EKONOMI RAKYAT
1.
Pengertian
Ekonomi Rakyat
Harus dipahami arti Perekonomian Rakyat dan Ekonomi Rakyat. Ekonomi
rakyat adalah sektor ekonomi yang berisi kegiatan-kegiatan usaha ekonomi rakyat.
Perekonomian rakyat adalah sistem ekonomi tempat ekonomi rakyat berperan
integral dalam perekonomian nasional. Seorang pengusaha konglomerat di Indonesia
dia juga sebagai rakyat tetapi usahanya itu bukan ekonomi rakyat. Dalam
era sebelum Orde Baru banyak diungkapkan kata-kata RAKYAT. Dahulu ada SR (Sekolah
Rakyat), Pertanian Rakyat, Peternakan Rakyat, Perkebunan Rakyat, Perikanan Rakyat
dan lain-lain. Tetapi pada era orde baru kata-kata RAKYAT itu banyak tidak dipakai
lagi, seolah-olah kata rakyat itu entah mengandung makna apa, tetapi syukur
pada kata
DPR/MPR masih bertahan kata RAKYAT, juga pada BRI masih mengandung kata Rakyat
(Bank Rakyat Indonesia). Pelaku-pelaku ekonomi rakyat seperti petani (gurem, biasa),
pedagang kaki lima, tukang becak, tukang tempel ban, tukang sepatu, tukang
parkir, buruh- buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pegawai/karyawan golongan
I, dan lainnya. Pelaku ekonomi
rakyat sebagian
besar berdomisili di perdesaan/ pertanian rakyat. Di perkotaan terdapat banyak jenis
kegiatan ekonomi rakyat, tetapi populasinya lebih sedikit daripada populasi di perdesaan,
karena itu sering terjadi salah persepsi bahwa ekonomi rakyat itu adalah ekonomi
perdesaan.
Bila seorang petani mengusahakan kebun sawit 1-35 hektar, maka
usahanya itu masih tergolong ekonomi rakyat, tetapi jika dia telah mengusahakan di
atas 50 hektar (milik sendiri) maka usaha itu bukan lagi termasuk ekonomi rakyat. Seorang
tukang sepatu mempunyai buruh 1-5 orang maka usahanya masih termasuk ekonomi
rakyat, tetapi jika sudah mempunyai fabrik sepatu dengan teknologi tinggi maka dia
tidak termasuk ekonomi rakyat. (Batasan di atas bukan mutlak berlaku, tetapi
sekedar membuat contoh. Belum ada batasan resmi berapa size/ukuran suatu usaha ekonomi
rakyat). Walaupun
belum ada batasan mutlak tentang ekonomi rakyat, namun ada ciri-ciri umum pada
ekonomi rakyat antara lain adalah:
a.
tidak
terjadi gontokan bebas (free fight),
b.
tak
ada monopoli, namun berdemokrasi,
c.
tak
ada KKN,
d.
tak
ada perkoncoan,
e.
.tidak
menipu Bank,
f.
tidak
berutang di Luar negeri,
g.
kalaupun
tak ada kerja sama tidak bermusuhan,
h.
ada
moral, masih ada persaudaraan.
Pada 20 Nopember 1931 muncul istilah Perekonomian rakyat sebagai
lawan dikotomis dari Perekonomian kolonial-kapital di harian Daulat Rakyat oleh
Bung Hatta. Perekonomian kolonial-kapital ini bermula dari kolonialisme VOC dan
Cultuurstelsel serta pelaksanaan UU Agraria 1870 boleh dibilang masih
berkelanjutan dalam ujud konglomerasi ekonomi saat ini. Karena itu cita-cita merubah ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional berdasar Pasal 33 UU 1945 belum tercapai sampai
hari ini.
Pada tahun 1997 APY Djogo di Kupang
menganalisis perbedaan antara ekonomi rakyat dan ekonomi konglomerat dengan
kesimpulan bahwa, jika ekonomi konglomerat sejak dari sananya adalah ekonomi
pertumbuhan maka ekonomi rakyat adalah ekonomi pemerataan. Analisis yang
sebenarnya cukup sederhana ini, ternyata mendapat reaksi pro dan kontra
berkepanjangan sampai berakibat hampir hilangnya istilah ekonomi rakyat dalam
GBHN 1998 Setiap hari yang dihidangkan di meja makan seperti beras, sayuran,
bumbu adalah hasil produksi ekonomi rakyat, bukan produksi ekonomi konglomerat.
Jadi ekonomi rakyat menghidupi dan menjadi pendukung kehidupan bangsa selama ini.
Andaikata saja perekonomian makro hancur dalam resesi, ekonomi rakyat akan masih
dapat hidup dari hasil-hasil ekonomi rakyat.
Dalam perjuangan fisik melawan penjajah, ekonomi rakyat pulalah
memberi makan tentara kita. Ekonomi rakyat menghidupi para pejuang kemerdekaan
yang membuat bangsa kita mampu bertahan diri sampai Indonesia merdeka. Ekonomi
rakyat mengenal budaya tolong-menolong dan gotong-royong dan mampu mengemban
prinsip sharedproverty sebagai sistem social safety net. Ketika buruh-buruh industri besar
terkena PHK, kemana mereka terlempar? Sebagian besar mereka diterima dan
dihidupi oleh ekonomi rakyat.
Banyak orang yang mengabaikan kenyataan bahwa ekonomi rakyat adalah
riil dan konkrit.
Ada pertanian rakyat, perkebunan rakyat, perikanan rakyat, tambak rakyat, peternakan
rakyat, pasar rakyat, pelayaran rakyat, transportasi rakyat, tenaga rakyat, industri
rakyat, kopi rakyat, kerajinan rakyat, cengkeh rakyat, tembakau rakyat, sawit rakyat,
tarian rakyat dan sebagainya. Dapatkah disadari berapa banyak orang yang hidup dan
mencari nafkah serta menampung tenaga kerja di perekonomian rakyat ini? Ilmu
ekonomi selama ini bersumber pada teori ekonomi Adam Smith yang sudah berumur
227 tahun sejak terbitnya buku Wealth of Nations tahun 1776. Konsep ekonomi itu
telah mengajari orang bersikap individualistik, yang beresensikan mengatur
kekayaan pribadi
agar semakin besar tanpa batas. Dampak sosial yang dapat merugikan orang lain diabaikan.
Ekonomi ini lebih mengutamakan penciptaan barang-barang konsumsi baru daripada
nilai esensial barang itu bagi kemanusiaan. Ada ilmu
sosio-ekonomi menjadi sosionomi yaitu ilmu yang mengatur dan mengelola kehidupan
manusia yang hidup bersama (the science of organizing and managing people living
together). Ilmu itu terkandung dalam ekonomi rakyat, walaupun sosionomi bukan persis
ekonomi rakyat.
Dalam bab XIV UUD 1945 yang berjudul kesejahteraan sosial,
ditegaskan bahwa system perekonomian Indonesia berdasar atas asas kekeluargaan. Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran
rakyat, bukan hanya untuk orang-seorang. Ekonomi rakyat adalah sokoguru
perekonomian nasional. Ekonomi rakyat dikembangkan dengan cara memberdayakannya,
bukan sekedar kebijaksanaan karikatif. Pengertian ekonomi rakyat adalah
pengertian/konsep asli bangsa Indonesia. Ekonomi rakyat adalah cara-cara rakyat bekerja/mencari
nafkah untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Strategi
pemberdayaan rakyat merupakan paradigma baru dalam pembangunan. KTT Pembangunan
Sosial di Kopenhagen tahun 1992 juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatannya.
Namun upaya mewujudkannya dalam praktek pembangunan tidak selalu berjalan
mulus.
Pemberdayaan rakyat dapat berjalan mulus jika 10 bias terhadap
pemberdayaan dapat diminimumkan atau ditiadakan. Bias-bias itu adalah:
1. Adanya kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional dari pem-bangunan
lebih penting daripada dimensi moralnya, karena itu alokasi sumber daya
pembangunan diprioritaskan menurut jalan pikiran ini.
2. Pendekatan pembangunan yang berasal dari atas (top-down) dianggap lebih sempurna
daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah, sehingga
kebijakan itu kurang efektif di tingkat bawah.
3. Pembangunan masyarakat banyak di tingkat bawah lebih memerlukan bantuan material daripada bantuan teknis dan manajerial. Anggapan ini
memboroskan dana, karena SDM (Sumber Daya Manusia) di tingkat bawah masih
rendah.
4. Teknologi impor dianggap lebih baik daripada teknologi tepat guna yang
berasal dari rakyat.
5. Pranata sosial di rakyat dianggap kurang efektif daripada pranata impor.
6. Rakyat bawah dianggap tidak tahu apa yang diperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya.
7. Rakyat miskin dianggap karena bodoh dan malas. Karena itu cara
penanganannya bersifat paternalistik (bukan kepercayaan, dianggap sebagai usaha
sosial bukan usaha penguatan ekonomi).
8. Ukuran efisiensi pembangunan dipakai ICOR, pemberdayaan rakyat
sebagai sumber
pertumbuhan lestari diabaikan.
9. Sektor pertanian/perdesaan dianggap kurang produktif, ini
menghambat agribisnis/usaha kecil di perdesaan.
10. Investasi terpusat di perkotaan seperti property dianggap lebih
menguntungkan daripada investasi di perdesaan.
2.
Krisis
Moneter dan Ekonomi Rakyat
Asal mula krisis moneter secara nasional berawal dari tidak
kokohnya fundamental ekonomi Indonesia. Yang terjadi adalah bersifat semu karena
ditunjang oleh permodalan yang tak wajar artinya terlalu banyak kredit baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri oleh pengusaha konglomerat, bukan oleh pengusaha ekonomi
rakyat. Kredit luar negeri di masa lalu
sangat digandrungi karena tingkat bunganya yang rendah dibandingkan dengan
tingkat bunga di dalam negeri walaupun kenaikan kurs valuta asing (valas)
diperhitungkan. Kredit luar negeri ini membuat cukup banyak pengusaha menggunakannya
dalam jangka pendek, padahal usaha itu sendiri menghasilkan dalam jangka
panjang. Selain kredit
luar negeri, pengusaha selalu cenderung memakai kredit dalam
negeri secara berlebihan. Hal ini dimungkinkan karena para pengusaha dapat menerapkan
praktek mark-up baik dengan cara kerjasama (perkoncoan) ataupun dengan cara
mengibuli pihak pebankan. Praktek mark up juga terpaksa dilakukan pengusaha karena
adanyak praktek penghibahan saham kosong kepada pihak tertentu yang membantu
kelancaran mendapatkan izin usaha atau izin lokasi. Selama
kondisi ekonomi makro berjalan mulus dalam trend yang menaik maka perusahaan
yang melakukan mark-up masih mendapat untung atau dapat bertahan. Dia mampu
melunasi cicilan beserta bunga kredit, padahal unit usaha itu secara normal
telah dibiayai
dengan kredit dalam jumlah yang melebihi potensi usaha itu sendiri.
Kondisi berusaha yang tidak sehat ini segera menampakkan
kerapuhannya begitu ada sedikit gonjangan. Misalnya bila:
Ø permintaan menurun,
Ø harga jual produk menurun,
Ø bunga kredit naik tajam,
Ø lembaga keuangan tidak mampu menyediakan modal lancar berikutnya dalam
siklus perputaran modal.
Bulan Juli 1997 banyak kredit luar negeri pihak swasta yang mulai
jatuh tempo. Ini segera pula diikuti oleh para kreditur luar negeri yang mulai
menarik modalnya. Makin parah lagi karena para spekulan yang mulai memborong valas. Kurs
US$ biasanya paling tinggi naik hanya 5%/tahun, namun antara Juni ke Juli 1997 naik
dari Rp.2.450 menjadi Rp.2.528 per US$ atau naik 3%/bulan. Selanjutnya kenaikan kurs ini
tidak dapat dibendung, kurs rata-rata perbulan pada bulan Agustus 1997 mencapai
Rp.2.935 atau naik 16% sebulan.
Bank Indonesia di masa lalu menetapkan
kebijakan batas atas dan batas bawah dalam melakukan intervensi, kebijakan ini
terpaksa dilepaskan, dibiarkan kurs mengambang bebas sesuai dengan kekuatan
permintaan dan penawaran pada dasar valuta. Kurs
dollar terus
naik, di bulan Januari 1998 mencapai Rp.13.513 per US$.
v Krisis moneter menyebabkan :
Ø naik bunga kredit, ini mengakitakan
Ø pembayaran kredit macet, ini membuat
Ø banyak bank beku operasi, dampaknya
Ø dunia perbankan hancur, ini mengakibatkan
Ø pertumbuhan ekonomi minus 15%,
Ø akhirnya terjadi krisis ekonomi.
Ø Krisis ekonomi menyebabkan terjadinya
Ø krisis pangan, membuat
Ø krisis sosial menjadikan
Ø krisis kepercayaan akhirnya membuat
Ø krisis total.
(Kerusuhan massa di Jakarta 13-14 Mei 1998, diMedan 6 Mei 1998).
Secara menyeluruh, terjadinya krisis ekonomi di Indonesia karena
sejumlah sikap dan tindak yang keterlaluan, diantaranya adalah:
1. Terlalu berpikir global dan keramahannya, sehingga terlalu mengabaikan ekonomi
rakyat.
2. Terlalu suka disanjung, ini berarti terlalu buta dan terlalu tuli pada
kritik.
3. Terlalu individualistik/memikirkan kepentingan sendiri, karena itu
tidak melihat
kesenjangan sosial yang terjadi dan berkembang di masyarakat.
4. Terlalu bisnis dan profitoriented, sehingga lupa masalah-masalah social dan
moral.
5. Terlalu silau pada dunia kebendaan/materi, sehingga tidak pernah mensyukuri
Nikmat Allah.
6. Terlalu industry-minded, lupa pertanian/perdesaaan.
7. Terlalu berpikir kekinian, sehingga lupa pada sejarah.
8. Terlalu silau pada yang serba asing, pikiran pakar-pakar pribumi diremehkan.
9. Terlalu percaya kepada sitem pasar, lupa bahwa dalam pasar liberal kalah ekonomi
rakyat, menang yang kuat.
10. Terlalu mendewakan serasi-seimbang-selaras, karena itu yang konflik harus disembunyikan atau ditabukan.
11. Terlalu berpihak kepada konglomerat sehingga ekonomi rakyat diterlantarkan.
12. Konglomerat terlalu serakah (overborrowing) sehingga kita dihukum Tuhan.
13. Konglomerat terlalu menuruti ambisi pemerintah yang ingin tumbuh terlalu
cepat, ini melanggar pasal 33 UUD 1945/ ekonomi rakyat.
14. Pemerintah terlalu sentralistik, sehingga daerah-daerah tak
bergairah membangun daerahnya dengan cara-caranya sendiri.
15. Terlalu mementingkan stabilitas, ini menghasilkan stabilitas
pemerintah/ status quo.
Di beberapa daerah Kalimantan Selatan, ekonomi rakyat dapat
bertahan, malah makin maju, setelah terjadi krismon (krisis moneter) di tahun 1997 dan
juga pengangguran makin menurun. (Dalam Buku: Krisis Ekonomi, Pemberdayaan Ekonomi
Rakyat). Petani
jeruk di Kabupaten Karo juga mengalami hal yang serupa setelah terjadinya krismon.
Hal ini disebabkan harga jual buah jeruk lebih tinggi nilainya daripada sebelum krismon.
Pada Harian KOMPAS, 6 Mei 2001 hal.25 dikatakan bahwa: Dari 100%
aset usaha di Indonesia, 40% milik konglomerat dalam perawatan BPPN (Badan
Penyehatan Perbangkan Nasional). 40% aset BUMN dan 20% aset usaha2
menengah/kecil yang berjasa menciptakan pertumbuhan ekonomi. Menurut Kwik Kian Gie Laju
Pertumbuhan Ekonomi adalah 4% tahun 2000. Usaha2 ini tidak dikenal pelakunya
dan tidak mempunyai utang, dan inilah ekonomi rakyat. Bagi DPR pemulihan
ekonomi Indonesia terutama Ekonomi Rakyat lebih rendah prioritasnya dibanding dengan
pertengkaran mereka untuk merebut kekuasaan. Hal ini nampak pada sidang
paripurna DPR yang melahirkan memorandum II, mereka masih bisa bercanda,
berteriak-teriak, tertawa-tawa yang dalam ungkapan bahasa Jawa disebut NGENGESAN.
3.
Ekonomi
Mandiri
Ahir-akhir ini muncul istilah Ekonomi Mandiri, sebagai reaksi
terhadap ekonomi nasional yang selama orde baru (1965-98) cenderung melaksanakan
sistem sentralisasi yang eksesnya antara lain eksploitasi, clientelization dan
liberalisasi keuangan. Eksploitasi terjadi pada saat pelaku ekonomi tidak memiliki
bargaining power, kelemahan si kecil dihisap lagi oleh si besar (kuat). Clientelization
terjadi pada kemitraan yang tak seimbang antara pengusaha kuat dan pengusaha lemah.
Sentralisasi ekonomi terjadi dalam era Orde Baru, yang mengakibatkan Daerah tetap
miskin, tetapi Pusat tidak miskin.
Pemikir ekonomi mandiri menganggap Ekonomi
Rakyat adalah parsial, mereka menganggap fokus ekonomi rakyat hanya bagian-bagian
dari seluruh kegiatan system ekonomi, mereka tidak tahu Ekonomi Rakyat vs
Perekonomian Rakyat. Mereka bertanya apa
yang dimaksud dengan rakyat itu, rakyat Indonesia terdiri dari banyak strata (berlapis-lapis). Pelaku
ekonomi mandiri adalah masyarakat Dati II, yang harus mengimbangi pelaku ekonomi
Pusat sebagai ekonomi pertumbuhan. Tetapi pemikir
ekonomi mandiri akhirnya mengatakan bahwa komunitarian Dati II adalah
ekonomi mandiri, dan jelasnya Ekonomi mandiri merupakan sistem perekonomian rakyat.
Sistem ini mengatur mekanisme sumber penghidupan pelaku ekonomi dalam konteks
kehidupan masyarakat (gotong royong) berdasarkan kegiatan ekonomi yang tidak
menganut prinsip ketergantungan tetapi berdasarkan swadaya. Ekonomi
mandiri ini juga masih dalam bentuk konsep yang uraiannya banyak ngaur. Ekonomi
mandiri memfokuskan ke masyarakat Dati II, siapa pelaku di Dati II ini tidak diketahui.
Apa jenis produksi, bagaiman bentuk atau sistem perekonomiannya tidak jelas, pengusaha
konglomerat sudah mandiri ekonominya, apakah itu yang dimaksud? Telah disebutkan
bahwa kegiatan ekonomi dapat diperas menjadi tiga yakni kegiatan berproduksi,
berdistribusi dan konsumsi. Dalam ekonomi mandiri sama sekali tidak
diketahuinya hal ini. Dikatakan pula
dalam sistem ekonomi mandiri bahwa yang pengelolaannya dikendalikan oleh balai
sentra di setiap Kecamatan bersama dengan Pemda, Tokoh panutan lokal sipil, dan Pensiunan
TNI
0 Response to "EKONOMI RAKYAT"
Post a Comment