemologi, lalu apakah manusia juga memiliki “sumber dalam” bagi epistemologi ataukah tidak memiliki? Hal ini tentunya berkaitan erat dengan masalah rasio, berbagai perkara yang rasional, berbagai perkara yang sifatnya fitrah. Ada beberapa fakultas yang menyatakan bahwa kita memiliki (“sumber dalam” itu), sementara sebagian yang lain menafikan keberadaannya. Ada sebagian fakultas yang meyakini keterlepasan rasio dari indera, dan sebagian lain tidak mayakini keterlepasan rasio dari indera.
Selanjutnya sumber selanjutnya adalah hati (jiwa). Semestinya kita tidak menyebutnya dengan “alat”, tetapi kita harus menyebutnya dengan “sumber”. Tidak ada satu pun dari fakultas materialisme yang mengakui keberadaan sumber ini. Karena jika meyakini hati sebagai satu sumber, sedangkan manusia pada awal dilahirkan tidak memiliki suatu pengetahuan apapun, dan di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu apapun, dan juga meyakini bahwa hati dapat menerima berbagai ilham (dan wahyu merupakan peringkat ilham yang paling sempurna), maka sama halnya dengan mengakui adanya suatu alam yang ada di balik alam materi ini, karena materi tidak dapat memberikan berbagai ilham semacam itu kepada manusia. Unsur ilham adalah unsur metafisika.
Alat-alat epistemologi antara lain:
1)         Indera, yang merupakan alat untuk alam materi. Dengan alat ini manusia memperoleh epistemologi dari alam materi.
2)         Berbagai argumen Logika, argumen yang rasional yang dalam ilmu logika disebut dengan qiyas (silogisme) atau burhan (demonstrasi), yang ini adalah suatu bentuk praktik yang dilakukan oleh rasio manusia. Alat ini (rasio) dapat diberlakukan, jika diyakini sebagai suatu sumber epistemologi. Jika membatasi sumber epistemologi pada alam materi saja, dan membatasi alat epistemologi hanya indera saja, menolak rasio sebagai sumber epistemologi, dan juga menolak nilai alat silogisme dan demonstrasi. Selama tidak mengakui rasio sebagai sumber epistemologi, maka tidak dapat bersandar pada alat silogisme dan demonstrasi. Yakni tidak dapat mengakuinya sebagai suatu alat epistemologi.

            Alat untuk sumber epistemologi ini (hati atau jiwa), adalah penyucian hati atau jiwa (tazkiyah an-nafs). Hati manusia ibarat satu sumber dan manusia dapat mengambil manfaat sumber itu dengan menggunakan alat “penyucian hati”(tazkiyah an-nafs).
Di antara para ilmuwan yang ada pada masa sekarang ini, para ilmuwan yang memiliki pola pikir materialis, menolak sumber dan alat ini. Sedangkan para ilmuan yang mamiliki pola pikir ilahi (meyakini keberadaan Tuhan), mereka amat percaya dan yakin terhadap sumber dan alat ini. Misalnya Bergson, atau yang biasa disebut William James. Ia adalah seorang filosof terkenal berkebangsaan Amerika, dan banyak lagi para ilmuwan lainnya yang percaya dan yakin terhadap sumber dan alat ini.
Hal-hal yang berhubungan dengan hati sebagai sumber epistemologi:
a.       Pandangan Al-Qur’an terhadap hati sebagai sumber Epistemologi
Berbagai pertanyaan yang muncul mengenai pandangan Al-Qur’an yang berkenaan dengan berbagai perkara yang ada di alam ini. Dan pada kenyataanya terdapat keraguan, bahwa apakah Al-Qur’an benar-benar mengakui sumber dan alat itu (hati dan penyucian jiwa), ataukah Al-Qur’an benar-benar cenderung pada alam semesta. Dan semua itu (Hati dan penyucian jiwa) adalah suatu bentuk pemikiran yang telah menyebar di tengah masyarakat sebelum kedatangan Al-Qur’an, dan pada dasarnya tujuan utama Al-Qur’an adalah semata-mata untuk melenyapkan bentuk pemikiran tersebut yang biasa disebut dengan “cenderung pada hal-hal yang di dalam” atau menurut istilah yang sangat keliru “cenderung pada takhayul” dan diubah menjadi cenderung pada realitas, cenderung pada alam.
Al-Qur’an bukan hanya satu, dua atau sepuluh ayat saja dalam mengingatkan manusia agar memperhatikan alam, memperhatikan sejarah dan berbagai sistem sosial, memperhatikan jiwa dan bagian dalam diri yang merupakan salah satu dari alam ini, hal ini cukup jelas. Tetapi hal itu bukan berarti pengalihan dari berbagai bentuk maknawiah, segala yang ada di dalam, dan yang batin. Al-Qur’an menaruh perhatian terhadap hal-hal yang lahir, dengan tanpa menafikan hal-hal yang batin. Ungkapan bahwa Al-Qur’an hanya menaruh perhatian pada hal-hal yang sifatnya lahir, inderawi, adalah suatu ungkapan yang salah. Karena perhatian Al-Qur’an terhadap alam dan sejarah merupakan suatu penafian atas berbagai perkara yang sifatnya metafisika, batin, gaib, dan maknawiah.

b.      Al-Qur’an dan tidak terpisahnya antara “Cenderung ke Dalam” dan “Cenderung ke Luar” Islam dengan jelas mengatakan, seperti yang terdapat dalam suatu ayat Al-Qur’an. Bahwa bertakwalah agar memperoleh suatu alat pembeda dalam hati. Sucikanlah jiwa, agar jiwa kita senantiasa bersih, dan Allah Yang Mahatinggi akan memberikan cahaya dalam hati kita, akan memberi suatu alat yang dapat membedakan antara hak dan batil. Barang siapa yang menerima hidayah, maka Allah akan menambah hidayah kepadanya. Jika kita berjalan selangkah menuju Allah, maka Allah akan berjalan dengan langkah yang lebih besar menuju kita, untuk menambah petunjuk kepada kita.
Sebagaimana Al-Qur’an berbicara tentang kisah Ashabul Kahfi (para pemuda), bagaimanakah dalam menyatukan antara maknawi dan materi yang menurut istilah disebut dengan “dalam” dan “luar”. Yakni dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Dimana dalam ayat tersebut menceritakan tentang sebuah kisah nyata dan bukan sebuah dongeng, bahwa terdapat orang-orang pemberani yang beriman kepada Tuhannya dan tunduk serta patuh kepada Tuhannya, sehingga bertambahlah hidayah maknawi mereka. Mereka mendapat kecerahan hati dan ketabahan hati, yang pada ayat yang lain Al-Qur’an menyebutnya dengan Inzal as-sakinah (menurunkan ketenangan). Seperti yang disebutkan dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Dimana dalam ayat tersebut menjelaskan mengenai orang mukmin. Mereka hidup dalam pemerintahan yang penuh dengan perbuatan syirik, lalu mereka bangkit dan berjuang melawan pemerintahan itu. Dan berdasarkan pada keimanan dan dan keyakinan, sehingga mereka mendapat pandangan yang tajam, ketabahan hati, keberanian dan semangat dalam jiwa. Karena semua itu merupakan pahala bagi mereka. Lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi,” Tuhan yang harus kita tunduk di hadapan-Nya, suatu kekuatan yang kita harus tunduk pada kekuatan itu yang tidak lain hanyalah Tuhan pemilik langit dan bumi, dan tidak akan beriman selain kepada-Nya. Sungguh sangat keliru dan sesat jika memilih sesembahan yang lain, selain Tuhan Yang Maha Mengetahui. Semua itu menunjukan kesatuan antara keduanya, yaitu sisi dalam dan sisi luar (maknawi dan materi).
Sebagian besar manusia berada pada posisi ifrath (terlalu berlebihan) ataupun tafrith (terlalu kurang) dan sedikit sekali yang berada pada posisi di tengah-tengah. Selama berabad-abad, manusia tenggelam dalam badai “kecenderungan sisi dalam” dan menentang “kecenderungan sisi luar”, dan terasa bahwa sedikit demi sedikit mulai mengarah pada “kecenderungan sisi luar” dan menentang “sisi dalam”, dan itu dengan alasan Islam tidak menjelaskan masalah ini.

c.       Ali Bin Abi Thalib ra dalam menyifati Orang Arif Najh al-Balaghah adalah jenis sebuah buku yang dimuliakan dan dihormati oleh para pemuda. Dan apakah buku tersebut adalah sebuah buku yang “cenderung terhadap dalam” ataukah “cenderung terhadap luar”? dan mengetahui sebatas mana buku tersebut “cenderung terhadap luar”, tetapi apakah dalam buku tersebut kita mengetahui berbagai sisi “cenderung terhadap dalam”? kecenderungan terhadap dalam yang paling tinggi, paling indah dan paling rinci adalah yang termaktub dalam buku tersebut.
            Nahj al-Balaghah menyifati seorang arif telah melakukan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs); ia menghidupkan rasionya, mematikan nafsu amarahnya, mempertipis kesalahan-kesalahannya, baik kesalahan jasmani maupun kesalahan rohani (seorang yang sepanjang hidupnya ia habiskan untuk makan dan minum, dan tubuhnya dipenuhi dengan lemak, sama sekali tidak akan dapat menjadi manusia sejati), ia menyucikan diri dari berbagai kesalahan ini, dengan menggunakan latihan-latihan maknawinya. Menyucikan diri dari pengaruh bebagai kesenangan dan kenikmatan yang membekas pada dirinya. Ia membersihkan berbagai kesalahan yang melekat pada rohnya dan menguruskan tubuhnya, “sampai badannya menjadi kurus, tubuhnya menjadi ringan.” Secercah cahaya yang terang benderang memancar dalam jiwanya. “dan suatu sinar cahaya dari kecerahan yang luar biasa bersinar darinya.” Cahaya yang terang itu menyinari jalannya untuk masuk ke suatu pintu, dan (cahaya itu pula) membimbingnya memasuki pintu yang satu ke pintu yang lain, sehingga sampai di pintu yang terakhir; pintu istana Ilahi dan istana ketuhanan.
Inilah Ali bin Abi Thalib as yang ada di medan laga, ia yang pedangnya berlumuran darah di medan pertempuran, ia yang pada malam hari bangun dari tidurnya dan keluar menuju rumah anak-anak yatim dan para janda, ia yang tidak kuat membendung air mata ketika berhadapan dengan seorang anak yatim. Ia adalah seorang yang pada masanya dikenal dengan menangis tersedu-sedu dan tertawa terbahak-bahak. Ketika berhadapan dengan musuh di medan pertempuran, wajahnya tampak berseri-seri dan tersenyum gembira, sedangkan ketika beribadah di mihrab, dalam memohon dan berdoa kepada Tuhannya ia merintih dan menangis tersedu-sedu.
Karena sungguh, Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi telah membuat ingatan kepada-Nya, cahaya bagi hati yang mendengar dengan pertolongan-Nya walaupun tuli, melihat dengan pertolongan-Nya walaupun buta, dan menjadi patuh dengan pertolongan-Nya walaupun ada kerusuhan. Inilah pandangan Al-Qur’an, inilah pandangan Islam, inilah pandangan Rasul saw dan Ali bin Abi Thalib ra. Rasul saw bersabda, “Barangsiapa yang memurnikan niatnya untuk Allah selama empat puluh hari, maka akan mengalir sumber-sumber hikmah dari hati menuju lisannya. ”Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memurnikan niatnya semata-mata untuk Allah, tidak ada sesuatu yang selain Allah. Maka berbagai sumber hikmah (kata-kata yang benar) yang ada dalam hatinya akan mengalir melalui lisannya.
Dengan demikian, maka Islam tergolong kelompok yang mengakui hati sebagai suatu sumber epistemologi dan alatnya adalah “penyucian jiwa” (tazkiyah an-nafs).


3.      Sejarah Merupakan Sumber Lain Epistemologi

Sejarah adalah sumber lain epistemologi yang sekarang ini dianggap sebagai suatu sumber yang sangat penting. Al-Qur’an juga sangat mementingkan sumber ini. Karena menurut Al-Qur’an, selain alam, rasio dan hati, masih ada satu sumber lain yaitu, sejarah.
Jika kita mengatakan bahwa alam adalah sumber epistemologi, maka di dalamnya juga berisi sejarah. Al-Qur’an secara jelas dan tegas menyatakan bahwa sejarah merupakan bahan kajian. Dengan demikian, maka sejarah itu merupakan salah satu sumber epistemologi. Seperti disebutkan dalam suatu ayat.
Dalam salah satu ayat tersebut timbul pertanyaan, kenapa mereka tidak mengelilingi bumi? Yakni pergi dan perhatikanlah berbagai peninggalan sejarah, kemudian perhatikanlah perubahan sejarah yang terdapat dalam kehidupan dan sosial manusia. Inilah yang menurut pandangan Al-Qur’an dan berbagai riwayat bahwa sejarah itu sendiri merupakan sumber epistemologi.


4.      Pengalaman Indra (Sense Experience)

            Orang sering merasa bahwa pengindraan adalah alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Memang dalam hidup manusia tampaknya pengindraan adalah satu-satunya alat untuk mencerap segala objek yang ada di luar diri manusia. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut realisme. Realisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui hanya kenyataan. Jadi, pengetahuan berawal dari kenyataan yang dapat diindrai. Tokoh pemula dari pandangan ini adalah Aristoteles, yang berpendapat bahwa pengetahuan terjadi bila subjek diubah di bawah pengaruh objek, artinya bentuk dari dunia luar meninggalkan bekas dalam kehidupan batin. Objek masuk dalam diri subjek melalui persepsi indra (sensasi). Yang demikian ini ditegaskan pula oleh Aristoteles yang berkembang pada abad pertengahan adalah Thomas Aquinas yang mengemukakan bahwa tiada sesuatu dapat masuk lewat ke dalam akal yang ditangkap oleh indra.

5.      Nalar (Reason)

            Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini tentang asas-asas pemikiran, yaitu sebagai berikut:
a)      Principium Identitas yaitu sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri (A=A). Asas ini biasa disebut asas kesamaan.
b)      Principium contradictioad yaitu apabila dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin kedua-duanya benar dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain pada subjek yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu. Asas ini biasa disebut asas pertentangan.
c)      Principium tertii exclusi yaitu apabila dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mugkin keduanya salah. Kebenaran hanya terdapat satu diantara kedua itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Asas ini biasa disebut asas tidak adanya kemungkinan ketiga.


6.      Otoritas (Authority)
            Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa pengetahuan karena adanya otoritas terjadi melalui wibawa seseorang sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.

7.      Intuisi (Intuition)
            Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia melalui proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu. Dengan demikian, peran intuisi sebagai sumber pengetahuan adalah adanya kemampuan dalam diri manusia yang dapat melahirkan pernyataan-pernyataan berupa pengetahuan.

8.      Wahyu (Revelation)
            Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu dengan melalui kepercayaan kita.

9.      Keyakinan (Faith)
            Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan ini sangat sukar untuk dibedakan secara jelas, karena keduanya menetapkan bahwa alat lain yang dipergunakannya adalah kepercayaan. Perbedaannya barangkali jika keyakinan terhadap wahyu yang secara dogmatik diikutinya adalah peraturan yang berupa agama. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan (maturation) dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamik mampu menyesuaikan dengan keadaan yang sedang terjadi. Sedangkan keyakinan itu sangat statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok buat kepercayaannya.

   C.    BEBERAPA PANDANGAN EPISTEMOLOGI

1.                   Aliran Filsafat dan Epistemologi Science Modern

a.      Empirisme

Secara radikal empirisme berpendirian bahwa sebenarnya kita hanya bisa memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dengan menggunakan indra ilmiah. Thomas Hobbes, salah seorang penganut empirisme mengemukakan bahwa empiris (pengalaman) adalah awal dari segala pengetahuan. Karena itu semua diturunkan dari pengalaman. Tokoh empiris lain adalah John Locke. Ia terkenal dengan teori Tabula Rasanya. Menurut Locke, rasio manusia pada mulanya sebagai lembaran kertas putih (as white paper). Apa yang kemudian mengisinya, seluruhnya berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah (sensation) maupun pengalaman batiniah (reflection). George Barkeley adalah tokoh lain empiris yang mengemukakan teori immaterialisme atas dasar prinsip empirisisme. Menurutnya sama sekali tidak ada substansi yang bersifat material. Yang ada hanyalah ciri-ciri yang dapat diamati, atau dengan kata lain, yang ada hanyalah pengalaman dalam jiwa saja (being is being perceived). David Hume tidak menerima konsep mengenai substansi, sebab menurutnya, apa yang dialami manusia hanyalah kesan-kesan tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama

b.      Rasionalisme
Penganut rasionalisme berpandangan bahwa ia dapat dicapai dengan menggunakan akal budi (intellect) sebagai sumber utama. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa pada dasarnya pengetahuan adalah suatu sistem dedukatif yang dapat dipahami secara rasioanal dengan ukuran kebenaran adalah konsistensi logis. Penganut rasionalisme meyakini bahwa metode rasional yang dedukatif, rasional, matematis dan inferensial dapat digunakan untuk mencapai pengetahuan.

c.        Kritisisme
Kritisisme adalah suatu aliran filsafati, yang dalam epistemologi berupaya menunjukkan jalan untuk mencapai pengetahuan tanpa harus terjebak dalam ekstrimitas empirisme dan rasionalisme. Menurut Kant, memang benar bahwa kita punya pengalaman inderawi, tapi sama benarnya juga bahwa kita mempunyai pengetahuan yang menghubungkan hal-hal, yang untuk mencapainya, kita harus keluar menembus pengalaman. Bagi Kant, pengetahuan manusia pada dasarnya terjadi alas unsur-unsur aposteriori (sesudah pengalaman) dan apriori (mendahului pengalaman)

    2.      Landasan Al Quran dan Epistemologi Islami

a.      Pemikiran dedukatif sederhana mengenai epistemologi Qurani adalah sebagai berikut :

Ø  Sumber ilmu satu-satunya hanya Allah. Karena pada hakikatnya hanya Dia yang mengetahui baik alam nyata maupun alam gaib, dan Dia Maha Pengasih dan Penyayang (Al Hasyr 22).
Ø  Manusia tidak lahir dalam kedaan berpengetahuan, namun pada dirinya terkandung potensi internal berpengatuhan yang dikaruniakan Allah padanya (An Nahl 78).
Ø  Allah Yang Maha Pengasih menciptakan manusia mengajarkannyaAl Quran, dan mengajarkannya Al Bayaan (penjelasan-penjelasan) (Ar Rahman 1-4).
Ø  Manusia diperintahkanNya membaca dengan menjadikan petunjukNya sebagai petunjuk utama sebagai proses manusia diajarkan ilmu olehNya (Al’Alaq 3-5).
Ø  Bayan atau kejelasan-kejelasan ayat-ayat Allah potensi diperoleh manusia apabila ia memanfaatkan potensi akalnya (Ali Imran 118).
Ø  Yang memiliki potensi berakal adalah qalb (hati) demikian pula yang memiliki potensi mengindera secara non-fisik (Al Haj 46).
Ø  Alam semesta dan diri manusia adalah ayat-ayat Allah yang padanya terkandung potensi pengetahuan yang perlu diperhatikan (Az Zariat 21).
Ø  Alam semesta diperlihatkan oleh Allah kepada manusia hingga jelas bagi mereka kebenaran yang terkandung dalam Al Quran. Artinya ada hubungan antara kebenaran yang dinyatakan dalam Al Quran dengan kebenaran yang dinyatakan dalam alam semesta serta diri manusia (Fushshilat 53).
Ø  Dalam rangka memperoleh pengetahuan, Allah mengakui keberadaan orang-orang yang telah memperoleh pengetahuan, yang pengetahuannya dapat dijadikan acuan untuk pengembangan lebih lanjut (Al Anbiya 7).
Ø  Manusia diperintahkan agar membaca segala obyek bacaan dengan berlandaskan Isim RububiyahNya, sehingga setiap fenomena yang dibaca dapat dimaknai menurut hukum-hukum yang diturunkan dari sifat RububiyahNya itu (Al Alaq 1-3)


b.      Epistemologi Qurani

Merujuk pada AL Quran untuk membangun suatu pandangan epistemologi adalah merupakan konsistensi pandangan filsafati mengenai sumber pengetahuan, yakni Allah adalah Sumber Pengetahuan. Al Quran adalah petunjuk dari Sumber Pengetahuan yang ditujukan pada manusia untuk berilmu. Allah dengan kemahapemurahanNya, mengajarkan pengetahuan kepada manusia dengan perantaraan qalam (Q.S Al Alaq 1-5). Secara epistemologis hal ini dapat dipahami bahwa manusia potensial memperoleh pengetahuan karena kepemurahan Allah. Al Quran mempertegas adanya fuad sebagai indra batiniah ini, misalnya melaui, ayat 11 Surah An Najm yang artinya “Tiadalah berdusta fuad (hati) terhadap apa yang dilihatnya.” Ayat tersebut menegaskan kebenaran penginderaan fuad Nabi Muhammad SAW ketika mengindera dengan cara “melihat” berbagai fenomenal dari realitas alam gaib, yaitu malaikat Jibril, Sidratul Muntaha dan Jannatul Ma’wa.
Ø  Penginderaan fuad dan penginderaan indera fisik sebagai berikut :
Indera lahiriah mempersepsi fenomena alam sebagai fenomena fisik, misalnya benda, unsur, warna dan sebagainya. Fuad sebagai indera qalbu mempersepsi terwujudnya kualitas dari sifat-sifat Allah “pada obyek alam fisik tersebut.
Ø  Peranan Akal adalah sebagai berikut :
Akal mengarahkan perhatian untuk memahami suatu obyek pemahaman Pengarahan akal tersebut diterima oleh sistem saraf pusat yang kemudian mementahkan indera fisik  melakukan tindak mempersepsi.
Hasil persepsi indera fisik diterima kembali oleh sistem saraf pusat atas pengarahan akal dan mensistematisirnya dalam kerangka kemungkinan penalaran untuk kemudia dibuat hubungan-hubungan logisnya.
Pemahaman yang terjadi dari hubungan-hubungan logis dilakukan oleh akal. Artinya, pada tingkat kerja akal (aql, qalb) itulah sesungguhnya pemahaman itu difinalkan sebagai suatu pengetahuan logis, yaitu pengetahuan yang menjelaskan seluk-beluk hubungan satuan-satuan konsep pembentuk pengetahuan.
Dari penjelasan tersebut terlihat betapa perbedaan pengertian mengenai akal dalam filsafat science modern dengan filsafat ilmu islami. Jika dalam filsafat science modern akal diidentikkan dengan otak, maka dalam filsafat ilmu islami akal adalah qalb (hati) yang khusus untuk fungsi pengakalannya disebut aql, dimana otak dipandang sebagai pengkonstruksi satuan-satuan pemahaman.

Ø  Potensialitas berpengatuhan manusia menurut landasan Al Quran adalah sebagai berikut :
o   Tuhan sebagai Sumber Pengetahuan
o   Al Quran sebagai Otoritas Utama
o   Indera-Indera Lahir sebagai Alat
o   Qalb sebagai Alat dengan 3 potensi :
§  Fuad sebagai “alat” yang bersifat tidak lahiriah, dengan potensi penginderaannya  mengindera dan mempersepsi realitas non-lahiriah.
§  Aql sebagai alat yang bersifat tidak lahiriah dengan potensi untuk melakukan penalaran  terhadap hasil persepsi indera-indera lahir dan fuad.
§  Lubb sebagai alat yang bersifat tidak lahiriah, dengan potensi pemahaman untuk memahami dan menghayati makna dalam totalitas pandangan ontologis, epistemologis dan aksiologis.


    3.      Perbandingan Epistemologi

Secara sangat jelas epistemologi science modern meletakkan pandangan bahwa pencapaian pengetahuan ilmiah semata-mata merupakan fungsi dari bekerjanya indera dan akal manusia. Hal ini ditunjukkan oleh filsafat rasionalisme dan empirisme secara sendiri-sendiri, maupun oleh kritisisme secara bersama-sama. Filsafat science modern hanya meletakkan pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan sains) secara sempit dalam wilayah keterjangkauan indera lahiriah dan/atau kemampuan rasional manusia. Pandangan epistemologi Islami sebenarnya juga meletakkan pandangan bahwa pengetahuan ilmiah dapat dicapai antara lain dengan indera dan akal. Akan tetapi penggunaan indera dan akal tidak ditetapkan secara mutlak berlaku untuk seluruh obyek pengetahuan, dan indera serta akal itu sendiri mempunyai pengertiannya yang berbeda secara mendasar dengan pandangan epistemologi science modern.
Pertama mengenai indera. Dalam hal ini epistemologi Islami meletakkan pandangan adanya dua kategori indra yaitu indera lahiriah dan indera batiniah (indera kalbu) atau fuad. Indera batiniah (fuad) inilah yang tidak dikenal dalam epistemologi science modern. Padahal dalam rangka berpengatahuan, peranan indera batiniah ini sangat jelas, yaitu untuk mempersepsi realitas non fisik.
Selanjutnya mengenai akal. Filsafat science modern mengenai akal identik dengan otak pada manusia dengan keseluruhan fungsi sistem sarafnya. Apa yang dipahami science modern sebagai yang masuk akal atau rasional adalah hubungan-hubungan logis (dedukatif maupun induktif) yang kemudian dikembangkan pemahamannya.
Dalam Konsep epistemologi Islami yang telah dikemukakan di atas, akal adalah sekedar sebuah benda secara terminologis yang sesungguhnya menunjuk pada qalb (hati).

    4.      Pengujian Kebenaran Ilmiah

Dalam dunia ilmu dikenal tiga pandangan mengenai pengujian kebenaran ilmiah sebagai berikut :
1)      Teori Koresponden (Uji Persamaan dengan Fakta)
            Menurut teori ini, suatu pernyataan pengetahuan (sepertinya yang dinyatakan dalam hipotesis) bisa diterima kebenarannya secara ilmiah apabila ia dapat dibuktikan bersesuaian kebenarannya dengan obyek empirik yang dinyatakannya.
2)      Teori Koherensi (Uji Konsistensi)
Teori ini menyatakan suatu pernyataan pengetahuan dapat diterima kebenarannya secara ilmiah apabila pernyataan pengetahuan tersebut menunjukkan koheren dengan teori-teori ilmiah yang kebenarannya telah diterima sebelumnya.
3)      Teori Pragmatik (Uji Kemanfaatan)
            Teori ini menilai kebenaran suatu pernyataan pengetahuan secara ilmiah apabila pernyataan pengetahuan tersebut  memang potensial digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupan secara berguna.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Berdasarkan uraian mengenai sumber-sumber epistemologi tersebut maka dapat disimpulkan, bahwa epistemologi adalah teori pengetahuan yang merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Dengan adanya penjelasan mengenai epistemologi, maka akan diketahui asal mulanya pengetahuan, terjadinya pengetahuan, dan sumber-sumber pengetahuan. Sehingga kita mengetahui dengan jelas dari mana kita mendapatkan pengetahuan dan cara memperolehnya.
            Sumber-sumber pengetahuan tersebut antara lain adalah alam, akal, hati, pengalaman indera, sejarah, intuisi, keyakinan, dan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indra, dan sumber-sumber tersebut mempunyai metode tersendiri dalam pengetahuan tersebut. Dan tanpa sumber-sumber tersebut maka kita tidak tahu darimana pengetahuan itu berasal.









DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, M.A. Pengantar Filsafat Islam, cet.V. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991.
Amsal Bakhtiar. Filsafat Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Jujun S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, cet.18. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003
Muhammad Baqir Ash-Shadr. Falsafatuna. Cet.VI. Bandung: Mizan, 1998

Muthahhari, Murtadha. Mengenal Epistemologi: Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing Dan Kokohnya Pemikiran Islam. Jakarta: Lentera, 2001.


Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya di Indonesia: SuatuPengantar.ed.I,cet.3. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Yazdi,M.Taqi Mishbah. Buku Daras Filsafat Islam, cet.1. Bandung: Mizan, 2003.

www.google.co.id

4 Responses to "MAKALAH EPISTEMOLOGI ILMU (FILSAFAT ILMU)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel