-->

PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR


PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

 Kurang kondusifnya lingkungan usaha memiliki implikasi besar terhadap penurunan daya saing ekonomi, terutama bagi sektor-sektor industri sebagai lapangan kesempatan kerja utama dan sektor manufaktur yang merupakan salah satu motor bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut catatan World Economic Forum (WEF) tahun 2004, posisi daya saing Indonesia masih berada pada urutan ke-69 dari 104 negara yang diteliti. Posisi tersebut sesungguhnya telah naik dari urutan ke-72 pada tahun sebelumnya. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN, posisi ini relatif lebih buruk. Sebagai contoh, Malaysia pada tahun 2004 berada pada urutan ke-31 sedangkan Thailand berada di posisi ke-34. Negara ASEAN yang posisi daya saingnya dibawah Indonesia adalah Filipina (urutan ke-76) dan Vietnam (urutan ke-77). Adapun menurut catatan International Institute for Management Development (IMD) yang juga menerbitkan World Competitiveness Report 2004, posisi Indonesia berada pada urutan ke-58 dari 60 negara yang diteliti. Sejak tahun 2000, peringkat daya saing ekonomi Indonesia berturut-turut turun dari posisinya ke-43 pada tahun 2000, urutan ke-46 pada tahun 2001, urutan ke-47 pada tahun 2002, dan urutan ke-57 pada tahun 2003. Peringkat Indonesia hanya berada di atas Argentina (59) dan Venezuela (60). Dalam pengamatan lembaga ini, posisi Filipina relatif lebih baik (yaitu pada urutan ke-52), walaupun peringkatnya juga terus mengalami penurunan dari posisinya di urutan ke-35 pada tahun 2000.

   A.    PERMASALAHAN

Terpuruknya daya saing tersebut merupakan akibat dari berbagai faktor. Menurut tolok ukur WEF, diidentifikasi 5 (lima) faktor penting yang menonjol. Pada tataran makro, terdapat 3 (tiga) faktor, yaitu: (a) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; (b) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan; dan (c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas. Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran bisnis, 2 (dua) faktor yang menonjol adalah: (a) rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasionalisasi perusahaan; dan (b) lemahnya iklim persaingan usaha.
Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: (a) buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga, (b) buruknya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya, (c) lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional, dan (d) keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.
Dalam rentang waktu yang lebih lama, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) mengembangkan indikator Competitiveness Industrial Performance (CIP) yang kemudian diterapkan untuk mengukur peringkat daya saing sektor industri manufaktur pada 93 negara dalam periode 1980 - 2000. Dalam Industrial Development Report 2004, ukuran indikator CIP tersebut terdiri dari 4 (empat) variabel utama, yaitu: (a) nilai tambah industri manuktur per kapita, (b) ekspor industri manufaktur per kapita, (c) insensitas industrialisasi yang diukur dari kontribusi industri manufaktur pada PDB dan kontribusi industri manufaktur berteknologi menengah dan tinggi pada sektor industri manufaktur, dan (d) kualitas eskpor yang diukur dari kontribusi ekspor manufaktur dalam total ekspor dan kontribusi manufaktur berteknologi menengah dan tinggi dalam nilai ekspor industri manufaktur.
Dalam periode 1980-2000 kinerja industri manufaktur Indonesia dikategorikan sebagai salah satu pemenang utama (main winners) bersama beberapa negara berkembang lain yang kebanyakan berasal dari kawasan Asia Timur. Dalam dua dekade tersebut, kawasan Asia Timur memang merupakan kawasan yang disebut sebagai mesin pertumbuhan bagi peningkatan peran negara berkembang dalam pengembangan industri manufaktur. Di antara kinerja negara-negara berkembang tersebut, Cina merupakan pemenang nomor wahid. Sementara itu, peringkat kinerja industri manufaktur Indonesia memang meningkat dari urutan ke-75 pada tahun 1980, menjadi urutan ke-54 pada tahun 1990, dan urutan ke-38 pada tahun 2000. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing utama di Asia Timur (termasuk ASEAN), peningkatan posisi Indonesia memang relatif terpuruk.
Gambaran yang diungkapkan oleh UNIDO memang baru sampai pada tahun 2000. Memperhatikan perkembangan perekonomian dan terpuruknya kegiatan sektor produksi, kemungkinan besar peringkat sektor industri manufaktur di Indonesia kembali turun setelah tahun 2000. Meskipun kondisi ekonomi makro makin membaik sejak dua tahun terakhir, prestasi di atas belum cukup membawa ke arah pemulihan aktivitas sektor produksi, terutama industri manufaktur, ke tataran sebelum krisis apalagi mendongkrak peningkatan daya saingnya.
Selain permasalahan berkenaan dengan kondisi ekonomi, faktor-faktor penting di luar ekonomi juga belum menunjukkan perbaikan kinerja secara nyata. Sebagai salah satu contoh, pengembangan dan penerapan iptek terutama untuk kepentingan produksi masih sangat terbatas. Dengan urutan Indonesia di posisi ke 60 dari 72 negara dalam Indeks Pencapaian Teknologi (IPT), hal tersebut mengindikasikan bahwa integrasi peningkatan iptek untuk produksi masih akan banyak mengalami hambatan. Permasalahan lainnya adalah kualitas infrastruktur yang masih menurun dan kualitas SDM yang umumnya masih rendah.
Berbagai permasalahan di tingkat makro di atas, membawa pengaruh negatif pada kondisi pada tataran bisnis atau industri. Pengembangan kelembagaan dan kemampuan untuk peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pada tingkat perusahaan tidak berjalan sesuai harapan. Sebagai contoh, peningkatan produktivitas pekerja tidak tercipta. Dari indikasi sederhana seperti pertumbuhan upah riil dibandingkan dengan pertumbuhan nilai tambah per pekerja untuk sektor industri manufaktur, kondisinya menunjukan penurunan untuk seluruh skala usaha. Contoh lain, mekanisme hubungan industrial yang terjadi belum secara proporsional menampung kepentingan pengusaha dan pekerja. Sementara itu, standardisasi nasional produk industri, pengembangan infrastruktur yang efisien dan sesuai dengan kebutuhan sektor industri, serta peningkatan kompetensi tenaga kerja belum sepenuhnya berjalan optimal karena keterbatasan sumberdaya.
Meskipun permasalahan penurunan daya saing ini berawal sebelum krisis tahun 1997, perkembangan industri sangat memburuk setelah krisis tahun 1997. Banyak pengamat mengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi”. Gejala ini ditunjukkan dengan mengamati perkembangan tingkat realisasi kapasitas produksi (utilisasi kapasitas), jumlah perusahaan, dan indeks produksi seperti ditunjukkan tabel di bawah ini. Pemanfaatan kapasitas terpasang industri manufaktur tahun 2002 hanya berkisar di 60 persen, menurun jauh dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis yang berkisar di 80 persen. Dalam periode 1996 sampai 2002, jumlah perusahaan industri berskala sedang dan besar menurun hampir 1.800 unit usaha atau sekitar 8 persen dari 22.997 unit usaha yang ada tahun 1996. Sementara itu, indeks produksi industri pengolahan berskala besar dan sedang juga mengalami penurunan cukup signifikan, sekitar 15 persen, dari 126,54 persen pada tahun 1997 menjadi 100,29 persen pada tahun 2002.

INDIKATOR
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Utilisasi
Kapasitas *)
82.10%
81.19%
54.99%
56.14%
61.68%
62.32%
63.33%
Jumlah Perusahaan
22,997
22,386
21,423
22,070
22,174
21,396
21,146
Indeks
Produksi **)

120.04%
126.54%
103.46%
105.44%
109.22%
108.04%
100.29%
 Catatan:
*) Data tahun 1996 dan 1997 dari BPS; sedangkan dari tahun 1998 – 2002 dari DepPerindag
**) 1993 = 100%

Penyebab utama fenomena tersebut adalah daya saing produk-produk manufaktur yang terus melemah. Di dalam negeri, produk manufaktur seperti elektronika rumah tangga kalah bersaing dengan produk impor, apalagi diperburuk dengan banyaknya produk impor illegal. Di pasar internasional, produk tekstil (TPT) dan produk kayu yang sesungguhnya masih menjadi primadona ekspor kalah bersaing dengan produk dari Cina dan negara ASEAN lainnya. Terpuruknya daya saing kita juga disebabkan karena membengkaknya biaya overhead produksi. Dari hasil identifikasi oleh perusahaan Jepang, bila biaya produksi manufaktur kita diberi indeks 100, maka Cina hanya sekitar 62, Filipina 77, Malaysia 79, dan Thailand 89. Struktur biaya produksi manufaktur kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33,4 dan biaya untuk material mencapai 58,3. Sebagai bandingannya: overhead di Cina hanya 17,1 dan material hanya 39,9.
Penelaahan terhadap tingginya kedua pos biaya di atas menyimpulkan beberapa permasalahan spesifik di sektor industri manufaktur, yaitu sebagai berikut:
KKN dan layanan umum yang buruk mengakibatkan tingginya biaya overhead. Menurut kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), pengeluaran untuk berbagai pungutan dan untuk biaya buruknya layanan umum menambah biaya overhead sekitar 8,7 persen – 11,2 persen. Cost of money yang relatif tinggi, tercermin dari suku bunga yang saat ini sangat tinggi. Pengusaha dalam negeri yang mengandalkan perbankan dalam negeri akan kalah bersaing dengan perusahaan yang modal kerjanya dari luar negeri dengan bunga berkisar 4–6 persen.
Administrasi perpajakan yang belum optimal. Pengusaha menganggap administrasi perpajakan terutama dalam kaitannya dengan restitusi produk-produk industri ekspor sangat tidak efisien. Hal tersebut mengakibatkan daya saing produk ekspor menjadi berkurang karena ketidakefisiensian tersebut dibebankan ke harga jualnya. Selain itu, hal tersebut juga tidak kondusif untuk integrasi antar industri terkait untuk pengadaan bahan antaranya. Pada umumnya mereka memilih untuk impor bahan baku atau produk antara karena sejak awal tidak terkena PPN.
Kandungan impor sangat tinggi. Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate), dan komponen untuk seluruh industri meningkat dari 28 persen pada tahun 1993 menjadi 30 persen pada tahun 2002. Khusus untuk industri tekstil, kimia, dan logam dasar nilai tersebut mencapai 30-40 persen, sedangkan untuk industri mesin, elektronik dan barang-barang logam mencapai lebih dari 60 persen. Tingginya kandungan impor ini mengakibatkan rentannya biaya produksi terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah yang mengalir pada perekonomian domestik.
Lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi. Nilai tambah industri nasional relatif rendah, hal ini menunjukkan bahwa karakteristik industri manufaktur masih tipe “tukang jahit,” meskipun dalam komposisi ekspor mulai terjadi peningkatan proporsi produk ekspor berteknologi menengah dan tinggi. Kehadiran foreign direct investment (FDI) yang mempunyai potensi sebagai basis untuk alih teknologi belum dapat dimanfaatkan.
Kualitas SDM relatif rendah. Dari hampir 4,2 juta orang tenaga kerja industri dalam 22.894 perusahaan pada tahun 1996, hanya 2 persen berpendidikan sarjana, sekitar 0,1 persen berpendidikan master, dan 0,005 persen (hanya 225 orang) berpendidikan doktor. Sementara itu, intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh industri belum juga menggembirakan. Hasil survei tahun 1990-an menunjukkan hanya 18,9 persen perusahaan di Indonesia melaksanakannya. Di Malaysia, kegiatan yang sama dilakukan oleh hampir 84 persen perusahaan-perusahaannya. SDM dengan kualitas ini akan sulit diharapkan menghasilkan peningkatan produktivitas apalagi inovasi-inovasi yang bermutu untuk teknologi produksinya.
Iklim persaingan yang kurang sehat. Banyak sub-sektor industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati ”monopoli”. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya indeks konsentrasi untuk dua perusahaan (CR2). Pada tahun 2002, lebih dari 50 persen kelompok usaha industri memiliki angka diatas 0,50 dan banyak kelompok industri yang angka konsentrasi yang makin besar. Beberapa contoh adalah pada industri tepung terigu, rokok putih, dan kendaraan roda 2. Keadaan ini menyebabkan insentif untuk penurunan biaya produksi menjadi kecil.
Struktur industri masih lemah. Sebagai illustrasi, di industri kendaraan bermotor pada tahun 1997 jumlah produser komponen mencapai 155 perusahaan. Namun hampir semua produsen komponen ini merupakan pemasok lapis pertama. Hal ini menunjukkan lemahnya kedalaman struktur industri nasional otomotif. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama di Jepang ada 350 pemasok lapis pertama, 2.000 pemasok lapis kedua, dan 10.000 pemasok lapis ketiga. Artinya industri nasional sangat terintegrasi secara vertikal.
Peranan industri kecil dan menengah (termasuk RT) masih minim. Industri berskala menengah (20-99 orang tenaga kerja), berskala kecil (5-19 orang tenaga kerja), dan industri rumah tangga (1 – 4 orang tenaga kerja) mempekerjakan dua pertiga tenaga kerja manufaktur di Indonesia. Namun demikian, segmen industri ini menyumbang hanya 5-6 persen dari total nilai tambah manufaktur. Industri kecil dan menengah terkonsentrasi di sub-sektor makanan dan kayu. Industri-industri pada segmen ini umumnya melayani konsumer akhir atau memproduksi komponen untuk ”after sales market”, dengan segmen kelas terendah. Sangat sedikit yang memproduksi bahan baku dan/atau barang intermediate serta memasoknya ke industri hilir. Dengan kondisi ini, industri kecil dan menengah di Indonesia belum berada dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri berskala besar.
Sebaran Industri yang terpusat di Pulau Jawa. Unit usaha industri merupakan pencipta kesejahteraan (wealth) terpenting melalui nilai tambah produk-produk yang dihasilkan dan sekaligus mendistribusikannya ke khalayak melalui pekerjanya. Oleh karena itu distribusi dari segmen industri ini juga akan mencerminkan distribusi kesejahteraan yang terbentuk. Menurut data tahun 2002, dari 21,146 usaha industri berskala menengah dan besar, 17.118 atau 80 persen diantaranya berada di Pulau Jawa.

   B.     SASARAN
Sasaran yang akan dicapai dalam peningkatan daya saing industri manufaktur adalah sebagai berikut:
1.      Sektor industri manufaktur (non-migas) ditargetkan tumbuh dengan laju rata-rata 8,56 persen per tahun. Dengan tingkat operasi rata-rata hanya sekitar 60 persen pada tahun 2003, target peningkatan kapasitas utilisasi khususnya sub-sektor yang masih berdaya saing akan meningkat ke titik optimum yaitu sekitar 80 persen dalam dua sampai tiga tahun pertama, terutama untuk industri yang dinilai memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
2.      Target penyerapan tenaga kerja dalam lima tahun mendatang adalah sekitar 500 ribu per tahun (termasuk industri pengolahan migas). Dengan kecenderungan penurunan penyerapan beberapa tahun belakangan ini, penyerapan tenaga kerja baru lebih banyak mengandalkan pada basis industri baru yang perlu dipacu pertumbuhannya. Sejalan dengan upaya revitalisasi pertanian dan pedesaan, langkah pengembangan untuk mewujudkan industrialisasi perdesaaan menjadi sangat penting. Sedangkan bagi industri berskala menengah dan besar penyerapan tenaga kerja baru akan mengandalkan investasi baru. Diperkirakan kebutuhan investasi untuk mengejar target penyerapan tenaga kerja di atas mencapai 40 sampai 50 triliun rupiah per tahun.
3.      Terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif baik bagi industri yang sudah ada maupun investasi baru dalam bentuk tersedianya layanan umum yang baik dan bersih dari KKN, sumber-sumber pendanaan yang terjangkau, dan kebijakan fiskal yang menunjang.
4.      Peningkatan pangsa sektor industri manufaktur di pasar domestik, baik untuk bahan baku maupun produk akhir, sebagai cerminan daya saing sektor ini dalam menghadapi produk-produk impor.
5.      Meningkatnya volume ekspor produk manufaktur dalam total ekspor nasional, terutama pada produk ekspor industri manufaktur yang daya saingnya masih potensial untuk ditingkatkan.
6.      Meningkatnya proses alih teknologi dari foreign direct investment (FDI) yang dicerminkan dari meningkatnya pemasokan bahan antara dari produk lokal;
7.      Meningkatnya penerapan standardisasi produk industri manufaktur sebagai faktor penguat daya saing produk nasional.
8.      Meningkatnya penyebaran sektor industri manufaktur ke luar Pulau Jawa, terutama industri pengolahan hasil sumberdaya alam.

   C.     ARAH KEBIJAKAN
Dalam rangka mewujudkan sasaran di atas, arah kebijakan bagi penciptaan iklim investasi yang sehat dan peningkatan daya saing ekpor nasional adalah sebagai berikut:
1.      Pada tingkat makro, upaya peningkatan kinerja daya saing industri manufaktur secara berkelanjutan membutuhkan landasan ekonomi yang kuat sebagai kondisi yang dipersyaratkan (necessary condition) bagi keberhasilan peningkatan kinerja daya saing industri manufaktur yang ingin diwujudkan. Hal tersebut perlu dicerminkan di dalam upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi makro, mewujudkan iklim usaha dan investasi yang sehat dan berdaya saing serta pengelolaan persaingan usaha secara sehat. Oleh karena itu, perbaikan iklim usaha di segala mata-rantai produksi dan distribusi akan senantiasa dipantau dan diperbaiki. Koordinasi dengan instansi-instansi terkait dan kemitraan dengan swasta perlu terus ditingkatkan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ditemukan.
2.      Untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan, yaitu 8,56 persen per tahun, maka dalam lima tahun mendatang pengembangan sektor industri manufaktur perlu difokuskan pada pengembangan sejumlah sub-sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Dengan kata lain, pola pengembangannya perlu lebih banyak ditekankan pada pendalaman (deepening) daripada perluasan (widening). Dengan demikian, semua bentuk fasilitasi pengembangan diarahkan lebih banyak pada upaya untuk memperkuat struktur industri, meningkatkan dan memperluas pemanfaatan teknologi, serta meningkatkan nilai pengganda (multiplier) di masing-masing sub-sektor yang telah ditetapkan. Dalam kaitan itu, kemampuan kapasitas pasar (terutama dalam negeri) yang menyerap kenaikan produksi ini perlu ditingkatkan melalui antara lain pengamanan pasar dalam negeri dari produk-produk impor ilegal, penggalakan penggunaan bahan baku/antara dari dalam negeri, dan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing ekspor. Dalam kaitannya dengan peningkatan ekspor, hambatan non-tarif (non-tarrif barrier,NTB) di negara-negara tujuan perlu terus dipantau dan dipelajari terutama untuk unggulan ekspor nasional, disosialisasikan ke industri terkait dan dirumuskan langkah untuk pemenuhannya.
3.      Sesuai dengan permasalahan mendesak yang dihadapi serta terbatasnya kemampuan sumberdaya pemerintah, fokus utama pengembangan industri manufaktur ditetapkan pada beberapa sub-sektor yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: (i) menyerap banyak tenaga kerja; (ii) memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri (seperti makanan-minuman dan obat-obatan); (iii) mengolah hasil pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan) dan sumber-sumber daya alam lain dalam negeri; dan (iv) memiliki potensi pengembangan ekspor. Diturunkan dari keempat kriteria di atas, berdasarkan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif, maka prioritas dalam lima tahun ke depan adalah pada penguatan klaster-klaster: (1) industri makanan dan minuman; (2) industri pengolah hasil laut; (3) industri tekstil dan produk tekstil; (4) industri alas kaki; (5) industri kelapa sawit; (6) industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu); (7) industri karet dan barang karet; (8) industri pulp dan kertas; (9) industri mesin listrik dan peralatan listrik; dan (10) industri petrokimia.
4.      Dengan prioritas pada 10 (sepuluh) klaster tersebut di atas, upaya khusus perlu dilakukan untuk merumuskan strategi dan langkah-langkah yang jelas untuk masing-masing klasternya. Strategi dan langkah-langkah tersebut selanjutnya perlu dituangkan secara rinci ke dalam strategi nasional pengembangan industri yang secara komprehensif memuat pula strategi pengembangan sub-sektor industri yang terkait (related industries) dan sub-sektor industri penunjang (supporting industries) dari 10 (sepuluh) klaster prioritas di atas yang berdimensi jangka menengah-panjang serta proses perumusannya secara partisipatif melibatkan pihak-pihak terkait baik dari lingkungan pemerintah maupun dunia usaha.
5.      Intervensi langsung pemerintah secara fungsional dalam bentuk investasi dan layanan publik diarahkan pada hal-hal dimana mekanisme pasar tidak dapat berlangsung. Dalam tataran ini, aspek tersebut meliputi antara lain: (1) pengembangan litbang (R & D) untuk pembaruan dan inovasi teknologi produksi, termasuk pada pengembangan manajemen produksi yang memperhatikan kesinambungan lingkungan dan teknik produksi yang ramah lingkungan (clean production); (2) peningkatan kompetensi dan keterampilan tenaga kerja; (3) layanan informasi pasar produk dan faktor produksi baik di dalam maupun luar negeri; (4) pengembangan fasilitasi untuk memanfaatkan aliran masuk FDI sebagai potensi sumber alih teknologi dan perluasan pasar ekspor; (5) sarana dan prasarana umum pengendalian mutu dan pengembangan produk; dan (6) prasarana klaster lainnya, terutama dalam mendorong penyebaran industri ke luar Jawa. Sesuai dengan fokus pengembangan industri manufaktur dalam lima tahun ke depan, rumusan fasilitasi dan obligasi yang dilakukan pemerintah perlu lebih dalam dan terinci pada 10 (sepuluh) klaster prioritas tersebut di atas. Selanjutnya, perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan kebijakan di dalam keenam aspek di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai kebijakan dan program yang dirumuskan dalam Bab-Bab lain yang terkait.

   D.    PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN

PENINGKATAN KETERAMPILAN SDM INDUSTRI

Dalam rangka pengembangan SDM industri, berbagai langkah bidang ini selaras dengan berbagai kebijakan dan program di dalam Bab 23 tentang Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan. Program yang terkait terutama adalah Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja. Tujuan dari program ini adalah meningkatkan keterampilan, keahlian, dan kompetensi tenaga kerja industri sehingga mampu meningkatkan produktivitas industri nasional dan mampu bersaing di pasar kerja global.
Kegiatan pokok yang terkait dengan kepentingan ini adalah:
 Ø  Pengembangan standar kompetensi kerja dan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja;
 Ø  Penyelenggaraan program-program pelatihan kerja berbasis kompetensi;
 Ø  Perkuatan kelembagaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP);
 Ø  Peningkatan profesionalisme tenaga kepelatihan dan instruktur pelatihan kerja; dan
 Ø  peningkatan sarana dan prasarana lembaga latihan kerja.

Sejalan dengan itu, pembangunan pendidikan yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu 2004-2009 sesuai rumusan Bab 27 tentang Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan Yang Berkualitas secara langsung akan meningkatkan ketersediaan SDM industri dalam jangka menengah dan panjang. Program Pendidikan Menengah secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan pendidikan kejuruan mengacu pada standar kompetensi kerja nasional, internasional dan industri. Selain itu, akan dilakukan pula penataan bidang keahlian pendidikan menengah kejuruan yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja dan didukung upaya peningkatan kerjasama dengan dunia usaha dan industri. Melalui Program pendidikan Tinggi akan dilakukan pula kerjasama dengan dunia usaha dan industri sehingga relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja juga dapat ditingkatkan.

PENINGKATAN STANDARDISASI PRODUK INDUSTRI

Dalam rangka mendukung perkuatan daya saing, perluasan di dalam penerapan standardisasi untuk produk-produk industri manufaktur adalah sangat penting. Selain mendorong peningkatan kualitas produk-produk tersebut agar sesuai dengan permintaan pasar di dalam maupun di luar negeri, penerapan standardisasi produk akan bermanfaat di dalam mendukung upaya perlindungan konsumen. Dalam kaitan ini, langkah-langkahnya disesuaikan dengan lingkup kegiatan pokok pada Program Pengembangan Standardisasi Nasional yang diuraikan di dalam Bab 17 tentang Peningkatan Investasi dan Ekspor Non Migas.
Kegiatan pokok pada program di atas yang terkait dengan peningkatan standardisasi produk industri manufaktur terutama mencakup:
 ü  Pengembangan infrastruktur kelembagaan standardisasi yang berkenaan dengan produk industri manufaktur;
 ü  Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk industri manufaktur; dan
 ü  Peningkatan persepsi masyarakat, terutama untuk standar produk industri manufaktur.

PERKUATAN STRUKTUR DAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

   1.      PROGRAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH

Upaya-upaya dalam program ini selaras dengan kebijakan dan program di dalam Bab 20 tentang Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Program terkait terutama adalah Program Pengembangan Kewirausahaan dan keunggulan Kompetitif UKM. Tujuan program ini adalah menjadikan industri kecil dan menengah (IKM) sebagai basis industri nasional. Agar dapat menjadi basis industri nasional, IKM dituntut mampu menghasilkan barang berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif dan mampu menepati jadwal penyerahan secara disiplin baik untuk memenuhi kebutuhan konsumen akhir maupun untuk memenuhi pasokan bagi industri yang lebih hilir.
Secara alami IKM memiliki kelemahan dalam menghadapi ketidakpastian pasar, mencapai skala ekonomi, dan memenuhi sumberdaya yang diperlukan. Sehingga untuk mencapai tujuan program ini, pemerintah akan membantu IKM dalam mengatasi permasalahan yang muncul akibat dari kelemahan alami tersebut dengan kegiatan utama yang antara lain:
 a.       Pengembangan sentra-sentra potensial dengan fokus pada 10 (sepuluh) subsektor yang diprioritaskan;
  b.      Pengembangan industri terkait dan industri penunjang IKM;
  c.       Perkuatan alih teknologi proses, produk, dan disain bagi IKM dengan fokus kepada 10 (sepuluh) sub-sektor prioritas; dan
  d.      pengembangan dan penerapan layanan informasi yang mencakup peluang usaha, kebutuhan bahan baku, akses permodalan, iklim usaha, dan akses peningkatan kulitas SDM.

   2.      PROGRAM PENINGKATAN KEMAMPUAN TEKNOLOGI INDUSTRI

Upaya-upaya dalam program ini selaras dengan berbagai kebijakan dan program dalam Bab 22 tentang Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam salah satu programnya yaitu Program Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi. Tujuan dari program ini adalah meningkatkan kemampuan industri dalam mencipta, mengembangkan, dan menerapkan pengetahuan baik dalam uji komersialisasi hasil litbang, rancang produk baru, maupun proses produksi.
Secara umum pengelola industri nasional belum memandang kegiatan pengembangan dan penerapan teknologi layak dilakukan karena dianggap memiliki eksternalitas yang tinggi berjangka panjang, dan dengan tingkat kegagalan yang tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan dari miskinnya industri nasional dalam hal pemilikan sumberdaya teknologi. Dalam rangka mendorong kalangan industri meningkatkan kegiatan pengembangan dan penerapan teknologi proses, produk dan disain, maka kegiatan-kegiatan pokok pemerintah dalam lima tahun mendatang mencakup antara lain:
a.       Meningkatkan dukungan kegiatan penemuan dan pengembangan teknologi di industri baik dalam bentuk insentif pajak, asuransi teknologi terutama untuk usaha kecil, menengah, dan koperasi;
b.      Mendorong pengembangan dan pemanfaatan manajemen produksi yang memperhatikan keseimbangan dan daya dukung lingkungan hidup, serta teknik produksi yang ramah lingkungan (clean production);
c.       Perluasan penerapan standar produk industri manufaktur yang sesuai (compliance) dengan standar internasional;
d.      Perkuatan kapasitas kelembagaan jaringan pengukuran, standardisasi, pengujian, dan kualitas (MSTQ/measurement, standardisasi, testing, and quality);
e.       Pengembangan klaster industri berbasis teknologi; dan
f.       Revitalisasi kebijakan dan kelembagaan Litbang di sektor produksi agar mampu mempercepat efektivitas kemitraan antara litbang industri dan lembaga litbang pemerintah; dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya teknologi nasional yang tersebar di berbagai litbang pemerintah, perguruan tinggi, lembaga-lembaga swasta, dan tenaga ahli perorangan.
Investasi asing (FDI) memiliki peran penting sebagai sumber potensi dalam penerapan dan alih teknologi di samping sebagai akses pasar ekspor. Oleh karena itu, keberhasilan menarik FDI dari hasil berbagai kegiatan dalam Program Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi serta Program Peningkatan Promosi dan Kerjasama Investasi sebagaimana diuraikan dalam Bab 17 tentang Peningkatan Investasi dan Ekspor Non Migas perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mendukung upaya peningkatan teknologi industri.
   3.      PROGRAM PENATAAN STRUKTUR INDUSTRI
Tujuan program ini adalah untuk memperbaiki struktur industri nasional baik dalam hal konsentrasi penguasaan pasar maupun dalam hal kedalaman jaringan pemasok bahan baku dan bahan pendukung, komponen, dan barang setengah-jadi bagi industri hilir. Pada tahap awal pembangunan industri nasional, sumberdaya industri dan wiraswastawan industri masih sangat langka sehingga kebijakan nasional sangat permisif terhadap praktek-praktek monopoli. Itu sebabnya hingga saat ini angka konsentrasi industri nasional termasuk sangat tinggi. Kondisi lain yang dihadapi industri nasional adalah tingginya ketidakpastian hubungan antara unit usaha. Kondisi ini mendorong industri tumbuh dengan pola yang sangat terintegrasi secara vertikal.
Untuk mewujudkan tujuan program ini dalam memperbaiki konsentrasi industri, pemerintah akan melakukan upaya-upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip tata pengelolaan korporasi yang baik dan benar (good corporate governance, GCG) secara sistematis dan konsisten, dan menurunkan besarnya hambatan masuk unit usaha baru ke pasar yang monopolistis. Perlu pula ditingkatkan iklim persaingan secara sehat untuk mendorong perusahaan berkompetisi sehubungan dengan semakin ketatnya persaingan global. Dalam konteks ini, upayanya selaras dengan tujuan di dalam Program Persaingan Usaha seperti diuraikan dalam Bab 17 tentang Peningkatan Investasi dan Ekspor Non Migas.
Sedangkan untuk memperkuat struktur terutama di dalam memfasilitasi terjalinnya jaringan pemasok industri hilir, pemerintah melaksanakan kegiatan-kegiatan pokok yang antara lain mencakup:
a.       Pengembangan sistim informasi potensi produksi dari industri penunjang dan industri terkait;
b.      Mendorong terjalinnya kemitraan industri penunjang dan industri terkait;
c.       Pengembangan industri penunjang dan industri terkait terutama pada 10 (sepuluh) sub-sektor prioritas;
d.      Perkuatan kapasitas kelembagaan penyedia tenaga kerja industrial yang terampil terutama sesuai kebutuhan 10 (sepuluh) subsektor industri prioritas;
e.       Memfasilitasi pengembangan prasarana klaster industri, terutama prasarana teknologinya; dan
f.       Memfasilitasi dan mengkoordinasikan pengembangan pada pusat-pusat pertumbuhan klaster industri di luar Pulau Jawa, khususnya Kawasan Timur Indonesia.

PENINGKATAN KAPASITAS INFRASTRUKTUR

Dalam rangka mengantisipasi peningkatan utilitasi kapasitas, pertumbuhan investasi baru, penyebaran kegiatan industri ke luar Pulau Jawa, dan peningkatan basis produksi sektor ini di daerah-daerah perdesaan, percepatan pembangunan infrastruktur menjadi sangat penting. Berbagai langkah-langkah yang ditempuh dalam bidang ini selaras dengan berbagai kebijakan dan program sebagaimana diuraikan dalam Bab 33 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur.

OPTIMALISASI ADMINISTRASI DAN INSENTIF PERPAJAKAN

Upaya untuk menggairahkan peningkatan basis produksi, produktivitas, dan investasi sektor industri manufaktur sangat tergantung dari komitmen pemerintah di dalam memfasilitasi berlangsungnya efisiensi usaha. Dalam hubungan ini, peranan penyelenggaraan fasilitasi dan pelayanan publik dalam hal perpajakan yang efisien sangat penting. Meskipun demikian, upaya tersebut tetap perlu diselenggarakan dalam disiplin untuk tetap menjaga stabilitas makro ekonomi yang telah dicapai selama ini. Oleh karena itu, berbagai langkah dan program dalam bidang ini selaras dengan uraian dalam Bab 24 tentang Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro. Program-program pembangunan yang memiliki keterkaitan erat adalah Program Peningkatan Penerimaan dan Pengamanan Keuangan Negara yang di dalam kegiatannya antara lain adalah menyelenggarakan reformasi perpajakan dan reformasi kepabeanan, serta Program Pengembangan Kelembagaan Keuangan yang di dalamnya mempunyai langkah-langkah untuk memberikan dukungan terhadap peningkatan penyaluran kredit bagi UMKM dan sektor pertanian.

PENINGKATAN NILAI TAMBAH INDUSTRI BERBASIS SUMBERDAYA ALAM

Berkenaan dengan peningkatan basis produksi, berbagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah sub-sektor industri yang berbasis sumberdaya alam sangat diperlukan. Langkah ini selaras dengan berbagai program di dalam Bab 19 tentang Revitalisasi Pertanian yang di dalamnya juga mencakup pengembangan untuk berbagai kegiatan produksi perikanan dan kehutanan. Sementara itu, dalam menumbuhkan basis produksi, kegiatan non-pertanian yang modern (industrialisasi) di kawasan-kawasan perdesaan, langkah-langkahnya diselaraskan dengan arahan di dalam Bab 25 tentang Pembangunan Perdesaan.


0 Response to "PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel